Bismillahir
Rahmanir Rahiim…
Sebelumnya
MM mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada umat Islam seluruhnya, jika tulisan
MM kali ini menyalahi pendapat-pendapat ulama yang keluasan ilmunya sudah tidak
di ragukan lagi. Demi Allah, tidak bermaksud untuk melakukan penyesatan atau
mementahkan pendapat beliau-beliau yang faqih, tapi anggaplah ini curahan hati
seorang MM disebabkan oleh kebodohan dan lemahnya ilmu dalam diri MM
pribadi.
Munculnya
tulisan ini bermula dari seringnya MM melihat orang-orang Non-Muslim yang
mencela Rasulullah sebagai pribadi yang tidak ber-akhlak di sebabkan oleh
perilaku beliau yang telah menikahi anak di bawah umur (Pedofilia). Padahal
seperti kita tahu, bahwa Rasulullah adalah sebaik-baiknya makluk dan
sebaik-baiknya akhlak sehingga menjadi teladan separuh penduduk bumi ini
(Islam).
(Buat Sahabat Islamicca yang ingin membaca artikel ini secara offline, silakan klik tautan berikut : Download Kontroversi Pernikahan Aisyah)
(Buat Sahabat Islamicca yang ingin membaca artikel ini secara offline, silakan klik tautan berikut : Download Kontroversi Pernikahan Aisyah)
Tulisan
ini sudah berkali-kali MM renungkan, namun hasilnya tetap membuat MM sulit
memahaminya. Kepada seluruh pembaca, mohon jangan dulu di debat sehingga
selesai membacanya. Dan jika memiliki argumen lain, silakan di beritahukan
kepada MM. Tentu argumen yang bukan asal-asalan. Mohon diperhatkan baik-baik
apa yang MM tulis sambil tetap meminta petunjuk kepada Allah SWT.
Pernikahan
Rasulullah dengan Aisyah yang kala itu konon masih berusia belia (6-9Thn) telah
dijadikan senjata oleh musuh Islam untuk melemahkan ke-nabian Rasulullah. Juga
sangat disayangkan, dari fihak Muslimpun seolah setuju dengan klaim orang-orang
Non-Muslim tersebut meski dengan berbagai dalih yang mereka sendiri pun sulit
untuk menerimanya karena merekapun sadar bahwa menikahi/menikahkan anak-anak
itu tidak lazim bahkan mereka pun tidak sudi jika punya anak atau adik usia SD
harus dinikahkan meski dengan alasan mendidik dan sebagainya.
Kengototan
Muslim ini disebabkan oleh adanya hadits-hadits (yang akan MM jelaskan dibawah)
yang telah dihukumi SHAHIH oleh ulama-ulama hadits terdahulu, dan mereka
berpendapat bahwa hadits-hadits yang sudah di shahihkan tersebut tidak bisa
diganggu gugat kedudukannya sebagai hukum mutlak setelah Alqur’an, PADAHAL kalo
mereka mau sedikit belajar Musthalahul Hadits (ilmu yang mempelajari Hadits)
tentu pendapat tersebut akan mereka pikir-pikir lagi sebab dengan belajar ilmu
itu kita akan dituntut netral untuk menelanjangi rawi, sanad, matan dan
sebagainya sebelum menghukumi hadits tersebut shahih, dhaif atau maudhu meski
hadits tersebut sudah di hukumi oleh para ahli hadits terdahulu.
Bukan
maksud MM mau menyalahkan hadits-hadits yang sudah dianggap shahih oleh para
ulama, tapi sebagai muslim yang bertasyakur atas nikmat akal yang diberikan
Allah, apa salahnya kita gunakan untuk berpikir dan memikirkan segala sesuatu.
Bahkan dalam Alqur’an Allah menyuruh kita berfikir, memikirkan menggunakan akal
dan melakukan lawatan ke berbagai penjuru negeri demi untuk mendapatkan
kebenaran yang lebih pasti.
Allah
melarang kita taklid buta, melarang menuhankan ulama (Qs. At-Taubah:30) yang
artinya apabila ulama mengharamkan dan menghalalkan sesuatu kita ikuti saja
tanpa mau menganalisanya lebih mendalam (dengan akal kita sendiri tentunya).
Dan Allah sangat marah pada orang-orang taklid yang tidak mau menggunakal
akalnya: “dan
Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya
(Qs. Yunus : 100)
Buat
yang terlanjur ngotot bahwa hadits tentang Aisyah nikah di usia 6 tahun adalah
shahih, biasanya akan berdalil polos seperti :
**
Jangan disamakan wanita 6 tahun zaman dulu dengan
gadis 6 tahun zaman sekarang, karna kalo dulu.. bla… bla… Argumen ini
jelas terkesan diada-ada, tanpa dalil dan sangat mudah dipatahkan sebab dengan
gambaran hadits yang menceritakan bahwa Aisyah ketika itu bermain ayunan,
bermain boneka, dll mengindikasikan bahwa usia gadis 6-9 tahun zaman dulu dan
zaman sekarang, keadaan mental dan fisiknya SAMA SAJA.
**
Wanita dianggap baligh jika ia sudah menstruasi
yang biasanya hinggap mulai usia 9 tahun, jadi Aisyah dinikahi nabi 6 tahun
tapi digauli 9 tahun bla… bla… bla…. Hal ini juga ganjil sebab ukuran
baligh bukan pada Menstruasi-nya melainkan pada fungsinya akal. Lagipula tidak
ada keterangan bahwa Aisyah sudah mengalami Haid pada usia 9 tahun. Dan tidak
ada Nash yang mengatakan bahwa sudah mengalami haid adalah tolak ukur
kedewasaan seseorang. Kalaupun ada, itu hanya sebatas pendapat saja (bukan
hadits nabi), sementara kita tau kalau yang namanya pendapat itu relative (bisa
benar, bisa salah). Dan rasanya terlalu “Menghina” jika ada seorang rasul yang
diberi wahyu dan bimbingan Allah, menelanjangi dan meniduri anak-anak yang
organ sexual-nya aja belum siap, Rahim-nya masih rawan, masih memeluk boneka
ketika tidurnya dan belum mengerti apa itu seks dan untuk apa seks itu
dilakukan.
Mari
simak hadits berikut :
"Ibnu Abbas ditanya melalui sebuah surat ".....
Kapankah seorang anak tidak lagi dikatakan yatim?", Maka Ibnu Abbas membalas
surat tersebut demikian : "Demi Dzat yang memanjangkan umurku, ada orang yang
telah tumbuh jenggotnya, namun dia masih lemah mengurus dirinya, lemah
mengambil dirinya sendiri atau memberi kepada dirinya sendiri. Maka apabila dia
sudah sanggup mengurus dirinya sendiri, mengambil apa yang baik bagi dirinya
seperti halnya orang lain" (HR. Muslim, No. 3377)
Atau
membalas : "Bahwa keyatiman belum terputus
dari seorang anak yatim hingga dia baligh dan matang kecerdasannya [sanggup
menurus dirinya sendiri]" (HR. Muslim, No. 3378)
Jika
hadits tersebut di gabungkan, maka akan di dapat artian : Seorang Anak yatim tidak
lagi di sebut yatim (anak-anak) apa bila dia telah baligh. Dan ukuran ke
balighan bukan pada dia sudah menstruasi atau berjenggot, melainkan dia sudah
matang pikirannya dan bisa mengurus dirinya sendiri. Allahu 'alam.
Sebenarnya
Alqur’an sendiri sudah memberi arahan pada rasul mengenai wanita dan anak-anak
sebagai berikut : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin…” (Qs.
An-Nisa : 6)
Tidak
mengerti apa-apa, masih bermain ayunan, bermain boneka-bonekaan dan organ
seksual-nyapun belum siap untuk menerima nganu (apa ya namanya? Hehe…) adalah
ciri-ciri bahwa ia belum cukup umur untuk kawin baik secara fisik maupun secara
mental.
Lalu
ayat lain mengatakan : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (Qs. An-Nisa : 4). Dan
mahar atau mas kawin ini diberikan atas kesepakatan berdua seperti dijelaskan
dalam Alqur’an : “…berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya…(Qs.
An-Nisa : 24)
Pertanyaan
sederhana muncul : Apakah anak-anak yang masih bermain boneka dan belum
mengerti apa-apa bisa diajak dialog untuk membahas masalah mahar hingga dicapai
sebuah kesepakatan bersama? Rasanya sulit dan itu mustahil, apalagi kalo kita
melirik hadits seperti : “Sebaik-baik wanita ialah yang paling ringan mas kawinnya”
(HR. Ath-Thabrani)
Tersirat
jelas dalam hadits ini bahwa penentu mahar awal adalah wanita yang akan
dinikahi, sementara laki-laki adalah penawarnya hingga jumlah dan bentuk mahar
disetujui bersama setelah terjadinya tawar menawar antara si gadis dan si
laki-laki (tidak ada keterangan bahwa penentu mahar adalah orangtua si gadis.
Adapun laki-laki hanya bisa mengajukan mahar, tapi keputusan YA dan TIDAK-nya
ada di tangan perempuan).
Lalu
Hadis riwayat Abu Hurairah ra : Bahwa
Rasulullah saw. bersabda: Seorang wanita janda
tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai pertimbangan dan seorang gadis perawan
tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuan. Para sahabat bertanya: Ya
Rasulullah, bagaimana tanda setujunya? Rasulullah saw. menjawab: Bila ia diam.
(Shahih Muslim No.2543).
Dalam
hadits ini pun tersirat jelas bahwa seorang gadis yang akan dinikahi WAJIB
diminta persetujuannya dulu. Persetujuan disini tentu bukan asal ngangguk, tapi
atas dasar pertimbangan dari dirinya sendiri secara sehat dan waras mengenai untung
ruginya jika ia menikah dengan lelaki itu.
Pertanyaan
sederhana kembali muncul : “Bisakah anak yang masih bermain boneka dimintai
persetujuannya untuk dinikahi sementara sebuah persetujuan hanya bisa diperoleh
dari orang-orang yang akalnya berfungsi dengan baik (dewasa)”
Coba
renungkan ayat ini : Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang PARA WANITA.
Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang
dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim
yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka,
sedang kamu ingin mengawini mereka dan
tentang ANAK ANAK yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya
kamu MENGURUS ANAK-ANAK secara adil. Dan
kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahuinya. (Qs. Anissa : 127)
Nabi
telah dimintai fatwa oleh umatnya mengenai wanita dan anak-anak hingga turunlah
ayat ini sebagai jawaban bahwa anak-anak yang masih dipandang lemah baik fisik
dan akalnya agar diurus/dipelihara dengan adil BUKAN malah dinikahkan/dinikahi
karena Allah tidak memfatwakan demikian kecuali sudah cukup umur seperti yang
sudah MM katakan diatas tadi.” Jika kalimat “Dan (Allah menyuruh kamu) supaya
kamu MENGURUS ANAK-ANAK secara adil. Termasuk dengan cara
menikahi/menikahkannya, tentu sahabat sudah berlomba menikahi/menikahkan
anak-anak mereka.
Kemudian
perhatikan kalimat : tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan
kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka.
Ada kalimat ingin mengawini, namun konteks
yang disebut BUKAN lagi “anak yatim” melainkan “wanita yatim”, tentu ini
isyarat bahwa yang dinikahi itu haruslah dewasa.
Juga
perhatikan ayat ini : “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji;
sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (Qs. Al-Israa :
34)
Jika
menikahi anak-anak dibolehkan oleh Allah, tentu memakan harta anak yatim
menjadi sah-sah saja setelah dinikahi terlebih dahulu. Tapi kenyataannya Allah
menyuruh kita agar sabar menunggu hingga ia dewasa dan cukup umur untuk kita
Nikahi seperti yang tercantum dalam Qs. An-Nisa : 6 diatas.
Sebab
salah satu hilangnya predikat "Yatim" adalah setelah dia menikah.
Perhatikan hadits berikut :
Sesungguhnya terputusnya keyatiman adalah jika seseorang itu
telah menikah dan telah matang kecerdasannya (dapat mengurus diri -red), dan
dapat mempergunakan hartanya dengan semestinya (HR. Muslim, No. 3379)
Allahu ‘alam….
LOGIKA
PRIBADI SEORANG MM: Sahabat adalah orang-orang yang senang melakukan perlombaan
untuk berbuat kebaikan dan meniru-niru sikap dan sifat nabi. Bahkan setelah
Rasul wafat, Abu Bakar bertanya kepada Aisyah : “Hal apakah yang pernah Rasulullah
lakukan tapi belum pernah ayahmu ini lakukan?”, ini menyiratkan bahwa Abu Bakar
ingin melakukan apapun yang pernah Rasulullah lakukan. TAPI SATU HAL… kenapa
Abu Bakar tidak menikahi anak-anak yang bermain boneka dengan dalih untuk
mendidiknya, mengurusnya dan memeliharanya seperti yang apolegetik muslim
ucapkan ketika membela mati-matian usia 6 tahun Aisyah ketika menikah, jika
memang Abu Bakar ingin melakukan semua apa yang dilakukan oleh Rasul semasa
hidupnya? JIKA menikahi anak-anak yang bermain boneka suatu kebaikan, TENTU
banyak sahabat yang melakukan atau minimalnya mereka menikahkan anak-anaknya
yang sedang bermain boneka pada sahabat-sahabat lain yang shaleh atau
MINIMALNYA justru mereka menawarkan pada nabi agar di nikahi sebagaimana nabi
telah menikahi Aisyah kecil.
Adakah?
Jika ada, siapa-siapa saja?
Ketika
perang berkecamuk dan banyak wanita muslim menjadi janda dengan menanggung
banyak anak, Rasulullah memberi contoh dengan menikahi ibunya BUKAN menikahi
anak-nya yang masih seger dibanding ibunya agar bisa menanggung beban hidup
mereka yang masih butuh bimbingan kedua orangtua. Alhasil, sahabatpun banyak
yang mencontoh prilaku nabi yang ini dibanding menikahi anak-anak yang bermain
boneka seolah cerita nabi menikahi anak-anak hanyalah dongeng belaka yang tidak
pernah terjadi pada masa itu.
Seandainya
menikahi anak-anak itu ada zaman Rasul dan Rasulpun salah satu dari orang yang
menikahi anak-anak, Insya Allah.. sahabatpun banyak yang menikahi anak-anak
karna selain lebih seger secara syahwat, mereka pun mendapat pahala dengan
mendidik dan menanggung beban hidupnya.
Berikut,
marilah kita perhatikan langsung hadits-hadits SHAHIH tentang usia pernikahan
Aisyah yang MM ambil dari buku hadits ternama seperti sunan Bukhari, Muslim,
Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasa’i, dll (silakan klik http://www.lidwa.com
dengan keyword “sembilan Tahun” buat yang tidak memiliki bukunya)
HADITS
1. Telah
menceritakan kepadaku Farwah bin Abu Al Maghra' telah
menceritakan kepada kami 'Ali bin Mushir dari
Hisyam dari bapaknya
(Urwah Bin Zubair) dari 'Aisyah radliallahu
'anha berkata; Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam menikahiku saat aku berusia enam tahun, lalu kami tiba di Madinah dan singgah di kampung Bani
Al harits bin Khazraj. Kemudian aku menderita demam hingga rambutku menjadi
rontok. Setelah sembuh, rambutku tumbuh lebat
sehingga melebihi bahu. Kemudian ibuku, Ummu
Ruman datang menemuiku saat aku sedang berada dalam ayunan bersama
teman-temanku. Ibuku berteriak memanggilku lalu aku datangi sementara aku tidak mengerti apa yang diinginkannya. Ibuku menggandeng tanganku lalu membawaku hingga sampai
di depan pintu rumah. Aku masih dalam keadaan terengah-engah hingga aku
menenangkan diri sendiri. Kemudian ibuku mengambil air lalu membasuhkannya ke
muka dan kepalaku lalu dia memasukkan aku ke dalam rumah itu yang ternyata
didalamnya ada para wanita Anshar. Mereka berkata; "Mudah-mudahan
memperoleh kebaikan dan keberkahan dan dan mudah-mudahan mendapat nasib yang
terbaik". Lalu ibuku menyerahkan aku kepada mereka. Mereka merapikan
penampilanku. Dan tidak ada yang membuatku terkejut melainkan keceriaan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Akhirnya mereka menyerahkan aku kepada
beliau dimana saat itu usiaku sembilan
tahun". [HR. Bukhari, No. 3605]
CATATAN : Melihat redaksi hadits ini
jelas terlihat bahwa Aisyah pada waktu itu digambarkan masih sangat kecil dan
belum mengerti apa-apa layaknya anak-anak usia 9 tahun yang duduk di kelas 2-3
SD sekarang ini. Jangankan dia mengerti urusan rumah tangga apalagi urusan
kasur, melihat Rasul tersenyumpun dia terkejut dan mungkin saja merasa heran
sebab tidak memahami maksudnya, padahal Rasul sudah menikahi 3 Tahun lalu
ketika usianya 6 tahun. Tentu hal ini menjadi sangat aneh jika seorang nabi
mengambil seorang Ummu mukminin (yang punya tugas berat mendampingi nabi
berdakwah) dari seorang perempuan yang masih bermain boneka sementara beliau
membutuhkan sosok seperti isteri terdahulunya “Khadijah” yang bisa dijadikan sandaran
saat ia berkeluh kesah menghadapi medan dakwah yang sangat sulit dan menguras
airmata.
Tidak
ada hadits/riwayat bahwa anak-anak Rasul dan sahabatnya merasa keberatan dengan
pilihan aneh nabi ini, seolah menikahi anak-anak adalah hal biasa dikalangan
bangsa arab waktu itu. Tapi sayang, selain Rasulullah tidak ada oranglain baik
sahabat maupun musyrik yang diceritakan memiliki isteri seorang anak-anak yang
masih bermain boneka. Mereka (musyrik) malah lebih suka menguburkan anak wanita
hidup-hidup ketimbang menikahkannya dengan orang dewasa.
Coba perhatikan kalimat : “Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
menikahiku saat aku berusia enam tahun, lalu kami tiba di Madinah”
Dari
kalimat ini bisa disimpulkan bahwa nabi menikahi Aisyah di Mekah lalu melakukan
Hijrah ke Madinah bersama-sama dengan nabi ketika usianya 9 tahun (lihat ujung
hadits tersebut yang berwarna hijau). PADAHAL nabi berhijrah hanya ditemani
oleh Abu Bakar dan Aisyah berhijrah sesaat setelah Abu Bakar berada di Madinah
(cerita selengkapany akan dibahas di depan).
Coba bandingkan hadits No 2 dibawah yang juga derajatnya SHAHIH,
riwayat Bukhari dan bersumber dari Urwah Bin Zubair
HADITS
2.
Telah menceritakan
kepadaku 'Ubaid bin Isma'il telah
menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari bapaknya (Urwah Bin Zubair) berkata; "Khadijah Radiallahu 'anha meninggal dunia sebelum
hijrah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ke Madinah selang tiga tahun. Lalu beliau tinggal di Madinah dua tahun atau sekitar
masa itu kemudian beliau menikahi 'Aisyah Radiallahu 'anha ketika dia berusia enam tahun. Kemudian tinggal
bersamanya ketika dia berusia sembilan tahun". [HR. Bukhari, No. 3607]
CATATAN : Sepertinya Apologeter Muslim
akan sangat kebingungan melihat kontradiksi hebat antara hadits No 1 dengan No.
2 ini. (Jika ada teman yang merasa mampu mentakhrij-nya atau menyelaraskannya,
silakan di copy-paste di kolom komentar).
Pada
hadits No.1 dikatakan : Aisyah hijrah ke Madinah PAS berusia 9 Tahun karna
langsung diserahkan pada nabi ketika tiba di Madinah sesaat setelah ia sembuh
dari sakit (Asiyah sakit selama sebulan, jadi tidak ada alasan hijrah 6 tahun
dan sakit Aisyah 3 tahun = 9 tahun. lihat hadits NO. 10) sementara dalam hadits
No.2 disebutkan bahwa Nabi menikahi Aisyah di Madinah pada tahun 2 setelah
hijrah pada usia 6 tahun.
Jika
benar Aisyah dinikahi usia 6 tahun oleh Rasulullah di Madinah pada tahun 2
Hijriah menurut hadits No 2, berarti Usia Aisyah ketika hijrah dari Mekkah ke
Madinah adalah sekitar 4 tahun sebab menurut sebuah riwayat, Aisyah hijrah
sesaat setelah Rasulullah dan Abu Bakar tiba di Madinah. Berikut sedikit
kutipannya :
“Aisyah menceritakan : Ketika Rasulullah berhijrah, beliau
meninggalkan semua anggota keluarganya di Mekah. Setelah beliau tiba di Madinah maka
beliau mengutus Zaid Bin Haritsah dan Budaknya Abu Rafi (Untuk datang ke
Mekah). Mereka diberi dua ekor unta dan uang lima ratus dirham yang beliau
ambil dari Abu Bakar. Apabila diperlukan, uang itu dapat digunakan untuk
membeli lagi binatang tunggangan. Abu Bakar juga mengutus Abdullah Bin Uraigith
untuk ikut bersama keduanya dan menitipkan kepadanya dua atau tiga ekor unta.
Selain itu Abu Bakar pun mengirimkan surat melalui ibn Uraigith agar diberikan
pada Abdullah Bin Abu Bakar (Kakaknya Aisyah). Dalam surat itu dipesankan agar
Ibu (Ummu Rumman), Aku (lebih tepat si pembicara/Aisyah dibanding ditujukan
pada Abdullah Bin Abu Bakar) dan Asma (Kakaknya Aisyah) supaya menunggangi unta
dan diantar ke Madinah…. (HR. Ibnu Abdul Bar
dalam Al Isti’ab jilid IV halaman 450. HR. Zubair dalam Al-Ishabbah jilid IV
halaman 450. Atau dalam buku Kehidupan Para Sahabat (jilid 1) karya Maulana
Muhammad Yusuf Al-Khandalawi, penerbit : Pustaka Zaadul Ma’ad-Bandung, halaman
: 426 dalam pasal “Hijrahnya keluarga Rasulullah dan keluarga Abu Bakar)
Lanjutan
cerita diatas : Ketika kami sampai disuatu tempat
yang bernama Baida, untaku lepas kendali dan
lari, sedangkan aku bersama ibuku berada dalam sekedup. Dalam keadaan seperti itu ibuku menjerit : “Anakku,
Anakku!!”. Namun ketika sampai Harsya, sebuah tempat dekat Juhfah, Zaid dapat
menangkap untaku dan menenangkannya.
Al-Haitsami
juga meriwayatkan kisah yang sama dari Aisyah, katanya : “Kami pergi berhijrah, diperjalanan kami melewati sebuah
lembah yang berbahaya. Ketika kami hendak melewati lembah itu, maka unta yang
kami tunggangi terlepas kendalinya. Demi Allah, aku tidak akan pernah lupa apa
yang diucapkan ibuku pada waktu itu : “Wahai ‘urayyisah!! Unta kita lepas kendali!!.
Pada saat itu aku mendengar seseorang berkata : “Lemparkan kendalinya
dibawah!!”, maka akupun melemparkan
kendalinya. Maka pada saat itu juga unta itu
berhenti seperti ada seseorang yang memegang kendalinya dibawah (Majma’uz Zawa’id jilid IX halaman 227 atau buku Kehidupan Para
Sahabat (jilid 1) karya Maulana Muhammad Yusuf Al-Khandalawi, penerbit :
Pustaka Zaadul Ma’ad-Bandung, halaman : 427 dalam pasal “Hijrahnya keluarga
Rasulullah dan keluarga Abu Bakar)
PERTANYAANNYA : “Mungkinkah anak berusia 4
tahun mampu melakukan hal diatas di situasi genting seperti itu? Bukankah
menangis sambil terkencing-kencing lebih masuk akal dibanding menguasai keadaan
dan melemparkan tali kekang pada si pengawal?
Perhatikan
selalu tulisan yang saya beri warna kuning sebab itu kalimat penekanan yang
akan saya jelaskan. Disitu diceritakan bahwa Aisyah yang berusia 4 tahun
menaiki unta bersama ibunya, Ummu Ruman. Dan lihatlah Ummu Ruman yang
berteriak-teriak panik, berbeda terbalik dengan sikap Aisyah yang meski panik
tapi mampu menguasai keadaan sehingga ia bisa mendengar suara Zaid yang meminta
agar penghuni sekedup melemparkan tali kekang ke arahnya. Lalu Aisyah berhasil
melakukannya.
Seandainya
ketika itu usia Aisyah 9 Tahun (merujuk hadits Nomor 1) maka dia tetaplah
anak-anak yang masih bermain boneka, dan tidak akan bisa setenang itu
menghadapi amukan unta di lembah Baida. Dan dari kejadian ini bisa disimpulkan
bahwa ketika itu Aisyah bukanlah seorang anak kecil, tapi beliau adalah seorang
dewasa.
HADITS
3. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Hisyam
dari bapaknya
(Urwah Bin Zubair) dari Aisyah
radliallahu 'anha, bahwasanya; Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam menikahinya saat
ia berumur enam tahun, dan ia digauli saat
berumur sembilan tahun. Dan Aisyah hidup bersama dengan beliau selama sembilan
tahun. (HR. Bukhari No. 4738)
HADITS
4. Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, serta Abu
Kamil, mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Hisyam
bin 'Urwah dari ayahnya (Urwah bin Zubair) dari Aisyah,
ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menikahiku sementara aku berumur tujuh tahun. Sulaiman berkata; atau enam tahun, dan beliau bercampur
denganku sementara aku berumur sembilan tahun. (Abu Daud 1811)
HADITS
5. Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah menceritakan
kepada kami Hammad. (dalam jalur lain disebutkan) telah menceritakan kepada
kami Bisyr bin Khalid berkata, telah
menceritakan kepada kami Abu Usamah keduanya
berkata; telah menceritakan kepada kami Hisyam bin
Urwah dari Bapaknya (Urwah bin Zubair) dari 'Aisyah
ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam menikahiku saat umurku tujuh atau
enam tahun. Ketika kami tiba di Madinah,
maka datanglah beberapa kaum wanita. Bisyr
bin Khalid menyebutkan : "lalu Ummu
Rumman menghampiriku saat aku ada di ayunan. Mereka kemudian membawaku, lalu
merias dan mengurusku. Setelah itu aku dibawa ke hadapan Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam, dan beliau hidup bersama denganku saat aku berumur sembilan
tahun. Ummu Rumman berdiri bersamaku di depan pintu, hingga aku pun berkata,
'Hah.. hah.. (kalimat yang diucapkan seorang yang gugup hingga bisa tenang) aku
lalu dimasukkan ke dalam rumah, dan ternyata di dalam telah banyak para wanita
Anshar. Mereka berkata, "Semoga membawa kebaikan dan keberkahan."
(Lafadz) Hadits keduanya -Musa bin Isma'il dan Bisyr bin Khalid- kadang ada yang sama."
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'id berkata, telah
menceritakan kepada kami Abu Usamah seperti hadits tersebut. Ia berkata, "Semoga membawa
kebaikan." Ummu Rumman kemudian menyerahkan aku kepada wanita-wanita itu, mereka
lalu mengkramasi kepalaku dan meriasku. Dan tidak ada yang membuatku kaget
kecuali saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang di waktu dhuha,
mereka kemudian menyerahkan aku kepada beliau."
HADITS
6. Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Adam dari 'Abdah
dari Hisyam dari Ayahnya (Urwah Bin Zubair) dari Aisyah,
ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menikahiku sedang saya berumur sembilan tahun, dan saya masih bermain dengan anak-anak sebaya.
PERHATIKAN baik-baik hadits No 3-6 ini.
Meski semuanya 1 sumber (Urwah Bin Zubair) tapi TIDAK KOMPAK ketika menyebut
usia pas ketika Aisyah menikah, seolah perawi ragu, lupa dan tidak kuat
ingatannya ketika menyampaikan cerita ini. Tidak ada manipulasi ketika MM
menulis catatan ini, pembaca bisa melakukan Ricek langsung hadits-hadits
tersebut di http://www.lidwa.com dengan
keyword pencarian : “Sembilan Tahun”
HADITS
7. Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin An Nadhr bin Musar, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Ja'far bin Sulaiman
dari Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya (Urwah
Bin Zubair) dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam menikahiku pada
umur tujuh tahun dan membangun rumah tangga
denganku pada umur sembilan tahun.
HADITS
8. Telah menceritakan kepada kami Mu'alla bin Asad Telah menceritakan kepada kami Wuhaib dari Hisyam bin
Urwah dari bapaknya (Urwah Bin Zubair) dari Aisyah
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahinya
saat itu berusia enam tahun, dan mulai menggaulinya saat ia berumur sembilan tahun.
Hisyam berkata; Dan telah diberitakan kepadaku bahwa Aisyah hidup bersama
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selama sembilan tahun. (HR. Bukhari No 4739)
HADITS
9. Telah menceritakan kepada kami Qabishah bin Utbah Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Hisyam bin
Urwah dari Urwah Bin Zubair bahwasnya;
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahi
Aisyah saat ia berumur enam tahun, kemudian beliau hidup bersama dengannya (menggaulinya)
saat berumur sembilan tahun. Dan Aisyah hidup bersama Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam juga selama sembilan tahun."
HADITS
10.
Telah menceritakan
kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al 'Ala` telah
menceritakan kepada kami Abu Usamah. Dan
diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dia berkata; Saya
mendapatkan dalam kitabku dari Abu Usamah dari
Hisyam dari ayahnya (Urwah bin Zubair) dari 'Aisyah dia
berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam menikahiku waktu saya berumur enam
tahun, dan memboyongku (membina rumah tangga
denganku) ketika saya berusia sembilan tahun." 'Aisyah berkata;
"Sesampainya di Madinah, saya jatuh
sakit selama sebulan, hingga rambutku pada
rontok. setelah sembuh, Ummu Ruman mendatangiku, ketika itu saya sedang
bermain-main bersama kawan-kawanku, lantas dia memanggilku, dan saya
mendatanginya, namun saya tidak tahu apa yang dia inginkan dariku, kemudian dia
memegang tanganku dan membawaku sampai ke pintu rumah, (saya terengah-engah)
sambil menarik nafas; hah…hah… sehingga nafasku lega kembali. Kamudian saya
dibawa masuk kedalam rumah, tiba-tiba di sana telah menunggu beberapa wanita
Anshar. Mereka mengucapkan selamat dan kebaikan kepadaku, lantas Ummu Ruman
menyerahkanku kepada mereka, akhirnya mereka membersihkan kepalaku dan
mendandaniku, pada waktu dluha, betapa terkejutnya saya ketika melihat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam muncul di tempat kami, kemudian mereka
menyerahkanku kepada beliau." (Muslim
2457)
HADITS
11.
Dan telah menceritakan
kepada kami Yahya bin Yahya telah
mengabarkan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Hisyam bin 'Urwah. Dan diriwayatkan dari jalur
lain, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair sedangkan
lafazhnya dari dia, telah menceritakan kepada kami 'Abdah
yaitu Ibnu Sulaiman dari Hisyam dari ayahnya (Urwah Bin Zubair) dari 'Aisyah dia berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahiku ketika saya berumur enam tahun, dan beliau memboyongku (membina rumah tangga denganku)
ketika saya berumur sembilan tahun."
HADITS
12.
Dan telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, Ishaq bin
Ibrahim, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu
Kuraib. Yahya dan Ishaq mengatakan; Telah mengabarkan kepada kami,
sedangkan yang dua mengatakan; Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Al
A'masy dari Ibrahim dari Al Aswad (Orang kufah) dari 'Aisyah dia berkata : “bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahinya
ketika dia berusia enam tahun dan berumah
tangga dengannya ketika berusia sembilan tahun dan tatkala beliau wafat dia
berusia delapan belas tahun."
CATATAN
: Ini hadits satu-satunya yang TIDAK bermuara pada Urwah bin Zubair (Ayahnya
Hisyam). Kejanggalannya : Al-Aswad dan perawi seterusnya adalah orang Kuffah
yang kecil kemungkinan mendengar langsung dari Aisyah, namun besar kemungkinan
iapun mendengarnya dari Urwah bin Zubair. Coba saja kita perhatikan gaya
penuturan-nya yang memakai kata ganti kedua (Dia) untuk Aisyah. Padahal yang
pas sbb : Aisyah berkata : “bahwa Rasul saw menikahi-KU” sebagai bentuk
pendengar langsung. Jika menggunakan kata “DIA”, jelaslah Al Aswad mendengarnya
dari oranglain.
HADITS
13.
Telah menceritakan
kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah
menceritakan kepada kami Hammad berkata,
telah mengabarkan kepada kami Hisyam bin Urwah dari
Urwah Bin
Zubair dari 'Aisyah radliallahu 'anha ia berkata, "Ketika kami datang ke Madinah, sekelompok wanita
mendatangiku saat aku sedang bermain-main di ayunan. Aku adalah seorang wanita
yang rambutnya lebat, mereka kemudian membawaku; mengurus dan meriasku. Setelah
itu mereka membawaku kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka
beliau hidup berumah tangga dengaku saat aku berumur sembilan tahun."
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Khalid berkata, telah mengabarkan
kepada kami Abu Usamah berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam bin
Urwah dengan
sanadnya dalam hadits ini, Aisyah berkata, "Saat aku dan beberapa
sahabatku berada di ayunan. Mereka membawa dan memasukkan aku ke dalam rumah,
dan ternyata di dalamnya telah banyak wanita Anshar. Mereka mengatakan,
"Semoga membawa kebaikan dan keberkahan." Telah menceritakan kepada
kami Ubaidullah bin Mu'adz berkata, telah menceritakan kepada kami Bapakku berkata,
telah menceritakan kepada kami Muhammad -maksudnya Muhammad bin Amru- dari
Yahya -maksudnya Yahya bin 'Abdurrahman bin Hathib ia berkata, "'Aisyah
radliallahu 'anha berkata, "Kami lalu tiba di Madinah, maka kami pun
singgah di bani Al Harits Ibnul Khazraj." 'Aisyah melanjutkan, "Demi
Allah, ketika aku sedang berada di ayunan yang terpasang di antara dua pohon,
ibuku datang dan menurunkan aku dari ayunan. Dan aku adalah wanita yang
mempunyai rambut lebat…. lalu (perawi mengkisahkan Al hadits)." 4286
HADITS
14.
Telah mengabarkan
kepada kami Ishaq bin Ibrahim, ia berkata;
telah memberitakan kepada kami Abu Mu'awiyah,
ia berkata; telah menceritakan kepada kami Hisyam
bin 'Urwah dari ayahnya (Urwah Bin Zubair) dari Aisyah
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menikahinya sedang ia berumur enam tahun dan membangun rumah tangga dengannya sedang
ia berumur sembilan tahun. (Nasa'i
3202)
TANGGAPAN
MM
1.
SUMBER HADITS
Coba
perhatikan baik-baik huruf berwarna kuning yang dicetak tebal, Maka akan timbul
pertanyaan : “Kenapa seluruh hadits tentang pernikahan Aisyah yang berusia 6
tahun ini HANYA memiliki sumber dari URWAH BIN ZUBAIR? Kenapa sahabat-sahabat lain
tidak ada yang meriwayatkannya padahal sahabat nabi yang meriwayatkan hadits
jumlahnya sangat banyak seperti : Abu Hurairah, Anas Bin Malik, Ibnu Umar, dll?
Coba juga kita lihat asal kota para periwayat hadits setelah Urwah Bin Zubair,
maka kita dapati hampir seluruhnya orang Kuffah (Irak). (Silakan klik http://www.lidwa.com kalo nggak punya kitab
lengkapnya buat ngeliat asal para perawi hadits-hadits ini).
Terlepas
dari sebuah tanggapan yang mengatakan bahwa “Kuffah/Basrah adalah penduduk yang
membenci keluarga Abu Bakar sehingga membuat cerita-cerita yang menjatuhkan
martabat keluarga beliau termasuk Aisyah agar terlihat hina), namun kondisi
satu kota ini menjadi tolak ukur juga untuk menentukan derajat sebuah hadits
(dibahas selengkapnya di bawah)
2.
Daftar as-sabiqun al-awwalun
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemeluk_Islam_pertama |
Jika
yang ditulis Ibnu Hisyam ini benar maka kita wajib merenung… sebab
beliau-beliau ini masuk Islam pada tahun pertama kenabian atau 13 tahun sebelum
hijriah. Aisyah binti Abu Bakar termasuk salah satunya. Berarti ketika
Rasulullah diangkat sebagai Nabi, Aisyah telah lahir dan dan bisa mengucapkan
dua kalimah syahadat. Jadi kemungkinan Aisyah hijrah ketika dewasa berumur
belasan tahun dan tenang menghadapi unta yang mengamuk di lembah Baida, adalah
sesuatu yang logis.
Kita
pakai usia minimal 5th ketika Aisyah mengucapkan dua kalimah syahadat + 13th
periode mekah = 18th ketika Aisyah hijrah ke Madinah.
3.
Kisah hijrahnya Rasulullah
Aisyah
menceritkan (dalam hadits panjang) : Biasanya
Rasulullah berkunjung ke rumah Abu Bakar selalu pada waktu pagi dan sore (tanpa
keterangan bahwa kedatangannya untuk mengunjungi Aisyah yang notabene isterinya
sebagai indikasi bahwa ketika hijrah Rasul belum menikahinya). Tetapi pada
waktu diperintahkan nabi untuk berhijrah beliau datang tengah hari…. Maka Abu
Bakar mempersilakan nabi agar duduk diatas kasurnya sedang pada waktu itu tidak
ada seorangpun disana kecuali Aisyah dan Asma (juga tanpa keterangan sebagai
isterinya).
Rasulullah menyuruh kami berdua supaya keluar, lalu Abu Bakar
menjawab : “Ya Rasulallah, mereka berdua adalah puteri saya (Abu Bakar tidak
menyebut-nyebut bahwa Aisyah Isterimu), mereka tidak apa-apa tinggal disini
(untuk mendengarkan obrolan nabi dan Abu Bakar)” – (HR. Ibnu Ishaq
atau dalam buku “Kehidupan Para Sahabat (jilid 1) karya Maulana Muhammad Yusuf
Al-Khandalawi, penerbit : Pustaka Zaadul Ma’ad-Bandung, halaman : 392 dalam
pasal “Persiapan Abu Bakar untuk perjalanan hijrah”)
**
Dalam kurung adalah tambahan MM
Selayang
pandang, sikap nabi yang menyuruh Asma dan Aisyah keluar kamar karna beliau
tidak ingin obrolannya terdengar oleh mereka yang dewasa, juga pembelaan Abu
Bakar pada puteri-puterinya mengesankan bahwa Rasul belum menikahi Aisyah waktu
itu, padahal kedatangan beliau kali ini untuk mengabarkan bahwa perintah Hijrah
jadi sepantasnya nabi datang dan bicara di depan mertua dan isterinya mengenai
hal-hal apa saja yang akan mereka kerjakan.
4.
Kisah hijrahnya Abu Bakar ke Habasyah
Aisyah
menceritakan : Sebelum aku dewasa, kedua orangtuaku
telah memeluk Islam, dan setiap hari keduanya datang ke rumah Rasulullah.
Ketika kaum Muslimin mendapat siksaan lebih keras lagi dari kaum musyrikin
Quraisy, maka Abu Bakar berhijrah ke Habasyah…. (Kehidupan Para Sahabat (jilid 1) karya Maulana Muhammad Yusuf
Al-Khandalawi, penerbit : Pustaka Zaadul Ma’ad-Bandung, halaman : 331 dalam
pasal “Ujian berat bagi kaum Muslim, Hijrahnya Abu Bakar ke Habasyah dan
kisahnya bersama Ibnu Daghinah”) atau (dalam kitab Al-Bidayah jilid III halaman
94) atau Kitab Shahih Bukhari No 2134 http://www.lidwa.com
Hal
ini bisa diartikan bahwa ketika Abu Bakar dan isterinya masuk islam, Aisyah
waktu itu masih berusia kanak-kanak tapi sudah mampu mengingat kejadian di
sekelilingnya. Taro-lah sebelum aku (Aisyah) dewasa disitu adalah berusia 5
tahun (batas minimal yang ditetapkan jumhur ulama hadits untuk menerima sebuah
periwayatan sebab pada usia ini anak-anak mulai Tamyiz dan mengingat beberapa
peristiwa meski belum utuh ingatannya– Ikhtisar
Musthalahul hadits halaman : 241). Jika
dikalkulasi usia Aisyah waktu itu (5th) dengan periode mekah (13th) maka akan
di dapat jumlah 5+13 = 18 tahun ketika usia Aisyah hijrah.
Sejak
masuknya Abu Bakar ke dalam Islam (pada 13 sebelum tahun Hijrah = 610 M), lalu
beliau berniat hijrah ke Habasyah (615 M), maka ketika itu usia Aisyah adalah
10 tahun (5th usia Aisyah + 5th sejak Abu Bakar menerima Islam = 10th).
Berarti, Usia Aisyah ketika hijrah ke Madinah adalah 18th (10th usia Aisyah
ketika ayahnya ke Habasyah + 8th sebelum hijrah ke Madinah = 18th)
Itu
baru perhitungan minimal, belum lagi kalo kita hitung dari usia 6-14th, tentu
usia Aisyah akan lebih tua lagi ketika beliau hijrah ke Madinah.
Usia
yang sangat masuk akal ketika Aisyah hijrah dan tenang ketika menghadapi amukan
unta di lembah Baida ketika ia dan keluarganya hijrah ke Madinah seperti yang
MM ceritakan diatas.
5.
AISYAH IKUT PERANG
Anas
r.a. berkata: “Ketika perang Uhud dan kaum muslimin
banyak yang melarikan diri dari Nabi saw… aku telah melihat A'isyah binti
Abubakar dan Um Sulaim menyingsingkan kain sehingga aku melihat binggel di
betisnya. Keduanya memikul tempat air di atas punggungnya untuk memberi minum
kepada orang-orang yang luka-luka, kemudian pergi lagi untuk mengisi dan
kembali memberi minum kepada orang-orang yang menderita… (HR. Bukhari, Muslim dalam kitab Al-Lu’lu Wal Marjan No. 1187,
Bab : Perang wanita bersama laki-laki)
Sejarah
mencatat bahwa perang Uhud terjadi pada tahun 3 H.
Jika
kita menggunakan acuan hadits No. 1 yaitu usia 9th ketika Aisyah sampai di
Madinah, maka ketika terjadi perang Uhud, Usia Aisyah adalah 11th.
Pertanyaan-nya, apakah boleh anak berusia 11th ikut terjun dalam peperangan?
Jika
memakai patokan hadits No.2 bahwa tahun 2 H nabi menikahi Aisyah 6th , maka
tahun 3 H usia Aisyah adalah 7th
Hadis
riwayat Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah saw.
menguji kemampuanku berperang pada hari perang Uhud, ketika aku berusia empat
belas tahun, lalu beliau tidak mengizinkanku. Dan beliau mengujiku kembali pada
hari perang Khandaq ketika aku berusia lima belas tahun, lalu beliau
mengizinkan aku. (Shahih Muslim No.3473)
Jika
usia 14 tahun saja tidak diizinkan ikut ke medan Uhud, lalu bagaimana dengan
Aisyah yang berusia 11th?
Kecuali
jika Aisyah hijrah pada usia 18th + 3th peristiwa uhud = 21th usianya ketika
ikut perang Uhud, maka ini lebih masuk akal.
MENURUT
MUSHTHALAHUL HADITS
Tanpa
tipuan yang malah menyesatkan aqidah teman Muslim, MM sudah menulis 14 hadits
tentang hal ini lengkap dengan nama perawinya yang secara lengkap bisa teman
lihat di http://www.lidwa.com dengan
keyword “sembilan tahun”. Dan hasilnya, ke-14 hadits terkenal ini hanya
bersumber dari 1 orang saja yaitu Urwah Bin Zubair lalu diterima oleh-oleh
orang-orang Kuffah dan Basrah hingga sampailah di tangan Bukhari, Muslim, Abu
Daud, Nasa’I seperti yang kita lihat sekarang ini di kitab-kitab shahih mereka.
Setelah
MM membolak-balikan buku Musthahalul hadits (untuk mencari kira-kira kategori
hadits manakah yang paling cocok dengan hadits yang ciri-cirinya seperti tadi),
MM merasa condong kepada pengertian HADITS GHARIB yaitu : “Hadits yang dalam
periwayatannya terdapat seseorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana
saja penyendirian dalam sanad itu terjadi” (Dan Urwah Bin Zubair adalah rawi yang
menyendiri dalam meriwayatkan hadits-hadits tadi, dimanapun sanad itu terjadi)
Penyendirian
rawi dalam meriwayatkan hadits itu dapat mengenai personalianya, yakni tidak
ada oranglain yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai
sifat atau keadaan si perawi, artinya sifat atau keadaan si perawi itu berbeda
dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan hadits tersebut (Buku : Ikhtisar Musthalahul Hadits, karya : Drs. Fatchur
Rahman, Terbitan : Al-Ma’rif-Bandung, Tahun : 1978, Halaman : 97 tentang Hadits
Gharib)
Nama
kota asal perawipun ternyata pengaruh terhadap kedudukan suatu hadits, dimana
jika hadits tersebut diriwayatkan oleh orang-orang satu kota saja maka hal
inipun bisa dikategorikan sebagai HADITS GHARIB. Dan sudah MM jelaskan bahwa
perawi-perawi setelah nama Urwah Bin Hisyam adalah orang-orang Kuffah/Basrah
saja (Irak) ((Buku : Ikhtisar Musthalahul
Hadits, karya : Drs. Fatchur Rahman, Terbitan : Al-Ma’rif-Bandung, Tahun :
1978, Halaman : 100, pasal : tentang kota atau tempat tinggal tertentu).
MM
tidak melihat kategori lebih cocok untuk hadits-hadits tersebut (setelah di
teliti) selain kategori HADITS GHARIB ini. Sementara ahli hadits menilai hadits
Gharib sebagai berikut :
1.
Tidak semua hadits gharib adalah dhaif, ia akan jadi shahih apabila memenuhi
syarat-syarat yang dapat diterima dan tidak bertentangan dengan hadits yang
lebih Rajih. Hanya saja pada umumnya hadits Gharib itu adalah Dhaif dan
kalaupun ada yang shahih, jumlahnya sedikit sekali
2.
Menurut Imam malik, bahwa sejelek-jeleknya ilmu hadits itu ialah yang gharib
dan yang sebaik-baiknya adalah yang jelas serta ditenarkan (diriwayatkan) oleh
banyak masyarakat.
3.
Ali bin Al-Husain berpendapat bahwa yang dikatakan hadits yang baik ialah yang
dikenal dan dipopulerkan oleh banyak orang.
4.
Imam Ahmad bin Hanbal melarang seseoraang mencatat hadits-hadits gharib seperti
yang dikatakannya : “Janganlah kamu mencatat hadits-hadits gharib, lantaran
hadits gharib itu munkar-munkar dan pada umumnya berasal dari orang-orang yang
lemah” (Syarah Alfiyah, Muhyi’ddin abdul Hamid, halaman : 99) atau
((Buku : Ikhtisar Musthalahul Hadits, karya : Drs. Fatchur Rahman, Terbitan :
Al-Ma’rif-Bandung, Tahun : 1978, Halaman : 111, pasal : III. Ketentuan umum
hadits Ahad).
Dan
dari sebuah situs MM dapatkan bahwa ‘Urwah Bin Zubair meriwayatkan
hadits-hadits diatas setelah beliau pindah ke Irak ketika usia-nya menjelang
71th. Mengenai Hisyam ini, Ya’qub bin Syaibah berkata: “Apa yang dituturkan
oleh Hisyam sangat terpercaya, kecuali yang disebutkannya tatkala ia sudah
pindah ke Irak.”
Syaibah
menambahkan, bahwa Malik bin Anas menolak penuturan Hisyam yang dilaporkan oleh
penduduk Irak. (Ibn Hajar Al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib. Dar Ihya al-Turats
al-Islami, Jilid II, hal. 50) Termaktub pula dalam buku tentang sketsa
kehidupan para perawi Hadits, bahwa tatkala Hisyam berusia lanjut ingatannya
sangat menurun (Al-Maktabah Al-Athriyah, Jilid 4, hal. 301). ** Dalam hal ini
MM belum melihat langsung dari buku-buku yang dimaksud, jadi jika ada teman
yang punya buku-nya… silakan di-share disini untuk menguatkan keterangan ini **
MASIH
PERLU BUKTI KONKRIT
Argumen-argumen
dibawah ini MM ambil dari situs Kompasiana, Qanzulqalam dan beberapa situs lain
yang mungkin hasil dari penelitian seseorang (situs menyebut : Hz. Maulana
Habibur Rahman Siddiqui Al-Kandahlawi, sebagai sumber yang meneliti dan
mentahqiq hadits tentang usia Aisyah dan membukukannya) Sayang MM nggak punya
buku-buku yang dimaksud sehingga nggak bisa membuktikannya lebih dalam. MM
tulis disini, barangkali ada temen yang punya bukunya dan bersedia
menuliskannya untuk jadi bukti selanjutnya.
1.
Menurut At-Thabari, keempat anak Abu Bakar ra. dilahirkan oleh isterinya pada
zaman Jahiliyah (artinya sebelum nabi diangkat sebagai rasul pada tahun 610 M)
Dalam
hal ini, situs tersebut tidak menyebutkan nama buku yang ditulis oleh
At-Thabari. Tapi minimalnya pengakuan ini senada dengan pendapat ibn Hisyam
yang menempatkan Aisyah pada No. 19 sebagai orang yang mula-mula masuk Islam.
Juga senada dengan hadits yang mengatakan bahwa dirinya (Aisyah) belum dewasa
ketika orangtuanya masuk Islam.
2.
Menurut Abdurrahman ibn Abi Zannad : “Asma 10 tahun lebih tua dari Aisyah ra.”
(At-Thabari, Tarikh Al-Mamluk, Jilid 4, hal. 50). Menurut Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Asma hidup hingga usia 100 tahun dan meninggal tahun 73 atau 74
Hijriyah (Al-Asqalani, Taqrib al-Tahzib, hal. 654).
Artinya,
apabila Asma meninggal dalam usia 100 tahun pada tahun 73 atau 74 Hijriyah,
maka Asma berumur 27-28 tahun pada waktu Hijrah, sehingga kita dengan mudah
menebak umur Aisyah ketika dia hijrah yaitu 27 tahun usia Asma - 10 tahun
perbedaan usia Asma dengan Aisyah = 17 tahun usia Aisyah.
Allahu
‘alam…
Bukan
MM hendak mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah (Kalo emang
halal menikahi anak-anak), juga bukan pula merasa lebih pintar dari ulama-ulama
terdahulu, tapi perbandingan ini semata-mata MM buat atas kecintaan pada
Rasulullah yang tidak mungkin memberi contoh buruk pada umatnya yaitu dengan
cara menikahi anak-anak dibawah umur, sebab menurut Alqur’an, beliau adalah
suri tauladan yang baik : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Qs. Al-Ahzab : 21)
Seandainya
beliau menikahi anak-anak, tentu tidak ada halangan buat kita untuk melakukan
hal yang sama. Dan kalau seandainya itu pengecualian yang dikhususkan untuk
Rasulullah saja, tentu akan terdapat pada ayat ini :
“Hai
Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah
kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa
yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan
(demikian dihalalkan pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu
(Anak paman dari garis ayah), anak-anak perempuan dari saudara perempuan
bapakmu (Anak Bibi dari garis ayah), anak-anak perempuan dari saudara laki-laki
ibumu (Anak Paman dari garis ibu) dan anak-anak perempuan dari saudara
perempuan ibumu (anak bibi dari garis ibu) yang turut hijrah bersama kamu dan
perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya
Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang
isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi
kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs.
Al-Ahzab : 50)
MM
tidak melihat adanya pengkhususan untuk menikahi anak-anak yang belum dewasa
pada ayat ini.
Mungkin
teman-teman muslim akan merasa berat hati membaca uraian ini sebab kita sudah
deprogram oleh guru ngaji dan orang-orangtua kita mengenai “keshahihan” cerita
itu. Tapia apa gunanya akal jika tidak kita gunakan untuk menyelidiki sendiri
terhadap berita-berita yang telah dianggap benar sebelumnya.
Uraian
ini kemungkinan akan bertambah jika ditemukan fakta-fakta baru, dan Insya Allah
akan MM tambahkan di blog ini secara bertahap.
Allahu
'alam bis shawab.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar