Ta'rif Hadits |
Para Muhadditsin (Ulama Ahli Hadits) berbeda-beda pendapatnya dalam menta’rifkan Al-Hadits. Perbedaan pendapat terbut disebabkan karena terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing. Dari perbedaan sifat peninjauan mereka itu melahirkan dua macam ta’rif Al-Hadits, yakni: ta’rif yang terbatas di satu fihak dan ta’rif yang luas di fihak lain.
I. Ta’rif Al-Hadits yang terbatas sebagaimana dikemukakan oleh Jumhurul Muhadditsin ialah:
ما اضيف للنبي صلى الله عليه وسلم قولا اوفعلا اوتقريرا اونحوها
Ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya.” -Manhaj Dzawi’n Nadhar, Muh. Mahfudh At-Tarmusy, halaman 7-
Ta’rif ini mengandung empat macam unsur, yakni perkataan, perbuatan, pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad saw yang lain, yang semuanya hanya disandarkan kepada beliau saja, tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada sahabat dan tidak pula kepada tabi’iy.
Pemberitaan terhadap hal-hal tersebut yarg disandarkan kepadaNabi Muhammad saw disebut berita yang marfu’, yang disandarkan kepada sahabat disebut berita mauquf dan yang disandarkan kepada tabi’ iy disebut maqhtu.
1. Perkataan
Yang dimaksud dengan perkataan Nabi Muhammad saw ialah perkataan yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang, seperti bidang hukum (syari’at), akhlaq, ‘aqidah, pendidikan, dan sebagainya.
Sebagai contoh perkataan beliau yang mengandung hukum syari’at, misalnya sabda beliau:
“Hanya amal-amal perbuatan itu dengan niat, dan hanya bagi setiap orang itu memperoleh apa yang ia niatkan... dan seterusnya. (Riwayat Bukhari-Muslim)
Hukum yang terkandung dalam sabda Nabi tersebut, ialah kewajiban niat dalam segala amal perbuatan untuk mendapat pengakuan sah dari syara’.
Contoh sabda Nabi yang mengandung akhlak, misalnya sabda beliau:
“(Perhatikan) tiga hal. Barang siapa yang sanggup menghimpunnya, niscaya akan mencakup iman yang sempurna. Yakni: (1) jujur terhadap diri sendiri, (2) mengucapkan salam perdamaian kepada seluruh dunia dan (3) mendermakan apa yang menjadi kebutuhan umum.” (Riwayat Bukhari)
Sabda Nabi tersebut menganjurkan seseorang berakhlak luhur, berkesadaran tinggi, cinta perdamaian dan dermawan.
Di antara sabda beliau yang mendidik manusia agar rela meninggalkan kerja-kerja yang tidak berfaedah demi pembentukan pribadi Muslim yang sempurna, ialah:
“Termasuk hal yang dapat menyempurnakan keislaman seseorang ialah kerelaannya untuk meninggalkan apa yang takberguna.” (Riwayat Bukhari)
2. Perbuatan
Perbuatan Nabi Muhammad saw merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syari’at yang belum jelas cara pelaksanaannya.
Misalnya cara bershalat dan cara menghadap kiblat dalam shalat sunat di atas kendaraan yang sedang berjalan, telah dipraktekkan oleh Nabi dengan perbuatan beliau di hadapan para sahabat.
Perbuatan beliau dalam misal yang terakhir, dapat kita ketahui berdasarkan berita sahabat Jabir ra, katanya:
“Konon Rasulullah saw bershalat di atas kendaraan (dengan menghadap kiblat) menurut kendaraan itu menghadap. Apabila beliau hendak shalat fardlu, beliau turun sebentar, terus men ghadap kiblat.” (Riwayat Bukhari)
Adanya pengecualian sebagian daripada perbuatan Rasuullah saw tidaklah mengurangi ketentuan tentang keseluruhan perbuatan Rasulullah menjadi nash syara yang harus diikuti dan diteladani oleh seluruh umat Islam, disebabkan mungkin ada suatu dalil yang menunjukkan bahwa perhuatan itu hanya spesifik bagi Nabi saja. Perbuatan beliau yang tidak termasuk nash yang harus ditaati, antara lain ialah:
A.Sebagian tindakan beliau yang ditunjuk oleh suatu dalil yang khas, yang menegaskan bahwa perbuatan itu hanya spesifik buat beliau sendiri. Misalnya tindakan beliau atas dispensasi dari Allah, diperbolehkan mengaw ini wanita lebih dari 4 orang, dan mengaw ini wanita tanpa memberikan maskawin.
Sebagai dalil adanya dispensasi mengaw ini wanita tanpa maskawin, ialah firman Allah dalam surat Al-Ahzab: 50.
“... dan Kami halalkan seorang wanita mukminah menyerahkan dirinya kepada Nabi (untuk dikaw ini tanpa mahar), bila Nabi menghendaki menikahinya, sebagai suatu kelonggaran untuk engkau (saja), bukan untuk kaum beriman umumnya.” (Al-Ahzab: 50)
B. Sebagian tindakan beliau yang berdasarkan suatu kebijaksanaan semata-mata yang bertalian dengan soal-soal keduniaan, seperti soal perdagangan, pertanian dan mengatur taktik perang. misalnya.
Pada suatu hari Rasulullah pernah kedatangan seorang sahabat yang tidak berhasil dalam penyerbukan putik kurma, meminta penjelasan kepada beliau, lalu beliau menjawab bahwa“kamu adalah lebih tahu mengenai urusan keduniaan”. Dan pada waktu Perang Badar, Rasulullah menempatkan divisi tentara di suatu tempat yang kemudian ada seorang sahabat yang menanyakan kepada beliau, apakah penempatan itu atas petunjuk dari Allah atau hanya semata-mata pendapat dan siasat beliau? Rasulullah menjawabnya bahwa tindakannya itu hanya semata-mata menurut pendapat dan siasat beliau. Akhirnya atas usul salah seorang sahabat, tempat tersebut dipindahkan ke tempat lain yang lebih strategis.
C. Sebagian perbuatan beliau pribadi sebagai manusia. Seperti makan, minum, berpakaian dan lain sebagainya. Tetapi kalau perbuatan tersebut memberi suatu petunjuk tentang tata cara makan, minum, berpakaian dan lain sebagainya, maka menurut pendapat yang lebih baik, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq dan kebanyakan para Muhadditsin hukumnya sunat, misalnya:
“Konon Nabi saw, mengenakan jubah (gamis) sampai di atas mata kaki. “ (Riwayat Al-Hakim)
3. Taqrir
Arti taqrir Nabi, ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.
Contoh taqrir Nabi Muhammad saw tentang perbuatan sahabat yang dilakukan di hadapannya, ialah tindakan salah Seorang sahabat yang bernama Khalid bin Walid, dalam salah satu jamuan makan menyajikan makanan daging biawak dan mempersilakan kepada Nabi untuk menikmatinya bersama para undangan. Beliau menjawab:
“Tidak (maaf). Berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku, aku jijik padanya!” Kata Khalid: “Segera aku memotongnya dan memakannya, sedang Rasulullah saw melihat kepadaku.” (Riwayat Bukhari, Muslim)
Tindakan Khalid dan para sahabat yang pada menikmati daging biawak tersebut, disaksikan oleh Nabi, dan beliau tidak menyanggahnya. Keengganan beliau memakannya itu disebab kan karena jijik. -Pengecualian pada A, B, dan C tersebut, dapat diperiksa dalam Tasyir’ul Jina’il Islamy, karya Abdul Qadir Audah, 1: 177; Al-Bayan, Abdul Hamid Hakim, III: 174 dan dalam Tafsir Ibnu Katsir, III: 499 – 500-
Contoh lain adalab diamnya Nabi terhadap wanita yang pada keluar rumah, berjalan di jalanan pergi ke mesjid, dan mendengarkan ceramah-ceramah yang memang diundang untuk kepentingan suatu pertemuan.
Adapun yang termasuk taqrir qauliyah, yaitu apabila seseorang sahabat berkata: “Aku berbuat demikian atau sahabat pada berbuat begitu” di hadapan Rasul, dan beliau tidak mencegahnya. Di samping adanya syarat, bahwa perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang sahabat itu tidak mendapat sanggahan dan disandarkan sewaktu Rasulullah masih hidup, juga orang yang melakukan itu hendaknya orang yang taat kepada agama Islam. Sebab diamnya Nabi terhadap apa yang dilakukan atau diucapkan oleh orang kafir atau orang munafik, bukan berarti memberi persetujuan. Memang sering sekali Nabi mendiamkan apa-apa yang dilakukan oleh orang munafik, lantaran beliau tahu, banyak benar petunjuk-petunjuk yang tidak memberi manfaat padanya.
4. Sifat-sifat, keadaan-keadaan, dan himmah (hasrat) Rasulullah saw
Sifat-sifat dan keadaan beliau yang termasuk unsur Al-Hadits. ialah:
A. Sifat-sfat beliau yang dilukiskan oleh para sahabat dan ahli tarikh, seperti sifat-sifat dan bentuk jasmaniah beliau dilukiskan oleh sahabat Anas ra, sebagai berikut:
“Rasulullah itu adalah sebaik-baik manusia mengenai paras mukanya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukan orang tinggi dan bukan pula orang pendek.” (Riwayat Bukhari-Muslim)
B. Silsilah-silsilah, nama-nama dan tahun kelahiran yang telah ditetapkan oleh para sahabat dan ahli tarikh. Contoh mengenai tahun kelahiran beliau seperti apa yang dikatakan oleh Qais bin Mahramah ra, ujarnya:
“Aku dan Rasulullah saw dilahirkan pada tahun gajah.” (Riwayat At-Turmudzy)
C. Himmah (hasrat) beliau yang belum sempat direalisir. Misalnya hasrat beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas ra, ujarnya:
“Dikala Rasulullah saw berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata: ‘Ya Rasulullah, bahwa hari ini adalah yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani. Sahut Rasulullah: ‘Tahun yang akan datang, Insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan” (Riwayat Muslim dam Abu Dawud)
Tetapi Rasulullah saw tidak menjalankan puasa di tahun depan, disebabkan beliau telah wafat.
Menurut Imam Syafi’i dan rekan-rekannya, bahwa menjalankan himmah itu disunatkan, karena Ia termasuk salah satu bagian sunnah, yakni: sunnah-hammiyah.
As-Syaukany berpendapat, bahwa yang benar, tidaklah demikian, yakni tidak termasuk sunnah, sebab hamm itu hanya melulu kehendak hati yang belum dilaksanakan dan tidak termasuk sesuatu yang diperintahkan oleh Rasulullah dan Allah Untuk dikerjakan atau ditinggalkannya.
Ringkasnya menurut ta’rif yang terbatas yang dikemukakan oleh Jumhurul Muhadditsin tersebut di atas bahwa pengertian Hadits itu hanya terbatas kepada segala sesuatu yang dimarfu-kan (disandarkan) kepada Nabi Muhammad saja. Sedang segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, tabi’iy atau tabi’it-tabi’in, tidak termasuk Al-Hadits.
Dengan memperhatikan macam-macam unsur Al-Hadits dari manakah yang harus didahulukan mengamalkannya bila ada perlawanan antara unsur-unsur tersebut. para Jumhurul Muhadditsin membagi Hadits berturut-turut kepada:
a. Sunnah — qauliyah
b. Sunnah — fi’liyah
c. Sunnah — taqririyah
d. Sunnah — hammiyah
II. Tarif Al-Hadits yang luas sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian Muhadditsin, tidak hanya mencakup sesuatu yang dimarfukan kepada Nabi Muhammad saja. tetapi juga perkataan perbuatan dan taqrir yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’iy pun disebut Al-Hadits. Dengan demikian Al-Hadits menurut ta’rif ini meliputi segala berita yang marfu, mauquf (disandarkan kepada sahabat) dan maqthu’ (disandarkan kepada tabi’iy), sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Mahfudh:
“Sesungguhnya Hadits itu bukan hanya yang dimarfu-kan kepada Nabi saw saja, melainkan dapat pula disebutkan pada apa yang mauquf (dihubungkan dengan perkataan dan sebagainya dari sahabat) dan pada apa yang maqthu (dihubungkan dengan perkataan dan sebagainya dari tabi’iy).
[Sumber : Musthahalul Hadits]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar