Minggu, 19 Juli 2015

MEMINTA KEPADA PENGHUNI KUBUR

Tidak ada komentar:



Pada artikel ini akan dituliskan uraian ringkas tentang kelemahan riwayat Maalik Ad-Daar yang dipakai oleh sebagian sahabat muslim untuk melegalkan tindakkan tawassul mereka di kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau orang shaalih. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (12/31) meriwayatkan sebagai berikut :

حدثنا أبومعاوية عن الأعمش عن أبي صالح عن مالك الدار قال : وكان خازن عمر على الطعام قال : أصاب الناس قحط في زمن عمر ، فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله استسق لأمتك فإنهم قد هلكوا ، فأُتي الرجل في المنام فقيل له : ائت عمر فأقرئه السلام ، وأخبره أنكم مسقيون وقل له : عليك الكَيس ! عليك الكَيس ! فأتى عمر فأخبره فبكى عمر ثم قال : يا رب لا آلو إلا ما عجزت عنه .

Telah menceritakan kepada kami : Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Maalik Ad-Daar, dan ia pernah menjabat bendahara gudang makanan Khalifah ‘Umar , ia berkata : “Orang-orang pernah ditimpa kemarau pada masa pemerintahan ‘Umar. Lalu datang seorang laki-laki ke kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan berkata : “Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu, karena mereka telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi dalam tidurnya dan dikatakan kepadanya : “Datanglah ke ‘Umar dan ucapkanlah salam kepadanya. Khabarkanlah kepadanya bahwa kalian adalah orang-orang yang sedang membutuhkan air (hujan)…”.

Riwayat tersebut juga dibawakan oleh Al-Baihaqy dalam Dalaailun-Nubuwwah (7/47) dengan sanad : 

أخبرنا أبو نصر بن قتادة وأبو بكر الفارسي قالا أخبرنا أبو عمرو بن مطر أخبرنا أبو بكر بن علي الذهلي أخبرنا يحيى أخبرنا أبو معاوية عن الأعمش عن أبي صالح عن مالك

“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Nashr bin Qataadah dan Abu Bakr Al-Faarisiy, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Amr bin Mathar : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin ‘Aliy Adz-Dzuhliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahya : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Maalik (Ad-Daar)”.

Juga Al-Khaliliy dalam Al-Irsyaad (1/313-314) dengan sanad :

حدثنا محمد بن الحسن بن الفتح , حدثنا عبد الله بن محمد البغوي , حدثنا أبو خيثمة , حدثنا محمد بن خازم الضرير , حدثنا الأعمش , عن أبي صالح , عن مالك الدار

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Hasan bin Al-Fath : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad Al-Baghawiy : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin KHaazim Adl-Dlariir : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Maalik Ad-Daar”.

Mengenai riwayat di atas, ada yang mengatakan bahwa orang yang mendatangi kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah shahabat Bilal (bukan tukang adzan Rasulullah).

Al-Haafidh berkata dalam Al-Fath (2/496) :

وقد روى سيف في الفتوح أن الذي رأى المنام المذكور هو بلال بن الحارث المزني أحد الصحابة

“Saif telah meriwayatkan dalam kitab Al-Futuuh bahwasannya orang yang bermimpi tersebut adalah Bilaal bin Al-Haarits Al-Muzanniy, salah seorang shahabat” [selesai].

PENDAPAT SAYA

Hadits diatas memang di nilai shahih oleh beberapa ulama, namun terlihat ganjil jika dibandingkan dengan fitrah ajaran Islam, dimana seseorang yang sudah mati tidaklah mungkin ikut campur lagi dengan urusan dunia. Bahkan menurut hadits lain disebutkan, bila mati maka terputuslah seluruh amal anak adam kecuali 3 hal yaitu : Amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan do’a anak shaleh. Dengan kata lain, orang yang sudah meninggal tidak bisa melakukan apa-apalagi untuk menambah amal ibadahnya.

Maka Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar... (Qs. Ar-Rum : 52)


Abu Bakar dan Umar adalah sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah, ketika mereka memimpin dan menemukan permasalahan beliau tidak pernah mendatangi makam nabi untuk meminta solusi. Tetapi mereka memecahkannya dengan ilmu yang telah mereka terima dari Rasulullah sewaktu hidup dahulu. Lalu apakah mereka tidak pernah mendengar ajaran bahwa kematian Rasulullah bukan penghalang untuk tetap minta di do’akan? Atau mereka gengsi meminta kepada seseorang yang sudah meninggal?

Tentu saja yang paling logis untuk menjawab itu adalah sebab mereka tidak pernah diajarkan untuk itu.

Ingat, ketika Umar mendatangi Abu Bakar untuk tujuan pembukuan Al-Qur’an, Abu Bakar sama sekali tidak meminta keputusan dari Nabi sebab beliau tahu bahwa Nabi sudah wafat, begitu juga zaid bin Tsabit, Usman, Ali, dll. Tidak pernah meminta solusi dengan mendatangi kuburan nabi. Apa mereka sudah tidak percaya lagi kepada kenabian Muhammad? Atau mereka melupakan sebagian ajaran Muhammad?

Lagi-lagi jawaban yang paling logis adalah, mereka tidak diajarkan untuk melakukan itu.

Pernah dengar cerita “Umar dan Sungai Nil?”, apa yang membuat Umar mengirim surat kepada sungai Nil ketimbang mendatangi makam nabi untuk meminta solusi terlebih dahulu? Sudah tidak pentingkah sosok Muhammad di hatinya? Atau lupa bahwa sebelum kasus Nil ini ada seorang pemuda datang ke kuburan Nabi untuk meminta hal yang sama? Lalu kenapa Umar tidak melakukannya seperti pemuda itu?
Dari penjelasan panjang ini kita tarik kesimpulan, JIKA Nabi saat ini masih bisa diajak bicara, masih bisa memberi solusi umat, lantas kenapa dahulu waktu pemilihan Khalifah tidak ada seorangpun yang meminta pendapat kepada makam nabi? Kenapa Nabi membiarkan Ali dan Muawiyah berperang sehingga Aisyah pun turun tangan? Apa nabi kesulitan masuk ke dalam alam mimpi sahabat-sahabatnya dan menjelaskan siapa saja yang lebih berhak menjadi khalifah? Atau nabi memang suka melihat (dari alam barzah sana) para sahabatnya berperang?

Kalau benar nabi bisa diajak komunikasi melalui mimpi hingga saat ini, berarti kemungkaran, firqah, dan lain-lain adalah tanggung jawab beliau yang diam saja tidak masuk ke dalam mimpi seorang syaikh untuk meluruskannya.

Sekilas ini seperti logika konyol, tapi silakan dicermati baik-baik. Rasulullah sudah wafat, tanggung jawab beliau terhadap ummat sudah selesai, agama telah disempurnakan sehingga tidak perlu mengaku-ngaku “tadi malam saya mimpi ketemu nabi, dan dia mengajarkan ini dan itu” sebab hanya orang-orang Nasrani yang sering ngaku-ngaku begitu (mimpi ketemu Jesus).

Kenapa untuk hal kemarau saja nabi bisa memberi solusi melalui mimpi seorang yang tidak dikenal (diprediksi sbg Bilal), tapi urusan yang lebih besar dan gawat nabi hanya diam saja? Apa mukjizat bisa menemui sahabatnya dalam mimpi telah hilang?
Disadari atau tidak, prosesi ini (meminta pada peghuni kubur) adalah prosesi orang-orang selain Islam, perbedaannya hanya “mereka membuatkan patung, sedang kita tidak”. Tapi kalau soal meminta dan memohon berkah, kita memiliki kesamaan dengan mereka.

Allahu ‘alam..

Berikut saya nukil penjelasan tentang hadits-hadits diatas dari Blog milik Abul Jauza

Saif ini adalah Ibnu ‘Umar At-Tamiimiy, seorang yang disepakati kelemahannya. Ia seorang yang haditsnya ditinggalkan (matruk),  pendusta lagi dituduh dengan kezindiqan”.

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :

“Tidak ada hujjah padanya, karena pokok persoalannya terletak pada orang yang tidak disebutkan namanya, sehingga ia berstatus majhul juga. Penamaannya dengan Bilaal dalam riwayat Saif tidak berarti sama sekali, karena Saif ini adalah Ibnu ‘Umar At-Tamiimiy – seorang yang telah disepakati kelemahannya oleh para muhadditsiin (ahli hadits). Bahkan Ibnu Hibban berkata tentangnya : ‘Ia meriwayatkan khabar-khabar palsu dari al-atsbaat. Dan mereka berkata : Ia telah memalsukan hadits’. Maka orang yang seperti ini tidak diterima riwayatnya dan tidak ada kemuliaan padanya, khususnya jika terdapat penyelisihan” [selesai].

Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam Tahdziibut-Tahdziib (2/466-467).

Oleh karena itu klaim bahwa orang yang bermimpi tersebut shahabat Bilaal tidak bisa diterima.

Sebagian orang menyangka bahwa riwayat di atas adalah shahih berdasarkan perkataan Al-Haafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (2/495) :

“Dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih dari riwayat Abu Shaalih As-Sammaan, dari Maalik Ad-Daar - seorang yang pernah menjadi bendahara ‘Umar - ia berkata :…”.

Perkataan Al-Haafidh ini perlu ditinjau kembali, sebab riwayat itu mempunyai beberapa kelemahan/cacat, di antaranya :

1. ‘An’anah Al-A’masy dari Abu Shaalih As-Sammaan, dan ia (Al-A’masy) seorang mudallis.

2. Abu Shaalih Dzakwaan bin As-Sammaan tidak diketahui penyimakan haditsnya dari Maalik bin Ad-Daar dikarenakan tidak diketahuinya tahun wafatnya Maalik bin Ad-Daar (lihat biografi Malik Ad-Daar dalam Ath-Thabaqaat oleh Ibnu Sa’d 5/6 dan Al-Ishaabah oleh Ibnu Hajar 3/461).

Jika ada yang mengatakan bahwa Abu Shaalih lahir pada masa kekhilafahan ‘Umar bin Al-Khaththab – sebagaimana dijelaskan oleh Adz-Dzahabi dalam As-Siyar (3/65) – sehingga kemungkinan besar Maalik Ad-Daar ini wafat pada waktu ia masih kecil (sehingga memungkinkan adanya pertemuan dan penyimakan hadits); maka ini pun juga tidak bisa diterima dalam pernyataan keshahihan riwayat. Karena Adz-Dzahabi sendiri tidak menukil tahun kematian Maalik Ad-Daar dari para ulama terdahulu sehingga tidak bisa dipastikan penyimakan hadits Abu Shaalih dari Maalik Ad-Daar – atau bahkan tidak bisa ditentukan apakah Abu Shaalih ini bertemu dengan Maalik ad-Daar. Apalagi Abu Shaalih membawakannya dengan ‘an’anah, sehingga ada kemungkinan bahwa riwayat tersebut terputus (munqathi’). Ini adalah ‘illat yang menjatuhkan. 

Al-Khaliiliy (1/313) telah mengisyaratkan ‘illat ini sebagaimana perkataannya : “Dikatakan bahwasannya Abu Shaalih bin As-Sammaan telah mendengar hadits ini dari Maalik Ad-Daar, dan yang lain mengatakan bahwa ia telah meng-irsal-kannya” [selesai].

Perkataan Al-Khaliiliy “dan yang lain mengatakan bahwa ia telah meng-irsal-kannya” mengandung satu faedah bahwa penyimakan Abu Shaalih bin As-Sammaan tidaklah ma’ruf di kalangan muhadditsiin.

Dalil yang mengandung kemungkinan yang masing-masing tidak dapat diambil mana yang rajih (kuat) menyebabkan dalil tersebut tidak bisa dipakai untuk berdalil.

3. Orang yang mendatangi kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu tidak diketahui identitasnya (mubham).

Sisi kecacatan (wajhul-i’laal)-nya adalah bahwasannya kita tidak bisa mengetahui apakah Malik Ad-Daar melihat peristiwa tersebut atau ia hanya mengambilnya dari orang yang tidak diketahui identitasnya itu. Selain itu, sangat naïf lagi sembrono jika ada orang yang mengklaim bahwa orang yang mubham itu termasuk shahabat. Oleh karena itu, ini termasuk ‘illat yang menjatuhkan kedudukan riwayat.

Catatan : 

Sebagian orang menyangka bahwa Maalik Ad-Daar ini merupakan salah seorang shighaarush-shahaabah karena Al-Haafidh memasukkannya dalam kitabnya Al-Ishaabah (6/164). Ini satu kekeliruan!! 

Ibnu Hajar telah memasukkan Maalik Ad-Daar dalam thabaqah (tingkatan) yang ketiga, dimana beliau menjelaskan dalam muqaddimah-nya bahwa dalam thabaqah ini merupakan orang-orang yang mendapati masa Jahiliyyah dan masa Islam, namun tidak didapati satu pun khabar bahwa mereka pernah berkumpul bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ataupun sekedar melihatnya, sama saja apakah mereka memeluk Islam ketika beliau masih hidup atau setelah wafatnya – sehingga mereka ini bukanlah termasuk jajaran shahabat dengan kesepakatan para ulama” [lihat 1/4]. 

Oleh karena itu Asy-Syaikh Al-Albani menganggap Maalik Ad-Daar ini majhul serta tidak dikenal kejujuran dan kekuatan hapalannya. Al-Haafidh Al-Mundziriy ketika menyebutkan kisah lain dalam At-Targhiib (2/41-42) dari riwayat Maalik Ad-Daar dari ‘Umar berkata : “Ath-Thabaraniy meriwayatkannya dalam Al-Kabiir. Para perawinya sampai Maalik Ad-Daar adalah terpercaya (tsiqaat). Namun Maalik Ad-Daar, aku tidak mengetahuinya” [lihat At-Tawassul Ahkaamuhu wa Anwaa’uhu, hal. 119].

4. Bertentangan dengan syari’at Islam yang ma’ruf yang menganjurkan shalat istisqaa’ untuk meminta turunnya hujan. Bukan dengan mendatangi kuburan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau selainnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top