Seringkali, orang kafir mencoba
mengganggu iman kita dengan bertanya, mengapa Qur’an banyak menggunakan kata
KAMI untuk ALLAH? Bukankah kami itu banyak? Itu berarti Qur’an pun mengakui Polyteism
atau pun Trinitas (Bapak, Anak & Roh Kudus)
Bagaimana kita menjawab
pertanyaan semacam ini?
Terkadang kita sering terjebak
dengan pertanyaan semacam ini sebab mereka tau minimnya ilmu yang kita miliki
tentang Bahasa Arab. Ya, mereka sangat terus terang sekali ketika mengatakan
bahwa orang Islam itu “Cuma bisa baca kitabnya, tapi tidak mengerti isinya”. MM
tidak menyangkal tuduhan mereka dan harusnya ini menjadi tugas serta kewajiban ulama kita
membimbing umat sampai pintar, jangan sekali-kali berdakwah cuma untuk Rupiah. Dan ummat juga jangan hanya mau jadi penonton, tapi diusahakan mencari tahu agar tidak jadi sasaran musuh-musuh agama Allah.
A. Konteks Penggunaan Pertama
Yang pertama kali harus diingat
ialah, Bahasa Arab adalah bahasa yang paling sukar didunia. (dan bahasa paling
sukar kedua adalah Bahasa Ibrani). Hal ini disebabkan karena dalam 1 kata,
bahasa arab bisa memiliki banyak makna. kandungan seni serta balaghah dan
fashohahnya. Dan alqur’an menggunakan bahasa Arab, BUKAN bahasa Indonesia. Jadi
kalau ingin mempertanyakan sebuah kata, rujuklah pada bahasa aslinya BUKAN pada
bahasa terjemahannya.
Contoh: Sebuah gender, dalam
suatu daerah bisa bermakna lelaki, tapi dalam daerah lain bisa bermakna
perempuan.
Dalam tata bahasa Arab, ada
kata ganti pertama singular (anâ), dan ada kata ganti pertama plural (nahnu). Sama dengan
tata bahasa lainnya. Akan tetapi, dalam bahasa Arab, kata ganti pertama plural
dapat, dan sering, difungsikan sebagai singular. Dalam gramer Arab (nahwu-sharaf),
hal demikian ini disebut “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i”,
kata ganti pertama yang mengagungkan dirinya sendiri.
(Dhamir ‘NAHNU’ ialah dalam
bentuk jamak yang berarti kita atau kami. Tapi dalam ilmu ‘NAHWU’, maknanya tak
cuma kami, tapi aku, saya dan lainnya).
Permasalahannya terjadi setelah
al-Quran yang berbahasa Arab, dengan kekhasan gramernya, diterjemahkan ke dalam
bahasa lain, termasuk Indonesia, yang tak mengenal “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i”
tersebut. Akan tetapi, setelah mengetahui perbedaan gramer ini, kejanggalan
tersebut, mudah-mudahan segera dapat dimengerti dan dimaklumi.
Bagaimana mungkin aqidah Islam
yang sangat logis dan kuat itu mau ditumbangkan cuma dengan bekal logika bahasa
yang setengah-setengah.
Jika memang “KAMI” dalam Qur’an
diartikan sebagai lebih dari 1, lalu mengapa orang arab yg jauh lagi faham akan
bahasa arab tidak menyembah lebih dari 1 ALLAH?
Dalam ilmu bahasa arab,
penggunaan banyak istilah dan kata itu tidak selalu bermakna zahir dan apa
adanya. Sedangkan Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra
tingkat tinggi.
Selain kata ‘Nahnu”, ada juga
kata ‘antum’ yang sering digunakan untuk menyapa lawan bicara meski hanya satu
orang. Padahal makna `antum` adalah kalian (jamak).
Secara rasa bahasa, bila kita
menyapa lawan bicara kita dengan panggilan ‘antum’, maka ada kesan sopan dan
ramah serta penghormatan ketimbang menggunakan sapaan ‘anta’ (bentuk singular).
Kata ‘Nahnu` tidak selalu
bermakna banyak, tetapi menunjukkan keagungan Allah SWT. Ini dipelajari dalam
ilmu balaghah.
Contoh: Dalam bahasa kita ada
juga penggunaan kata “Kami” tapi bermakna tunggal. Misalnya seorang Kepala
Sekolah dalam pidato sambutan berkata,”Kami selaku kepala sekolah berpesan....”
atau “Kami selaku lurah disini” dan sebagainya.
Padahal Kepala Sekolah hanya
dia sendiri dan tidak banyak, tapi dia bilang “Kami”. Lalu apakah kalimat itu
bermakna bahwa Kepala Sekolah sebenarnya ada banyak, atau hanya satu?
Kata “kami” dalam hal ini
digunakan sebagai sebuah rasa bahasa dengan tujuan nilai kesopanan. Tapi rasa
bahasa ini mungkin tidak bisa diserap oleh orang asing yang tidak mengerti rasa
bahasa. Atau mungkin juga karena di barat tidak lazim digunakan kata-kata
seperti itu.
Kalau umat khristiani tidak
bisa faham rasa bahasa ini, harap maklum saja, karena alkitab bible mereka memang
telah kehilangan rasa bahasa. Bahkan bukan hanya kehilangan rasa bahasa, tapi
juga kehilangan kesucian sebuah kitab suci.
Seperti yg sudah diketahui
banyak orang, alkitab Kristiani merupakan terjemahan dari terjemahan yang telah
diterjemahkan dari terjemahan sebelumnya.
Ada sekian ribu versi bible
yang antara satu dan lainnya bukan saja tidak sama tapi juga bertolak belakang.
Jadi wajar bila alkitab christian mereka itu tidak punya balaghoh, logika, rasa
dan gaya bahasa. Dia adalah tulisan karya manusia yang kering dari nilai
sakral.
Di dalam Al-Quran ada
penggunaan yang kalau kita pahami secara harfiyah akan berbeda dengan
kenyataannya. Misalnya penggunaan kata ‘ummat’. Biasanya kita memahami bahwa
makna ummat adalah kumpulan dari orang-orang. Minimal menunjukkan sesuatu yang
banyak. Namun Al-Quran ketika menyebut Nabi Ibrahim yang saat itu hanya sendiri
saja, tetap disebut dengan ummat.
Sesungguhnya Ibrahim adalah
“UMMATAN” yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif . Dan
sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan. (QS.
An-Nahl : 120)
B. Konteks Penggunaan Kedua.
Kata “Kami” bermakna bahwa
dalam mengerjakan tindakan tersebut, Allah melibatkan unsur-unsur makhluk
(selain diri-Nya sendiri). Dalam kasus nuzulnya al-Qur’an, makhluk-makhluk yang
terlibat dalam pewahyuan dan pelestarian keasliannya adalah sejumlah malaikat,
terutama Jibril, kedua Nabi sendiri, ketiga para pencatat/penulis wahyu,
keempat, para huffadz (penghafal) dll. (Coba perhatikan baik-baik, kebanyakan
ayat-ayat yang bercerita tentang turunnya al-Qur’an [dalam format kalimat
aktif], Allah cenderung menggunakan kata Kami).
Contoh: “Sesungguhnya Kami
telah turunkan al-Zikr [Al-Qur’an] dan Kami Penjaganya (keaslian)”. [Qs.
Al-Hijr : 9].
Contoh lain, coba lihat
ayat-ayat tentang mencari rezki. Dalam ayat-ayat tersebut. Allah sering menggunakan
kata Kami; artinya, rezki harus diusahakan oleh manusia itu sendiri, walaupun
kita juga yakin bahwa rezki sudah ditentukan oleh Allah.
C. Konteks Penggunaan Ketiga.
Ayat yang menggunakan kata Kami
biasanya menceritakan sebuah peristiwa besar yang berada di luar kemampuan
jangkauan nalar manusia, seperti penciptaan Adam, penciptaan bumi, dan langit.
Di sini, selain peristiwa itu sendiri yang nilai besar, Allah sendiri ingin
menokohkan/memberi kesan “Kemahaan-Nya” kepada manusia, agar manusia dapat
menerima/mengimani segala sesuatu yang berada di luar jangkauan nalar/rasio
manusia.
Contoh. “Sesungguhnya KAMI
telah menciptakan kamu (Adam), lalu KAMI bentuk tubuhmu, kemudian KAMI katakan
kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud
kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud” [al-A’raf 7:11]
Jika ada orang kufar berani
mengganggu iman Islam, maka katakanlah yg HAQ itu HAQ & katakana pula yg
BATHIL itu BATHIL. Sampaikanlah dengan hikmah dan cara yg baik.
Dan
janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling
baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka…(Qs. 29 Ankabuut: 46).
Wallahu a’lam bisshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar