A.
DALIL-DALIL YANG MENETAPKANNYA
Hampir seluruh umat Islam telah
sepakat menetapkan Al-Hadits sebagai salah satu undang-undang yang wajib
ditaati, baik berdasarkan petunjuk akal, petunjuk nash-nash Al-Quran maupun
ijma para sahabat.
1.
Menurut petunjuk akal
Nabi Muhammad saw adalah Rasul
Allah yang telah diakui dan dibenarkan umat Islam. Di dalam melaksanakan tugas
agama, yaitu menyampaikan hukum-hukum syariat kepada umat, kadang-kadang beliau
membawakan peraturan-Peraturan yang isi dan redaksi peraturan itu telah
diterima dari Allah swt. Dan kadang-kadang beliau membawakan peraturan-peraturan
hasil ciptaan sendiri atas bimbingan ilham dari Allah. Dan tidak jarang pula
beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tiada
ditunjuk oleh wahyu atau dibimbing oleh ilham.
Hasil ijtihad beliau ini terus
berlaku sampai ada nash yang menasakhkanya. Sudah layak sekali kalau peraturan-peraturan
dan inisiatif- inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham,
maupun hasil ijtihad beliau, kita tempatkan sebagai sumber hukum positif.
Kepercayaan yang telah kita berikan kepada beliau sebagai utusan Allah
mengharuskan kepada kita untuk menaati segala peraturan yang dibawanya.
2.
Menurut petuniuk nash Al-Quran
Al-Qur’an telah mewajibkan ittiba dan menaati hukum dan
peraturan-peraturan yang disampaikan Muhammad saw dalam beberapa ayat antara
lain:
“Apa-apa
yang disampaikan Rasulullah kepadamu, terimah. Dan apa-apa yang dilarangnya
bagimu, tinggalkanlah” (Al-Hasyr : 7)
“Dan
Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.
(An-Nisa: 64)
“Tidak
layak bagi seorang Islam laki-laki dan perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu —perawinya— menggunakan hak pilihannya” (Al-Ahzab : 36)
3.
Ijma’ush Sahabat
Para sahabat telah sepakat
menetapkan wajibul ittiba terhadap Al-Hadits,
baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah wafat. Di waktu hayat
Rasulullah, para sahabat sama konsekuen melaksanakan hukum-hukum Rasulullah,
mematuhi peraturan-peraturan dan meninggalkan larangan-larangannya. Sepeninggal
Rasulullah, para sahabat bila tidak menjumpai ketentuan dalam Al-Qur’an tentang
sesuatu perkara, mereka sama menanyakan bagaimana ketentuan dalam hadits.
Abu Bakar sendiri kalau tidak
ingat akan suatu ketentuan dalam hadits Nabi, menanyakan kepada siapa yang
masih mengingatnya. Umar dan sahabat lain pun meniru tindakan Abu Bakar
tersebut. Tindakan para Khulafa’ur Rasyidin tidak ada seorang pun dari sahabat
dan tabi’in yang mengingkarinya. Karenanya hal sedemikian itu merupakan suatu
ijma.
B.
GOLONGAN YANG MENOLAK KEHUJJAHAN AL-HADITS
Di samping adanya persepakatan
dari golongan mayoritas umat Islam untuk menerima Al-Hadits sebagai dasar perundang-undangan
terdapat pula penolakan dari sejumlah kecil golongan umat Islam tentang Al-Hadits
sebagai sumber syariat setelah Al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa cukuplah Al-Quran
saja sebagai dasar perundang-undangan. Alasan yang mereka kemukakan antara
lain:
1. Bahwa firman Allah: “Dan
Kami telah menurunkan Al-Quran kepadamu sebagai penjelas segata sesuatu.
(An-Nahl : 89)
Menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu
telah mencakup seluruh persoalan agama, hukum-hukum dan telah memberikan
penjelasan sejelas-jelasnya serta perincian sedetail-detailnya hingga tidak
memerlukan lagi yang lain seperti hadits. Jika masih memerlukannya, niscaya di
dalam Al-Qur’an masih terdapat sesuatu yang dilalaikan.
2. Bahkan andaikata Al-Hadits
itu sebagai hujjah, niscaya Rasulullah memerintahkan untuk menulisnya dan para
sahabat dan tabi’in segera mengumpulkannya dalam dewan hadits demi untuk
memelihara agar jangan hilang dan dilupakan orang. Yang demikian itu agar diterima
kaum muslimin secara qathi. Sebab
dalil yang dhanny tidak sah
berhujjah.
Hujjah yang dikemukakan oleh
golongan ini adalah kurang kuat. Sebab:
a. Al-Qur’an itu memuat
dasar-dasar agama dan kaidah-kaidah umum dan sebagian nashnya telah diterangkan
dengan jelas dan sebagian yang lain diterangkan oleh Rasulullah saw karena
memang beliau diutus Allah untuk menjelaskan kepada manusia hukum-hukum Al-Quran.
Oleh karena demikian maka penjelasan Rasulullah tentang hukum-hukum itu adalah
penjelasan Al-Quran juga. Firman Allah:
“Dan
Kami telah menurunkan Al-Quran kepadamu agar engkau menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan mudah-mufahan mereka
memikirkan” (An-Nahl : 44)
b. Ketiadaan Rasulullah saw
memerintahkan menulis Al-Hadits dan melarang menulisnya sebagaimana
diriwayatkan oleh hadits shahih, tidak menunjukkan ketiadaan kehujjahan Al-Hadits.
Bahkan kemaslahatan yang lebih
sesuai di saat itu adalah untuk menulis Al-Quran dan mendewankannya untuk
menjaga agar jangan sampai hilang dan bercampur dengan sesuatu. Ke-hujjah-an
itu tidak hanya terletak pada tertulisnya Al-Hadits saja, tetapi juga dapat
terletak kepada ke mutawatirannya, pengambilannya dan orang adil lagi terpercaya
dan diberitakan oleh orang-orang yang kuat hafalannya. Pemindahan dengan cara
beg ini, bukanlah berarti kurang sah daripada pemindahan dan tulisan.
Golongan Khawarij dan
Mu’tazilah, tidak menerima hadits Ahad sebagai hujjah, karenanya tidak boleh diamalkan.
Sebab di dalam hadits itu terdapat kemungkinan kesalahan, purbasangka dan
kebohongan dari rawi-rawinya. Dengan demikian tidak memberikan faedah ilmu qathi, padahal Allah berfirman:
“Dan
janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya .... (Al-Isra’: 36)
Sesuatu yang tidak memberikan
faedah ilmu qath’i tidak dapat
digunakan sebagai hujjah menetapkan akidah dan tidak pula dapat digunakan
mewajibkan beramal.
Kalau diperhatikan benar-benar
alasannya, golongan Khawarij dan Mu’tazilah ini pada prinsipnya menerima juga Al-Hadits
sebagai dasar Tasyri’ (perundang-undangan)
Sebab andaikan hal-hal yang menyebabkan kekhawatiran itu tidak ada, niscaya
mereka akan memakai Al-Hadits. Padahal keragu-raguan itu pasti akan hilang bila
mereka mau meneliti Al-Hadits dengan berpedoman kepada aturan-aturan untuk
menerima hadits-hadits yang dapat dibuat hujjah dan menolak hadits-hadits yang
tidak dapat dibuat hujjah sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah dirintis dan
ditetapkan oleh ulama-ulama ahil hadits. Dengan penelitian ini, tersisihlah
hadits-hadits maudlu’ dari kelompok hadits-hadits shahih dan hasan yang dapat
dibuat hujjah.
C.
PERBENDAHARAAN AL-HADITS TERHADAP ALQURAN
Al-Quran itu menjadi sumber hukum
yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah Al-Quran.
Perbendaharaan Al-Hadits terhadap Al-Quran tidak lepas dari salah satu dari
tiga fungsi:
1. Berfungsi menetapkan dan
memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Quran. Maka dalam hal ini keduanya
bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya Allah di dalam Al-Quran
mengharamkan bersaksi palsu dalam firman-Nya:
“Dan
jauhilah perkataan dusta.” (Al-Hajj : 30)
Kemudian Nabi dengan haditsnya
menguatkannya: “Perhatikan!
Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar!” Sahut
kami: “Baiklah, hai Rasulullah.” Beliau meneruskan, sabdanya: (1) Musyrik
kepada Allah, (2) Menyakiti kedua orang tua. Saat itu Rasulullah sedang
bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: “Awas! Berkata (bersaksi)
palsu” —dan seterusnya— (Riwayat Bukhari-Muslim)
2. Memberikan perincian dan
penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang masih mujmal,
memberikan taqyid (persyaratan)
ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mutlak dan memberikan takhshish (penentuan khusus) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum.
Misalnya: Perintah mengerjakan
shalat, membayar zakat dan menunaikan haji di dalam Al-Quran tidak dijelaskan
jumlah rakaat dan bagaimana cara-cara melaksanakan shalat, tidak diperincikan
nisab-nisab zakat dan juga tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji.
Tetapi semuanya itu telah di-tafshil
(diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits).
Nash-nash Al-Qur’an
mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak, dalam surat Al-Maidah: 3
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan seterusnya.”
Kemudian As-Sunnah mentaqyidkan
kemutlakannya dan mentakhsishkan keharamannya, beserta menjelaskan macam-macam
bangkai dan darah, dengan sabdanya:
“Dihalalkan
bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah, itu ialah bangkai ikan air dan
bangkai belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa.” (Riwaya
Ibnu Majah dan Al-Hakim)
Ketentuan anak-anak dapat
mempusakai orang tuanya dan keluarganya di dalam Al-Quran dilukiskan secara
umum:
“Allah
telah mewasiatkan kepadamu tentang bagian anak-anakmu, yakni untuk laki-laki
sama dengan dua bagian anak perempuan. (An-Nissa: 11)
Tidak dijelaskan syarat-syarat
untuk pusaka mempusakai antara mereka. Kemudian Al-Hadits mengemukakan syarat,
tidak berlainan agama dan tidak adanya tindakan pembunuhan, dalam sabdanya:
“Si
muslim tidak boleh mewarisi harta si kafir dan si kafir pun tidak boleh
mewarisi harta si muslim.” (Riwayat Jamaah)
“Si
pembunuh tidak boleh mewarisi harta orang yang dibunuh sedikit pun” (Riwaya
An-Nasai)
3. Menetapkan hukum atau
aturan-aturan yang tidak didapati di dalam Al-Quran. Di dalam hal ini hukum-hukum
atau aturan-aturan itu hanya berasaskan Al-Hadits semata-mata. Misalnya larangan
berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya, seperti
disabdakan:
“Tidak
boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ammah (saudari
bapak)-nya dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibu)-nya” (Riwayat
Bukhari-Muslim)
Juga larangan mengaw ini
seorang wanita yang sepersusuan karena ia dianggap muhrim senasab, dalam sabdanya:
Sungguh,
Allah telah mengharamkan mengaw ini seseorang karena sepersusuan sebagaimana
halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab.” (Riwayat Bukhari-Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar