I.
TA’RIF
Yang dimaksud dengan Hadits
Masyhur, ialah :
“Hadits
yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat
mutawatir.”
Menurut ulama fiqhi, Hadits
Masyhur itu adalah muradlif dengan
Hadits Mustafid. Sedang ulama yang
lain membedakannya. Yakni, suatu hadits dikatakan dengan mustafid bila jumlah rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit,
sejak dari thabaqah pertama sampai dengan thabaqah terakhir. Sedang Hadits
Masyhur lebih umum daripada Hadits Mustafid.
Yakni jumlah rawi-rawi dalam tiap-tiap thabaqah tidak harus selalu sama banyaknya,
atau seimbang.
Karena itu, dalam Hadits
Masyhur, bisa terjadi jumlah rawi-rawinya dalam thabaqah pertama, sahabat,
thabaqah kedua, tabi’i, thabaqah ketiga, tabi’ it-tabi’ in, dan thabaqah
keempat, orang-orang setelah tabi’it-tabi’in, terdiri dari seorang saja, baru
kemudian jumlah rawi-rawi dalam thabaqah kelima dan seterusnya banyak sekali.
Misalnya Hadits Masyhur yang
ditakhrijkan oleh Bukhari Muslim dari sahabat Ibnu Umar ra.:
“Rasulullah
saw bersabda : Hanya sahnya amal-amal itu dengan niat dan hanya bagi tiap-tiap
orang itu memper0leh apa yang ia niatkan dan seterusnya.....”
Hadits tersebut pada thabaqah
pertama hanya diriwayatkan oleh sahahat Umar sendiri, pada thabaqah kedua hanya
diriwayatkan oleh Alqamah sendiri, pada thabaqah ketiga hanya diriwayatkan oleh
Ibnu Ibrahim At-Taimy sendiri dan pada thahaqah keempat hanya diriwayatkan oleh
Yahya bin Said sendiri.
Dari Yahya bin Sa’id inilah
hadits tersebut diriwayatkan oleh orang banyak. Ditinjau dari segi klasifikasi
hadits Ahad yang lain, maka hadits Umar tersebut dapat juga dikatakan dengan
Hadits Gharib pada awalnya, masyhur pada akhirnya.
II. Macam-macam Hadits-Masyhur
Istilah Masyhur yang diterapkan
pada suatu hadits, kadang-kadang bukan untuk memberikan sifat-sifat hadits menurut
ketetapan di atas, yakni banyaknya rawi yang meriwayatkan suatu hadits, tetapi
diterapkan juga untuk memberikan sifat suatu hadits yang mempunyai ketenaran di
kalangan para ahli ilmu tertentu atau di kalangan masyarakat ramai. Sehingga
dengan demikian ada suatu hadits yang rawi-rawinya kurang dari tiga orang,
bahkan ada hadits yang tidak berasal (bersanad) sama sekalipun, dapat dikatakan
dengan Hadits Masyhur.
Dari segi ini, maka Hadits
Masyhur itu terbagi kepada:
1. Masyhur di kalangan para
Muhadditsin dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang umum)
2. Masyhur di kalangan
ahli-ahli ilmu tertentu misalnya hanya masyhur di kalangan ahli hadits saja,
atau ahli fiqhi saja, atau ahli tasawuf saja, atau ahli nahwu saja, atau lain
sebagainya.
3. Masyhur di kalangan
orang-orang umum saja.
III. Contoh Hadits Masyhur yang
pertama ialah :
Rasulullah
saw bersabda: “seorang Muslim itu ialah orang yang menyelamatkan sesama Muslim
lainnya dari gangguan lidah dan tangannya”
Di samping kedua imam hadits,
yaitu Bukhari dan Muslim, para imam hadits seperti: Imam Abu Dawud, Imam An-Nasa’i,
Imam At-Turmudzy dan Imam Ad-Darimy juga mentakhrijkan hadits tersebut dengan
sanad yang berbeda-beda dalam kitab-kitab sunan mereka.
Bukan saja para Muhadditsin
sebagaimana dikemukakan di atas, akan tetapi para ulama ahli tashawuf, ahli
fiqih, ahli akhlak dan bahkan orang umum sekalipun memasyhurkan hadits
tersebut.
Contoh hadits masyhur yang
kedua, misalnya yang hanya masyhur pada kalangan Muhadditsin saja, seperti
hadits Muttafaq alaih yang diriwayatkan oleh sahabat Anas r.a ujarnya:
“Bahwa
Rasulullah saw berkunut. sebulan lamanya setelah rukuk untuk (mendoakan)
keluarga Ri’lin dan Dzakwan.”
Kalau hadits tersebut kita ambil
menurut pentakhrijan Imam Bukhari (Nomor 1). Maka Imam Bukhari menerima hadits
tersebut melalui sanad-sanad: Ahmad bin Yunus, Zaidah, Sulaiman At-Taimy, Abi
Mijlaz dan sahabat Anas bin Malik.
Sahabat Anas bin Malik tidak hanya
meriwayatkan hadits itu kepada Abi Mijlaz saja. Beliau juga meriwayatkan kepada
rawi-rawi tabi’i yang lain, yaitu Musa bin Anas dan Qatadah.
Sulaiman At-Taimy yang menerima
hadits dari Abi Mijlaz, meriwayatkan hadits itu tidak hanya kepada Zaidah
sendiri, tetapi juga kepada Mu’tamir bin Sulaiman.
Selanjutnya Mu’tamir
meriwayatkannya kepada Abu Kuraib, Ubaidillah dan Ishak, yang ketiga orang ini adalah
dijadikan sanad pertama oleh Imam Muslim, di antara sanad-sanad pertama beliau
yang lain.
Musa bin Anas dan Qatadah yang
masing-masing menerima hadits dari Anas bin Malik meriwayatkan kepada Syu’bah,
dan Syu’bah mewedarkan kepada Aswad bin amir. Selanjutnya Aswad bin amir
mewedarkan kepada amr An-Naqid untuk diteruskan kepada Imam Muslim. (Periksa dalam bagan tersebut di atas, nomor:
1 1 - footnote).
(Footnote) Gambar anak panah dalam skema dalam buku ini, jika:
1. Menunjuk ke atas, maksudnya untuk menjelaskan sanad. Artinya
hadits yang ditakhrijkan oleh pentakhrij itu bersanad pertama si Polan, sanad
kedua si Polan dan seterusnya, sampai kepada sanad yang terakhir yakni sahabat
2. Menunjuk ke bawah maksudnya untuk menjelaskan rawi. Artinya
hadits Rasulullah saw itu diriwayatkan oleh rawi pertama sahabat si Polan, rawi
kedua tabi’i si Polan dan setrusnya sampai kepada rawi yang terakhir yang
dijadikan sanad (pertama) juga oleh pentakhrijnya
3. terdiri dart titik-titik maksudnya (rawi) tersebut tidak
bersambung atau tidak saling bertemu satu sama lain.
Ulama-ulama selain ahli hadits
tidak banyak yang memasyhurkan hadits tersebut. Oleh karena hadits itu hanya
masyhur di kalangan Muhadditsin saja.
Contoh hadits yang masyhur di
kalangan ulama fiqh saja, Seperti:
“Tidak
sah bershalat bagi orang yang berdekatan dengan mesjid, selain bershalat di
dalam mesjid.”
Para Muhadditsin tidak banyak
meriwayatkan hadits ini, bahkan para hafidh mendla’ifkannya. Biarpun demikian
keadaannya, para fuqaha tetap memasyhurkannya.
Contoh hadits masyhur yang hanya
masyhur di kalangan para ahli ushul saja, seperti sabda Rasulullah saw:
“Terangkat
(dosa) dari umatku, kekeliruan, lupa dan perbuatnya yang mereka kerjakan karena
terpaksa.”
Ibnu Hibban dan sebagian ulama
hadits yang lain menshahihkan hadits tersebut dengan mengadakan sedikit
perubahan redaksinya, yakni: “Innallaha
wadlaa ala ummati... dan seterusnya.”
Para Muhadditsin yang
meriwayatkan hadits itu tidak sebanyak para Ushuliyyin, yang boleh dikatakan
hampir semuanya menukilnya dalam kitab-kitab mereka, yang dikemukakan sebagai
dasar hukum (dalil) untuk menetapkan gugurnya dosa seorang mukallaf yang
meninggalkan kewajiban karena keliru, lupa atau terpaksa.
Contoh hadits masyhur yang
ketiga, yakni yang hanya masyhur di kalangan orang awam saja, seperti hadits:
“Bagi
si peminta-minta itu ada hak, walaupun datang dengan kuda.”
Dan hadits:
“Hari
raya kurbanmu itu adalah hari puasamu sekalian.”
Kedua hadits di atas menurut Imam
Ahmad bin Hanbal sangat tersiar di kalangan orang-orang awam dan tidak mempunyai
dasar di dalam mencari i’tibarnya (menetapkan mutabi atau syahidnya suatu
hadits yang diduga gharib).
Sebagian ulama mengatakan bahwa
pendapat yang demikian itu tidak benar kalau dikatakan berasal dari Imain
Ahmad. Hadits yang pertama (lis Saili
haqqun...) bersumber dari Al-Husain bin Ali dari ayahnya dari Ibnu abbas
danAl-Harmas bin Ziyad dengan sanad-sanad yang Sebagiannya adalah jayyid. Dan
Abu Dawud tidak memberikan komentar sedikit pun terhadap hadits itu.
Demikian juga hadits:
“Barang
siapa menyakiti orang dziminy, maka sayalah lawannya nanti pada hari kiamat.”
Menurut Imam Ahmad tidak mempunyai
dasar untuk mencari i’tibarnya. Hadits ini juga didapatkan periwayatan yang
serupa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, tetapi Abu Dawud juga diam, tidak
memberikan penilaiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar