Jumat, 10 Juli 2015

HUKUM MEMPELAJARI HADITS

Tidak ada komentar:



Berpedoman kepada Al-Hadits untuk diamalkan dan menganjurkan orang lain untuk maksud yang sama, adalah suatu kewajiban. Agar kewajiban tersebut, dapat dipenuhi dengan saksama dalam memilih Hadits shahih dan hasan, untuk diamalkan dan meneliti Hadits dla’if dengan segala ragamnya, untuk ditinggalkan, sudah barang tentu memerlukan suatungetahuan yang disebut Ilmu Hadits atau yang lebih dikenal dengan nama Mushthalahul Hadits.

Benarkah Hadits Rasulullah itu ada yang dla’if (lemah), sebagaimana dikemukakan oleh para Muhadditsin, sehingga tidak dapat digunakan pedoman beramal? Kalau demikian halnya, apakah kita diperintahkan berpedoman kepada pedoman yang tidak kokoh? Al-Qur’an adalah Kitabullah yang berisikan perintah-perintah dan larangan-larangan yang ditujukan kepada hamba-Nya. Ia sebagai petunjuk dan penjelasan. Sedang Hadits Rasulullah saw adalah sebagai penjelasan Al-Qur’an, Seperti firman Allah Ta’ ala: 

“Dan Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu, agar engkau jelaskan kepada umat manusia, apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan mudah-mudahan mereka pada memikirkan.” (An-Nahl: 44) 

Dengan demikian, pribadi Rasulullah saw sendiri merupakan sarana (media) yang berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an (mubaiyin), baik dengan sabdanya, tindakannya, akhlaqnya, dan bahkan segala gerak-geriknya, beliau tidak bersabda hanya sekadar dorongan hawa nafsunya, melainkan sabdanya itu berdasarkan wahyu Allah, sebagaimana difirmankan Allah dalam An-Najm: 3 dan 4: 

“Dan dia bukan berkata atas kemauannya (hawa nafsunya) sendiri, melainkan apa yang diwahyukan kepadanya sajalah (yang disampaikannya itu).” (An-Najm: 3-4) 

Kalau para Muhadditsin mensinyalir adanya Hadits dla’if, bukanlah kelemahannya itu terletak semata-mata pada sabda, tindakan dan taqrir Nabi, melainkan terletak pada segi-Segi yang lain, yaitu adanya kemungkinan Si pewarta (rawi)-nya salah terima atau salah wedar, bahkan mungkin sekali salah pengakuan yakni ia mengaku menyaksikan atau mendengar sendiri apa yang diwedarkannya, padahal tidak. Jadi, adanya kemungkinan karakter pewedar (rawi) kurang bisa dipertanggungjawabkan. 

Mengingat fungsinya ilmu Hadits sangat menentukan terhadap pemakaian nash, sebagal pedoman beramal, sehingga tak Sedikit para Ulama memberikan tanggapan ketentuan hukum mempelajari Ilmu Hadits ini. 

1. Imam Sufyan Saury berkata sebagai berikut: “Saya tidak mengenal ilmu yang lebih utama bagi orang yang berhasrat menundukkan wajahnya di hadapan Allah, selain daripada Ilmu Hadits. Orang-orang sangat memerlukan ilmu ini. sampai kepada soal-soal kecil sekalipun, seperti makan dan minum, memerlukan petunjuk dan Al-Hadits. Mempelajri ilmu Hadits lebih utama daripada menjalankan shalat dan puasa sunnah, karena mempelajari ilmu ini adalah fardhu kifayah, sedang shalat dan puasa sunat, adalah sunat. 

2. Kata Imam Asy-Syafi’i : “Demi umurku, soal Ilmu Hadits ini termasuk tiang agama yang paling kokoh dan keyakinan yang paling teguh. Tidak digemari untuk menyiarkannya, selain oleh orang-orang yang jujur lagi takwa, dan tidak dibenci untuk menyiarkannya selain oleh orang-orang munafik, lagi celaka.” 

3. Al-Hakim menandaskan : “Andai kata tidak banyak orang yang menghafal sanad Hadits, niscaya menara Islam roboh dan niscaya para ahli bid’ah berkiprah membuat hadits maudlu dan memutar balikkan sanad.” 

[Fatur Rachman - Musthalahul Hadits]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top