Al-Jarh
secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah
atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang (Lisaanul-Arab; kosa
kata “Jaraha”).
– Al-Jarh menurut
istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan
ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur
riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
– At-Tajrih yaitu
memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan
pendla’ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.
– Al-‘Adlu secara
bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari durhaka. Dan seorang yang
‘adil artinya kesaksiannya diterima; dan At-Ta’dil artinya mensucikannya dan
membersihkannya.
– Al-‘Adlu menurut
istilah adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang merusak agamanya dan
perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila
memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits (yaitu : Islam, baligh, berakal, dan
kekuatan hafalan).
– At-Ta’dil yaitu
pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak
ke’adalahannya, dan diterima beritanya.
Dan atas dasar ini,
maka ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat
yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus
perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima
atau menolak riwayat mereka (Ushulul-Hadiits halaman 260; dan Muqaddimah Kitab
Al-Jarh wat-Ta’dil 3/1
Perkembangan
Ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil
Para ulama
menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu
sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil
berikut :
1. Sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang laki-laki :
”(Dan)
itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya”
(HR. Bukhari).
2. Sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang menanyakan
tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah melamarnya :
”Adapun
Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul),
sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta”
(HR. Muslim).
Dua hadits di atas
merupakan dalil Al-Jarh dalam rangkan nasihat dan kemaslahatan. Adapun
At-Ta’dil, salah satunya berdasarkan hadits :
3. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik
hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang
Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu
‘anhu).
Oleh karena itu, para
ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan
untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka
pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran
dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
Al-Jarh dan At-Ta’dil
dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat, tabi’in, dan para
ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang diperingatkan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
”Akan
ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada
kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar
sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka”
(Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari
Yahya bin Sa’id Al-Qaththan dia berkata, ”Aku telah bertanya kepada Sufyan
Ats-Tsaury, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang
yang tidak teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya
tentang dia, mereka berkata,”Kabarkanlah tentang dirinya bahwa haditsnya
tidaklah kuat” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari
Abu Ishaq Al-Fazary dia berkata,”Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah ia
riwayatkan dari orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau tulis darinya apa
yang telah dia riwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah
kamu menulis dari Isma’il bin ‘Iyasy apa yang telah ia riwayatkan dari
orang-orang yang dikenal maupun dari selain mereka”
(Baqiyyah bin Al-Walid banyak melakukan tadlis dari para dlu’afaa).
Diketahuinya
hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan penelitian para ulama’
yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah kemampuan untuk mengenali keadaan
para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak : ”(Bagaimana dengan) hadits-hadits
yang dipalsukan ini?”. Dia berkata,”Para ulama yang berpengalaman yang akan
menghadapinya”.
Maka penyampaian
hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk agama. Oleh
karenannya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan para
perawi dan keadilan mereka, yaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama,
bertaqwa, hafal dan teliti pada hadits, tidak sering lalai dan tidak peragu.
Melalaikan itu semua (Al-Jarh wat-Ta’dil) akan menyebabkan kedustaan kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Dikatakan kepada
Yahya bin Sa’id Al-Qaththan,”Apakah kamu tidak takut terhadap orang-orang yang
kamu tinggalkan haditsnya akan menjadi musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia
berkata,”Mereka menjadi musuh-musuhku lebih baik bagiku daripada Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menjadi musuhku. Beliau akan berkata :
mengapa kamu mengambil hadits atas namaku padahal kamu tahu itu adalah
kedustaan?” (Al-Kifaayah halaman 144).
Perbedaan
Tingkat Para Perawi
Tingkatan perawi itu
berbeda-beda :
Diantara mereka
Ats-Tsabt (yang teguh), Al-Hafidh (yang hafalannya kuat), Al-Wari’ (yang
shalih/hati-hati), Al-Mutqin (yang teliti), An-Naqid (yang kritis terhadap
hadits). Yang mendapatkan predikat demikian ini tidak lagi diperselisihkan, dan
dijadikan pegangan atas Jarh dan Ta’dil-nya, dan pendapatnya tentang para
perawi dapat dijadikan sebagai hujjah.
Di antara mereka ada
yang memiliki sifat Al-‘Adl dalam dirinya, tsabt teguh dalam periwayatannya,
shaduq jujur dan benar dalam penyampaiannya, wara’ dalam agamanya, hafidh dan
mutqin pada haditsnya. Demikian itu adalah perawi yang ‘adil yang bisa
dijadikan hujjah dengan haditsnya, dan dipercaya pribadinya.
Di antara mereka ada
yang shaduq, wara’, shalih dan bertaqwa, dan tsabt; namun terkadang salah
periwayatannya. Para ulama peneliti hadits masih menerimanya dan ia dapat
dijadikan sebagai hujjah dalam haditsnya.
Di antara mereka ada
yang shaduq, wara’, bertaqwa, namun seringkali lali, ragu, salah, dan lupa.
Yang demikian ini boleh ditulis haditsnya bila terkait dengan targhib
(motivasi) dan tarhib (ancaman), kezuhudan, dan adab. Adapun untuk masalah
halal dan haram tidak boleh berhujjah dengan haditsnya.
Adapun orang yang
nampak darinya kebohongan, maka haditsnya ditinggalkan dan riwayatnya dibuang
(Muqaddimah Al-Jarh wat-Ta’dil 1/10).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar