Di artikel
sebelumnya saya sudah menjelaskan beberapa point yang terdapat dalam Qs.
An-Nisaa : 157, dan kali ini saya akan melanjutkan analisanya dengan mengutip
tulisan Pak Armansyah (Ustadz asal Palembang, sekaligus penulis buku : Rekonstruksi
Sejarah Isa Al-Masih).
Dan kata yang
akan menjadi tema pembahasan utama kita disini adalah :
شُبِّهَ لَهُمْ
Tsubiha lahum..
(Disamarkan bagi mereka)
Kata ini
memiliki arti dalam bahasa Indonesia : DISAMARKAN atau ada juga yang
menterjemahkannya dengan istilah DISERUPAKAN. Inilah yang lalu memicu silang
pendapat ditengah mufassirin Muslim. Apa maksud dari istilah disamarkan atau
diserupakan disini?
Pemahaman umum
yang beredar ditengah komunitas muslim, maksud dari kata tersebut adalah adanya
orang lain yang dialih rupakan menjadi Nabi Isa dan lalu orang itulah yang
kemudian menjalani semua proses penyaliban.
Untuk menjadi
pegangan awal bersama : TIDAK ADA
SATUPUN NASH YANG BERASAL DARI NABI YANG MENYEBUTKAN TAFSIR AYAT TERSEBUT
SEPERTI INI. Artinya, Nabi tidak pernah menafsirkan ayat dari surah
an-Nisaa 157 ini sebagai adanya pertukaran wajah dan fisik dari Nabi Isa kepada
orang lain diluarnya.
Ditinjau dari
sudut tata bahasapun penafsiran adanya proses substitusi wajah dari Nabi Isa
kepada orang lain diluarnya kurang tepat. Dimana jika memang benar seseorang
menggantikan Nabi Isa maka mestinya Al-Qur’an menggunakan Isim Dhamir atau kata ganti
diri ketiga tunggal seperti lakin syubiha lahu
(melainkan yang disamarkan untuk dia) dan bukan lakin
syubbiha lahum (melainkan yang disamarkan untuk mereka).
Lebih jauh ayat
ini tidak menggunakan bentuk fi’il mar’ruf
dengan subjek penjelas, melainkan ia menggunakan bentuk fi’il majhul yang tidak menjelaskan siapa penggantinya dalam
ketersamaran tersebut.
Selanjutnya,
sebelum lafadz syubbiha tidak
disebutkan nama seseorang yang telah diserupakan dengan Nabi Isa, padahal
disini ada lafadz syubbiha yang
majhul (tidak dikenal) dan didalamnya ada Isim
Dhamir mufrad yang Mustatir.
Menurut hukum gramatikal, Nahu, Dhamir itu harus terdahulu sebutannya dengan lafadz
atau makna atau hukum.
Dan apabila Nabiul Fa’il kata syubbiha disebutkan maka
itu akan berarti bahwa Nabi Isa-lah yang diserupakan wajahnya menjadi rupa
orang lain, bukan orang lain yang diserupakan menjadi wajah Nabi Isa. Jelas ini
bertambah rancu. Kesimpulan pastinya, bukanlah rupa
alias wajah dan fisik Nabi Isa yang disamarkan dengan orang lain, melainkan keadaan atau kondisinya sajalah yang
diserupakan atau disamarkan seolah-olah telah mati dalam proses tersebut,
seolah-olah beliau sudah dipermalukan dan menjadi manusia terkutuk karena ia
tersalibkan.
Memang dalam
kitab Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaluddin Muhammad Ibnu
Ahmad Al-Mahalliy) ditemukan tafsir sebagai berikut :
(Serta karena
ucapan mereka) dengan membanggakan diri (“Sesungguhnya kami telah membunuh
Almasih Isa putra Maryam utusan Allah”) yakni menurut dugaan dan pengakuan
mereka. Artinya disebabkan semua itu Kami siksa mereka. Dan Allah berfirman,
menolak pengakuan mereka telah membunuhnya itu (padahal mereka tidak
membunuhnya dan tidak pula menyalibnya tetapi diserupakan bagi mereka dengan
Isa) maksudnya yang mereka bunuh dan mereka salib itu ialah sahabat mereka
sendiri yang diserupakan Allah dengan Isa hingga mereka kira Nabi Isa sendiri.
(Sesungguhnya
orang-orang yang berselisih paham padanya) maksudnya pada Isa (sesungguhnya
dalam keragu-raguan terhadapnya) maksudnya terhadap pembunuhan itu. Agar
terlihat orang yang dibunuh itu, sebagian mereka berkata, “Mukanya seperti muka
Isa, tetapi tubuhnya lain, jadi sebenarnya bukan dia!” Dan kata sebagian pula,
“Memang dia itu Isa!” (mereka tidak mempunyai terhadapnya) maksudnya pembunuhan
itu (keyakinan kecuali mengikuti persangkaan belaka) disebut sebagai istitsna
munqathi'; artinya mereka hanya mengikuti dugaan-dugaan hasil khayal atau
lamunan belaka (mereka tidak yakin telah membunuh Isa) menjadi hal yang
menyangkal pembunuhan Isa itu.
Tetapi darimana
tafsir diatas diperoleh ? Saya menemukannya dari kitab tafsir Ibnu Katsir,
(anda bisa membacanya secara online disini : http://www.quran4u.com/Tafsir Ibn Kathir/004 Nisa.htm). Isinya kurang lebih –saya akan ambil bagian yang terpenting saja– :
Ketika Allah
ingin mengangkat Isa -‘alaihis salam– ke langit, beliau pun keluar
menuju para sahabatnya dan ketika itu dalam rumah terdapat 12 orang sahabat al
Hawariyyun. Beliau keluar menuju mereka dan kepala beliau terus meneteskan air.
Lalu Isa mengatakan, “Sesungguhnya di antara
kalian ada yang mengkufuriku sebanyak 12 kali setelah ia beriman padaku.”
Kemudian Isa berkata lagi, “Ada di antara kalian
yang akan diserupakan denganku. Ia akan dibunuh karena kedudukanku.
Dia pun akan menjadi teman dekatku.”
Kemudian di antara para sahabat beliau tadi yang masih muda berdiri, lantas Isa
mengatakan, “Duduklah engkau.” Kemudian Isa kembali lagi pada mereka,
pemuda tadi pun berdiri kembali.
Isa pun mengatakan, “Duduklah engkau.”
Kemudian Isa datang lagi ketiga kalinya dan pemuda tadi masih tetap berdiri dan
ia mengatakan, “Aku, wahai Isa.” “Betulkah engkau yang ingin
diserupakan denganku?” ujar Nabi Isa. Kemudian pemuda tadi diserupakan
dengan Nabi Isa.
Isa pun
diangkat melalui lobang tembok di rumah tersebut menuju langit. Kemudian
datanglah rombongan orang Yahudi. Kemudian mereka membawa pemuda yang
diserupakan dengan Nabi Isa tadi. Mereka membunuhnya dan menyalibnya.
Riwayat dalam
kitab Ibnu Katsir ini dituliskan secara sanadnya shahih
sampai Ibnu ‘Abbas. An Nasa-i meriwayatkan tafsir ini dari Abu Kuraib dan dari
Abu Mu’awiyah.
Oke, kita
berhenti dulu disini. Bahwa sanadnya berhenti sampai di Ibnu Abbas. Jadi tidak
disebutkan lagi Ibnu Abbas bersumberkan dari siapa tafsir tersebut.
Semua dari kita
mahfum bila Ibnu Abbas dianggap sebagai seorang penafsir al-Qur’an yang besar.
Namun disini, jelas bahwa Ibnu Abbas kemungkinan mendapatkan tafsirnya dari Wahb ibnu Munabbih sebagaimana dicatat cerita yang
hampir serupa oleh Ibnu Katsir dengan sanad Ya’qub al-Qummi dari Harun Ibnu
Antarah dari Wahb ibnu Munabbih. Ada juga tafsir lain sejenis dengan sanad
Ismail ibnu Abdul Karim dari Abdus Samad ibnu Ma’qal dari Wahb ibnu Munabbih.
Anda bisa
mengeceknya secara online disini : http://www.scribd.com/doc/39570083/Tafsir-Ibnu-Katsir-Juz-6 buka halaman 21 sampai 37. Atau silakan baca dalam kitab Tafsir Ibnu
Katsir jilid VI.
Wahab ibnu
Munabbih sendiri nama aslinya Abu ‘Abd Allah al-Ṣana’ani al-Dhimari ada juga yang
mengatakan nama aslinya Wahab ibn Munabbih ibn
Kamil ibn Sirajud-Din Dhee Kibaar Abu-Abdullah al-Yamani al-San’ani. Dia
bersama rekannya Ka’ab al-Akhbar adalah orang Yahudi Yaman yang masuk Islam
setelah Nabi Muhammad wafat dan masuk kedalam kategori Tabi’in. Wahab ibn
Munabbih juga banyak meriwayatkan hadis-hadis Israiliyat dan memiliki
pengetahuan yang tinggi tentang kitab-kitab Yahudi, dia wafat pada usia 90
tahun.
Sama seperti
Wahab ibnu Munabbih, Ka’ab al-Akhbar juga adalah seorang Yahudi Yaman yang baru
masuk Islam setelah Nabi Muhammad wafat (karenanya Ka’ab termasuk kategori
Tabi’in dan bukan sahabat), nama aslinya adalah Ka’ab bin Mati’ Himyari. Ka’ab
tercatat adalah seorang Yahudi yang sangat mengetahui isi Taurat, mungkin yang
dimaksud Taurat disini bisa jadi adalah ajaran-ajaran Talmud, Perjanjian Lama
atau tulisan-tulisan apokripa Yahudi lainnya karena kitab Taurat sendiri tidak
ada lagi pada jaman Nabi Muhammad hidup. Anehnya Ka’ab al-Akhbar menjadi salah
satu sumber terpercaya selama berabad-abad dalam dunia Islam dan banyak
dijadikan rujukan dalam buku-buku sejarah dan tafsir, ia wafat pada tahun 32
atau 33 Hijriah di kota Himsh.
Tidak sedikit
ulama yang memegang riwayat dari Ka’ab al-Akhbar, diantaranya Imam Bukhari,
Ibnu Jauziy, Ibnu Hibban, Abu Shahbah, Addzahabi, Ibnu ‘Asaaqir Abu Nu’aim
filhulyah dan Ibnu Hajar. Silahkan kesini untuk membaca lebih lengkap : http://www.islamic-awareness.org/Hadith/Ulum/israel.html
Kecenderungan
para sahabat Nabi untuk mencari tahu lebih lanjut dari ayat-ayat cerita didalam
al-Qur’an yang berkaitan dengan bangsa Israel bukan sebuah rahasia. Umar ibnu
Khatab, Abu Hurairah, Atha’ bin Jasar dan termasuklah Ibnu Abbas adalah
orang-orang yang cukup intens dengan pengetahuan-pengetahuan yang ada didalam
Taurat dan Injil. Banyak hal yang mereka ingin ketahui seperti sifat-sifat Nabi
didalam Taurat dan berbagai hal lainnya. Tempat mereka bertanya tentu saja
orang-orang Ahli Kitab yang baru masuk Islam seperti diantaranya Wahb ibnu
Munabbih, Ka’ab al-Akhbar, Abdullah ibnu Amr bin Ash dan lain sebagainya.
Bukan hal yang
tidak mungkin jika informasi hadis yang disampaikan oleh para sahabat yang
notabene mantan penganut ahli kitab dimasa lalu lebih banyak bersandar pada
sisa-sisa kepercayaan lama mereka. Sehingga banyak kemudian tafsir-tafsir
Israiliyat yang belum jelas benar dan salahnya justru merasuk kedalam khasanah
tafsir al-Qur’an dan bagi orang awam cenderung diamini sebagai sebuah kebenaran
mutlak.
Lantas boleh
jadi anda akan bertanya sama saya : “Pak Arman, setahu saya orang-orang ahli
kitab semua berkeyakinan bahwa Nabi Isa alias Yesus menurut mereka adalah orang
yang disalibkan. Jadi bagaimana mungkin Wahab ibnu Munabbih atau yang lainnya ini
bisa menafsirkan sebaliknya?”
Jawab saya : “Apa
yang anda tahu mungkin tidak mewakili semua fakta dan kebenaran yang ada.
Faktanya sejak abad ke-2 masehi, artinya jauh hari sebelum Wahab ibnu munabbih
lahir atau jauh hari sebelum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad muncul,
keyakinan adanya proses substitusi wajah dalam peristiwa penyaliban Nabi Isa
sudah ada”.
Riwayat-riwayat
yang menyatakan tentang teori subsitusi wajah seseorang kepada wajah Isa al-Masih
dalam kejadian menjelang penyaliban itu bisa ditemui dalam banyak variasi pada
naskah-naskah apokripa Kristen. Sebut saja misalnya dalam naskah yang
diperkirakan dicatat pada abad ke-2 Masehi yang disebut sebagai ‘Second
Treatise of the Great Seth’ tertulis
:
Dan
rencana yang mereka susun untukku, untuk melepaskan kesalahan mereka dan
ketidak berperasaan mereka –aku tidak mengalah pada mereka seperti yang mereka
rencanakan. Bahkan aku tidak menderita sama sekali. Mereka yang di sana
menghukumku. Dan aku sesungguhnya tidak mati, hanya seolah-olah telah mati,
agar aku tidak dipermalukan oleh mereka karena semua ini merupakan keluargaku…
Karena
kematianku yang menurut mereka sudah terjadi, karena kesalahan dan kebutaan
mereka, karena mereka memakukan orang mereka sendiri hingga mati… karena mereka
tuli dan buta… Ya, mereka melihatku; mereka menghukumku. Adalah orang lain,
ayah mereka, yang meminum empedu dan cuka; bukan aku. Mereka menyerangku dengan
buluh; itu adalah orang lain, Simon, yang memanggul salib di pundaknya. Adalah
orang lain yang mereka pakaikan mahkota duri… dan aku menertawakan kejahilan
mereka … Karena aku mengubah bentuk fisikku, berubah dari satu bentuk ke bentuk
lainnya.”
Naskah lainnya
yang serupa adalah yang berasal dari abad ke-4 Masehi yang dikenal dengan nama “Apocalypse
of Peter” yang bercerita :
Ketika
dia mengatakan hal itu, aku melihatnya seolah-olah ditangkap oleh mereka. Dan
aku berkata, “Apakah yang aku lihat, Tuanku, benarkah engkau yang mereka
tangkap, padahal engkau menggapaiku? Atau siapakah orang ini, yang bergembira
dan tertawa di atas pohon itu? Dan adakah orang lain yang kaki dan tangannya
mereka ikat?” Sang Juru Selamat bersabda kepadaku, “Dia yang engkau lihat di
atas pohon, yang bergembira dan tertawa, adalah Isa yang masih hidup.
Namun,
orang yang tangan dan kakinya mereka paku adalah bagian dagingnya yang
merupakan wujud pengganti yang dibuat sama, seseorang yang sungguh-sungguh
mirip dengannya. Tetapi lihatlah ia dan aku.” … Namun aku, ketika aku melihat,
berkata, “Tuan, tidak ada seorang pun yang melihatmu. Biarkanlah kami lari dari
tempat ini.” Namun, ia berkata kepadaku, “Sudah Aku katakan, tinggalah si buta
itu sendiri! Dan kamu, lihatlah betapa mereka tidak mengetahui apa yang mereka
katakan. Karena sebenarnya bukan pelayanku yang mereka permalukan.”
Begitupula
dengan naskah yang disebut sebagai “Acts of John” yang ditulis pada abad
ke-2 Masehi :
Dan kami
seperti orang-orang yang heran atau kebingungan, kami berlari ke sana kemari.
Demikianlah, aku melihatnya menderita serta tidak tahan dengan penderitaannya,
kemudian berlari menuju Bukit Zaitun, meratapi apa yang telah terjadi. Dan
ketika ia digantung pada Hari Jumat, pada jam enam hari itu, muncullah
kegelapan menyelimuti seluruh bumi. Dan Tuanku berdiri di tengah goa dan
menjelaskan hal itu seraya bersabda, “Yohanes, bagi orang-orang yang ada di
Yerusalem, Aku memang disalib dan ditusuk dengan tombak dan bambu, serta diberi
cuka dan empedu untuk diminum.
Namun,
bagimu Aku tengah berbicara dan mendengarkan apa yang Aku katakan… Dan ketika
Ia selesai mengatakan hal ini, Ia menunjukkan padaku sebuah salib bersinar yang
sangat kokoh, dan di sekitar salib itu ada kerumunan yang sangat besar, yang
tidak memiliki bentuk tunggal; dan di dalamnya terdapat satu bentuk dan
kemiripan yang sama. Dan aku melihat Tuan sendiri ada di atas salib … “Ini
bukanlah salib kayu yang akan kamu lihat ketika engkau turun dari sini; Aku
juga bukan orang yang ada di atas salib itu. Aku adalah orang yang kini tidak
bisa kamu dengar, tetapi kamu hanya bisa mendengar suaraku. Aku dijadikan
seseorang yang bukan aku, aku bukanlah diriku bagi banyak orang lain; tetapi
apa yang akan mereka katakan tentang aku tidak berarti apa-apa untukku.
Demikianlah
aku tidak menderita segala hal yang akan mereka katakan tentang aku; bahkan
penderitaan yang aku tunjukkan kepadamu dan kepada murid-muridku dalam tarian,
itulah yang aku sebut sebuah misteri… Kamu mendengar bahwa aku menderita,
padahal aku tidak menderita;
Dan
bahwa Aku tidak menderita, padahal aku menderita; dan bahwa Aku ditombak,
padahal aku tidak terluka; bahwa aku digantung, padahal aku tidak digantung;
bahwa darah mengalir dariku, padahal tidak ada darah yang mengalir; dan,
singkatnya, apa yang mereka katakan tentang aku, aku tidak mengalaminya, tetapi
apa yang tidak mereka katakan, itulah hal-hal yang membuatku menderita …”
Ketiga cerita
yang ada didalam naskah apokripa Kristen diatas semuanya memang mengukuhkan
teori substitusi wajah Isa al-Masih kepada wajah orang lain, sama seperti apa
yang disampaikan Ibnu Katsir, tapi dari sini kita sebenarnya justru bisa
memberikan cukup banyak catatan kritis kepadanya yang mengharuskan diadakannya
peninjauan kembali validasi historisnya sebelum diterima sebagai dogma keimanan
bagi umat Islam. Semua argumen atau cerita mereka diatas ini tidak masuk akal
dan lemah sekali untuk bisa diterima. Apalagi ketiganya berbeda dalam isi
ceritanya. Jadi menurut saya kita belum bisa berdiri diatas benang basah
seperti itu.
Sebagian dari
kita sebagai umat Islam terkadang terlalu berlebihan dalam memandang sosok para
Nabi dan Rasul sehingga nyaris menganggap mereka sebagai manusia langit yang
sama sekali tidak tersentuh dengan berbagai permasalahan duniawiah, banyak dari
kita berpikir bahwa seorang Nabi itu haruslah senantiasa berkhotbah tentang
akhlak, berkhotbah tentang ketuhanan, penuh mukjizat, sakti mandraguna, suci
tak bernoda dan tidak pernah melakukan kesalahan sekecil apapun, tidak mungkin
bisa dilukai apalagi dibunuh dan berbagai sifat kedewaan lainnya yang akhirnya
secara tidak langsung telah melakukan pengkultusan dan menaikkan status
kemanusiawian mereka diatas manusia-manusia lainnya.
Al-Masih putera
Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya
beberapa Rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa
memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka
tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling -Qs. 5 al-Ma’idah : 75
Tanyakanlah:
“Siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak
membinasakan Al-Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan siapa saja diatas
bumi semuanya?” -Qs. Al-Ma’idah : 17
Dalam sejarah
kenabian di al~Qur’an kita banyak melihat berbagai fenomena bagaimana misalnya
seorang Ibrahim yang disebut sebagai kekasih Allah telah ditangkap dan dibakar
oleh umatnya kedalam api yang membara, kita juga membaca bagaimana Nabi Yunus
bisa sampai terperangkap kedalam perut ikan atau Yusuf putera Nabi Ya’kub yang
terjebak kedalam sumur oleh saudara-saudaranya atau yang paling akhir adalah
Nabi Muhammad sendiri yang harus hijrah ke Madinah karena intimidasi kaum kafir
Mekkah dan perlakuan mereka yang buruk terhadapnya, dalam sebuah pertempuran
dibukit Uhud, wajah beliau terluka dan nyaris terbunuh.
Semuanya
menyajikan data-data historis insaniah para Nabi dan Rasul Tuhan yang hidup dan
berinteraksi sebagaimana manusia normal lainnya. Lalu kenapa dalam hal Isa
al~Masih yang umatnya disebut oleh Qur’an sebagai umat yang terbiasa membunuh
para Nabi harus mendapat pengecualian dengan mengharuskannya “terhindar secara
luar biasa” dari perlakuan umatnya ?
Kesabaran para
Nabi dalam menghadapi ujian selalu mendatangkan pertolongan dari Allah, namun
tidak pernah Allah menolong dengan cara menggantikan ujian tersebut kepada diri
orang lain sehingga bukan sang nabi yang menghadapi ujian namun justru orang
lainlah yang mendapatkan ujian tersebut. Pertolongan Allah bekerja dengan cara
yang latief (halus) melalui ujian, kesabaran, dan keteguhan dari sang Nabi dan
para murid (sahabat)nya.
Jika
mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya Rasul-Rasul sebelum kamupun telah
didustakan (pula), padahal mereka membawa bukti-bukti yang nyata, kekuatan
serta kitab yang memberi penjelasan. -Qs. 3 Ali
Imran : 184
Ini semua harus
bisa dilihat sebagai sesuatu yang alamiah dan historis, para utusan Tuhan
tersebut berhasil keluar dari semua permasalahan yang mereka hadapi, sebagaimana
Nabi Ibrahim keluar dari kobaran api dalam keadaan hidup, Nabi Musa melewati
laut merah dan mengalahkan para tukang sihir dalam keadaan hidup, Nabi Muhammad
melewati berbagai peperangan dibaris terdepan dan tetap dalam keadaan hidup
maka Isa al~Masih, juga berhasil lolos dari maut atau kematian dalam hukuman
penyaliban atas dirinya dan tetap hidup terhormat dimata Allah dan para
pengikut beliau bisa dianggap sebagai sebuah penyaliban yang gagal dan
karenanya Isa al~Masih tidak bisa disebut telah disalibkan.
Sebagai
sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu),
dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. -Qs. 33 al-Ahzab : 62
Sebagai akhir
catatan ini, saya ingin mengutip tulisan Paulus yang menyatakan dalam Kitab
Ibrani pasal 5 ayat 7 sekaitan penyaliban Nabi Isa ini:
Dalam hidupnya
sebagai manusia, ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap
tangis dan keluhan kepada-Nya yang sanggup menyelamatkannya dari maut, dan
karena kesalehannya, beliau telah didengarkan.
Juga :
Kepada mereka
Ia menunjukkan dirinya setelah penderitaannya selesai, dan dengan banyak tanda
Ia membuktikan, bahwa Ia hidup. – Kisah Para Rasul pasal 1 ayat 3
[Sumber : Arsip
Armansyah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar