Berpedoman kepada Al-Hadits
untuk diamalkan dan menganjurkan orang lain untuk maksud yang sama, adalah
suatu kewajiban. Agar kewajiban tersebut, dapat dipenuhi dengan saksama dalam
memilih Hadits shahih dan hasan, untuk diamalkan dan meneliti Hadits dla’if
dengan segala ragamnya, untuk ditinggalkan, sudah barang tentu memerlukan suatungetahuan
yang disebut Ilmu Hadits atau yang lebih dikenal dengan nama Mushthalahul Hadits.
Benarkah Hadits Rasulullah itu
ada yang dla’if (lemah), sebagaimana dikemukakan oleh para Muhadditsin,
sehingga tidak dapat digunakan pedoman beramal? Kalau demikian halnya, apakah
kita diperintahkan berpedoman kepada pedoman yang tidak kokoh? Al-Qur’an adalah
Kitabullah yang berisikan perintah-perintah dan larangan-larangan yang ditujukan
kepada hamba-Nya. Ia sebagai petunjuk dan penjelasan. Sedang Hadits Rasulullah saw
adalah sebagai penjelasan Al-Qur’an, Seperti firman Allah Ta’ ala:
“Dan Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu, agar engkau
jelaskan kepada umat manusia, apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan
mudah-mudahan mereka pada memikirkan.” (An-Nahl: 44)
Dengan demikian, pribadi
Rasulullah saw sendiri merupakan sarana (media) yang berfungsi untuk
menjelaskan Al-Qur’an (mubaiyin), baik dengan sabdanya, tindakannya, akhlaqnya,
dan bahkan segala gerak-geriknya, beliau tidak bersabda hanya sekadar dorongan
hawa nafsunya, melainkan sabdanya itu berdasarkan wahyu Allah, sebagaimana
difirmankan Allah dalam An-Najm: 3 dan 4:
“Dan dia bukan berkata atas kemauannya (hawa nafsunya) sendiri,
melainkan apa yang diwahyukan kepadanya sajalah (yang disampaikannya itu).” (An-Najm:
3-4)
Kalau para Muhadditsin
mensinyalir adanya Hadits dla’if, bukanlah kelemahannya itu terletak
semata-mata pada sabda, tindakan dan taqrir Nabi, melainkan terletak pada
segi-Segi yang lain, yaitu adanya kemungkinan Si pewarta (rawi)-nya salah
terima atau salah wedar, bahkan mungkin sekali salah pengakuan yakni ia mengaku
menyaksikan atau mendengar sendiri apa yang diwedarkannya, padahal tidak. Jadi,
adanya kemungkinan karakter pewedar (rawi) kurang bisa dipertanggungjawabkan.
Mengingat fungsinya ilmu Hadits
sangat menentukan terhadap pemakaian nash, sebagal pedoman beramal, sehingga
tak Sedikit para Ulama memberikan tanggapan ketentuan hukum mempelajari Ilmu
Hadits ini.
1. Imam Sufyan Saury berkata
sebagai berikut: “Saya tidak mengenal ilmu yang lebih utama bagi orang yang
berhasrat menundukkan wajahnya di hadapan Allah, selain daripada Ilmu Hadits.
Orang-orang sangat memerlukan ilmu ini. sampai kepada soal-soal kecil
sekalipun, seperti makan dan minum, memerlukan petunjuk dan Al-Hadits.
Mempelajri ilmu Hadits lebih utama daripada menjalankan shalat dan puasa
sunnah, karena mempelajari ilmu ini adalah fardhu kifayah, sedang shalat dan
puasa sunat, adalah sunat.
2. Kata Imam Asy-Syafi’i : “Demi
umurku, soal Ilmu Hadits ini termasuk tiang agama yang paling kokoh dan
keyakinan yang paling teguh. Tidak digemari untuk menyiarkannya, selain oleh
orang-orang yang jujur lagi takwa, dan tidak dibenci untuk menyiarkannya selain
oleh orang-orang munafik, lagi celaka.”
3. Al-Hakim menandaskan : “Andai
kata tidak banyak orang yang menghafal sanad Hadits, niscaya menara Islam roboh
dan niscaya para ahli bid’ah berkiprah membuat hadits maudlu dan memutar balikkan
sanad.”
[Fatur Rachman - Musthalahul Hadits]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar