Jumat, 17 Juli 2015

HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM

Tidak ada komentar:

A. DALIL-DALIL YANG MENETAPKANNYA 

Hampir seluruh umat Islam telah sepakat menetapkan Al-Hadits sebagai salah satu undang-undang yang wajib ditaati, baik berdasarkan petunjuk akal, petunjuk nash-nash Al-Quran maupun ijma para sahabat. 

1. Menurut petunjuk akal 

Nabi Muhammad saw adalah Rasul Allah yang telah diakui dan dibenarkan umat Islam. Di dalam melaksanakan tugas agama, yaitu menyampaikan hukum-hukum syariat kepada umat, kadang-kadang beliau membawakan peraturan-Peraturan yang isi dan redaksi peraturan itu telah diterima dari Allah swt. Dan kadang-kadang beliau membawakan peraturan-peraturan hasil ciptaan sendiri atas bimbingan ilham dari Allah. Dan tidak jarang pula beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tiada ditunjuk oleh wahyu atau dibimbing oleh ilham. 

Hasil ijtihad beliau ini terus berlaku sampai ada nash yang menasakhkanya. Sudah layak sekali kalau peraturan-peraturan dan inisiatif- inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham, maupun hasil ijtihad beliau, kita tempatkan sebagai sumber hukum positif. Kepercayaan yang telah kita berikan kepada beliau sebagai utusan Allah mengharuskan kepada kita untuk menaati segala peraturan yang dibawanya. 

2. Menurut petuniuk nash Al-Quran 

Al-Qur’an telah mewajibkan ittiba dan menaati hukum dan peraturan-peraturan yang disampaikan Muhammad saw dalam beberapa ayat antara lain: 

“Apa-apa yang disampaikan Rasulullah kepadamu, terimah. Dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah” (Al-Hasyr : 7)

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. (An-Nisa: 64) 

“Tidak layak bagi seorang Islam laki-laki dan perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu —perawinya— menggunakan hak pilihannya” (Al-Ahzab : 36) 

3. Ijma’ush Sahabat 

Para sahabat telah sepakat menetapkan wajibul ittiba terhadap Al-Hadits, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah wafat. Di waktu hayat Rasulullah, para sahabat sama konsekuen melaksanakan hukum-hukum Rasulullah, mematuhi peraturan-peraturan dan meninggalkan larangan-larangannya. Sepeninggal Rasulullah, para sahabat bila tidak menjumpai ketentuan dalam Al-Qur’an tentang sesuatu perkara, mereka sama menanyakan bagaimana ketentuan dalam hadits. 

Abu Bakar sendiri kalau tidak ingat akan suatu ketentuan dalam hadits Nabi, menanyakan kepada siapa yang masih mengingatnya. Umar dan sahabat lain pun meniru tindakan Abu Bakar tersebut. Tindakan para Khulafa’ur Rasyidin tidak ada seorang pun dari sahabat dan tabi’in yang mengingkarinya. Karenanya hal sedemikian itu merupakan suatu ijma. 

B. GOLONGAN YANG MENOLAK KEHUJJAHAN AL-HADITS 

Di samping adanya persepakatan dari golongan mayoritas umat Islam untuk menerima Al-Hadits sebagai dasar perundang-undangan terdapat pula penolakan dari sejumlah kecil golongan umat Islam tentang Al-Hadits sebagai sumber syariat setelah Al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa cukuplah Al-Quran saja sebagai dasar perundang-undangan. Alasan yang mereka kemukakan antara lain: 

1. Bahwa firman Allah: “Dan Kami telah menurunkan Al-Quran kepadamu sebagai penjelas segata sesuatu. (An-Nahl : 89) 
 
Menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu telah mencakup seluruh persoalan agama, hukum-hukum dan telah memberikan penjelasan sejelas-jelasnya serta perincian sedetail-detailnya hingga tidak memerlukan lagi yang lain seperti hadits. Jika masih memerlukannya, niscaya di dalam Al-Qur’an masih terdapat sesuatu yang dilalaikan. 

2. Bahkan andaikata Al-Hadits itu sebagai hujjah, niscaya Rasulullah memerintahkan untuk menulisnya dan para sahabat dan tabi’in segera mengumpulkannya dalam dewan hadits demi untuk memelihara agar jangan hilang dan dilupakan orang. Yang demikian itu agar diterima kaum muslimin secara qathi. Sebab dalil yang dhanny tidak sah berhujjah. 

Hujjah yang dikemukakan oleh golongan ini adalah kurang kuat. Sebab: 

a. Al-Qur’an itu memuat dasar-dasar agama dan kaidah-kaidah umum dan sebagian nashnya telah diterangkan dengan jelas dan sebagian yang lain diterangkan oleh Rasulullah saw karena memang beliau diutus Allah untuk menjelaskan kepada manusia hukum-hukum Al-Quran. Oleh karena demikian maka penjelasan Rasulullah tentang hukum-hukum itu adalah penjelasan Al-Quran juga. Firman Allah: 

“Dan Kami telah menurunkan Al-Quran kepadamu agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan mudah-mufahan mereka memikirkan” (An-Nahl : 44) 

b. Ketiadaan Rasulullah saw memerintahkan menulis Al-Hadits dan melarang menulisnya sebagaimana diriwayatkan oleh hadits shahih, tidak menunjukkan ketiadaan kehujjahan Al-Hadits.

Bahkan kemaslahatan yang lebih sesuai di saat itu adalah untuk menulis Al-Quran dan mendewankannya untuk menjaga agar jangan sampai hilang dan bercampur dengan sesuatu. Ke-hujjah-an itu tidak hanya terletak pada tertulisnya Al-Hadits saja, tetapi juga dapat terletak kepada ke mutawatirannya, pengambilannya dan orang adil lagi terpercaya dan diberitakan oleh orang-orang yang kuat hafalannya. Pemindahan dengan cara beg ini, bukanlah berarti kurang sah daripada pemindahan dan tulisan. 

Golongan Khawarij dan Mu’tazilah, tidak menerima hadits Ahad sebagai hujjah, karenanya tidak boleh diamalkan. Sebab di dalam hadits itu terdapat kemungkinan kesalahan, purbasangka dan kebohongan dari rawi-rawinya. Dengan demikian tidak memberikan faedah ilmu qathi, padahal Allah berfirman: 

“Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya .... (Al-Isra’: 36) 

Sesuatu yang tidak memberikan faedah ilmu qath’i tidak dapat digunakan sebagai hujjah menetapkan akidah dan tidak pula dapat digunakan mewajibkan beramal. 

Kalau diperhatikan benar-benar alasannya, golongan Khawarij dan Mu’tazilah ini pada prinsipnya menerima juga Al-Hadits sebagai dasar Tasyri’ (perundang-undangan) Sebab andaikan hal-hal yang menyebabkan kekhawatiran itu tidak ada, niscaya mereka akan memakai Al-Hadits. Padahal keragu-raguan itu pasti akan hilang bila mereka mau meneliti Al-Hadits dengan berpedoman kepada aturan-aturan untuk menerima hadits-hadits yang dapat dibuat hujjah dan menolak hadits-hadits yang tidak dapat dibuat hujjah sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah dirintis dan ditetapkan oleh ulama-ulama ahil hadits. Dengan penelitian ini, tersisihlah hadits-hadits maudlu’ dari kelompok hadits-hadits shahih dan hasan yang dapat dibuat hujjah. 

C. PERBENDAHARAAN AL-HADITS TERHADAP ALQURAN 

Al-Quran itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah Al-Quran. Perbendaharaan Al-Hadits terhadap Al-Quran tidak lepas dari salah satu dari tiga fungsi: 

1. Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Quran. Maka dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya Allah di dalam Al-Quran mengharamkan bersaksi palsu dalam firman-Nya: 

“Dan jauhilah perkataan dusta.” (Al-Hajj : 30)

Kemudian Nabi dengan haditsnya menguatkannya: “Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar!” Sahut kami: “Baiklah, hai Rasulullah.” Beliau meneruskan, sabdanya: (1) Musyrik kepada Allah, (2) Menyakiti kedua orang tua. Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: “Awas! Berkata (bersaksi) palsu” —dan seterusnya— (Riwayat Bukhari-Muslim) 
 
2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang masih mujmal, memberikan taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mutlak dan memberikan takhshish (penentuan khusus) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. 

Misalnya: Perintah mengerjakan shalat, membayar zakat dan menunaikan haji di dalam Al-Quran tidak dijelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara-cara melaksanakan shalat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan juga tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah di-tafshil (diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits).

Nash-nash Al-Qur’an mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak, dalam surat Al-Maidah: 3

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan seterusnya.” 

Kemudian As-Sunnah mentaqyidkan kemutlakannya dan mentakhsishkan keharamannya, beserta menjelaskan macam-macam bangkai dan darah, dengan sabdanya: 

“Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah, itu ialah bangkai ikan air dan bangkai belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa.” (Riwaya Ibnu Majah dan Al-Hakim) 

Ketentuan anak-anak dapat mempusakai orang tuanya dan keluarganya di dalam Al-Quran dilukiskan secara umum: 

“Allah telah mewasiatkan kepadamu tentang bagian anak-anakmu, yakni untuk laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan. (An-Nissa: 11) 

Tidak dijelaskan syarat-syarat untuk pusaka mempusakai antara mereka. Kemudian Al-Hadits mengemukakan syarat, tidak berlainan agama dan tidak adanya tindakan pembunuhan, dalam sabdanya: 

“Si muslim tidak boleh mewarisi harta si kafir dan si kafir pun tidak boleh mewarisi harta si muslim.” (Riwayat Jamaah) 

“Si pembunuh tidak boleh mewarisi harta orang yang dibunuh sedikit pun” (Riwaya An-Nasai) 

3. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati di dalam Al-Quran. Di dalam hal ini hukum-hukum atau aturan-aturan itu hanya berasaskan Al-Hadits semata-mata. Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya, seperti disabdakan: 

“Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ammah (saudari bapak)-nya dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibu)-nya” (Riwayat Bukhari-Muslim) 

Juga larangan mengaw ini seorang wanita yang sepersusuan karena ia dianggap muhrim senasab, dalam sabdanya: 

Sungguh, Allah telah mengharamkan mengaw ini seseorang karena sepersusuan sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab.” (Riwayat Bukhari-Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top