Selasa, 07 Juli 2015

TENTANG BID'AH

Tidak ada komentar:

Kaum muslimin memiliki sikap yang berbeda-beda dalam memandang perkara bid'ah, ada yang meletakan bidah pada posisi yang sangat keras sehingga hampir segala sesuatu yang baru (dalam hal ibadah) dianggap bid'ah, ada juga yang terlalu longgar terhadap perkara-perkar baru sehingga tanpa disadari terjatuh pada bid'ah yang sesungguhnya. Sikap yang seharusnya kita ambil dalam menyikapi bid'ah adalah sikap sewajarnya sebagaimana mestinya bid'ah pada posisinya, oleh karena itu adalah wajib bagi kita untuk mengetahui terlebih dahulu pada wilayah mana sesuatu yang baru itu diakatakan bid'ah dan pada wilayah mana dikatakan bukan bid'ah, karena tidak semua yang tidak dilakukan Rasulullah jika kita lakukan saat ini otomatis jatuh pada bid'ah.

MM yakin, semua pembaca sudah tau makna dari bid’ah. Baik secara etimologi maupun secara terminologi. Namun singkatnya, Bid’ah adalah “menciptakan atau membuat sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya”.

Sebab Rasulullah mengemban Risalah Islam, maka maksud disini adalah yang berhubungan dengan “Hal yang diada-ada dalam Risalah Islam (urusan Rasul)”, sementara masalah urusan dunia seperti mobil, handphone, laptop.. itu bukan urusan Rasul, dan manusia lebih mengetahui tentang itu ketimabang Rasul. Tapi urusan Aqidah, urusan Tauhid, Ibadah dan seluk beluk agama.. Itu urusan Rasul. Allahu ‘alam..

Berikut pandangan bid’ah menurut MM pribadi...

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Ibnu As Sabbaq bahwa Zaid bin Tsabit Al Anshari radliallahu 'anhu -salah seorang penulis wahyu- dia berkata; Abu Bakar As shiddiq datang kepadaku pada waktu perang Yamamah, ketika itu Umar disampingnya. 

Abu Bakr berkata bahwasanya Umar mendatangiku dan mengatakan; "Sesungguhnya perang Yamamah telah berkecamuk (menimpa) para sahabat, dan aku khawatir akan menimpa para penghafal Qur'an di negeri-negeri lainnya sehingga banyak yang gugur dari mereka kecuali engkau memerintahkan pengumpulan (pendokumentasian) al Qur`an."
 
Abu Bakar berkata kepada Umar; "Bagaimana aku mengerjakan suatu proyek yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?"
 
Umar menjawab; "Demi Allah hal itu adalah sesuatu yang baik."
 
Ia terus mengulangi hal itu sampai Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada Umar dan aku sependapat dengannya. 

Abu Bakar berkata; -pada waktu itu disampingnya ada Umar sedang duduk, dan dia tidak berkata apa-apa.- "Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang cerdas, kami tidak meragukanmu, dan kamu juga menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, karena itu kumpulkanlah al Qur'an (dengan seksama)."
 
Zaid berkata; "Demi Allah, seandainya mereka menyuruhku untuk memindahkan gunung dari gunung-gunung yang ada, maka hal itu tidak lebih berat bagiku dari pada (pengumpulan atau pendokumentasian al Qur'an). kenapa kalian mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?"
 
Abu Bakar menjawab; "Demi Allah hal itu adalah baik." 

Aku (Zaid) pun terus mengulanginya, sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada keduanya (Abu Bakar dan Umar). Lalu aku kumpulkan al Qur'an (yang ditulis) pada kulit, pelepah kurma, dan batu putih lunak, juga dada (hafalan) para sahabat. Hingga aku mendapatkan dua ayat dari surat Taubah berada pada Khuzaimah yang tidak aku temukan pada sahabat mana pun. 

Yaitu ayat: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung." (9: 128-129). 

Dan mushaf yang telah aku kumpulkan itu berada pada Abu Bakr hingga dia wafat, kemudian berada pada Umar hingga dia wafat, setelah itu berada pada Hafshah putri Umar. [HR. Bukhari, No. 4311]

Perhatikanlah ucapan-ucapan para sahabat dalam hadits tersebut, mereka sangat berat melakukan hal yang tidak di lakukan oleh nabi MESKI bisa saja mereka melakukan ijma Qiyas dengan di tulisnya Alqur’an ketika nabi masih hidup. Bahkan Zaid mengatakan bahwa ia lebih suka memindahkan gunung daripada harus melakukan hal yang tidak pernah dilakukan oleh nabi.

Lalu bagaimana dengan ustadz-ustadz sekarang?

Seolah tidak memiliki beban dan takut dengan ancaman neraka, masing-masing berlomba membuat hal-hal yang tidak pernah dilakukan atau diajarkan oleh nabi dengan alasan “Ini Baik” atau “Ini tidak ada salahnya”. Dan jika ditanya, “mana dalilnya?”, maka tidak sungkan-sungkan berdalil dengan Ijma Qiyas. Kalau ada yang menolak hujjah mereka, maka disebutlah dia anti ijtihad, wahabi, dll....

Coba perhatikan lagi hadits diatas, kesempatan Zaid dan Abu Bakar melakukan Ijma Qiyas justru lebih lapang, tapi  beliau tidak serta melakukan itu diakibatkan rasa ketakutan yang luar biasa akan “mengada-adakan sesuat yang baru” hingga mereka butuh waktu lama untuk menyetujui usul Umar ini.

Kemudian perhatikan lagi hadits yang menjamin kelurusan aqidah sahabat Rasulullah, tidak serta membuat mereka berani melakukan hal yang diluar ajaran nabi. Padahal bisa saja mereka menggunakan kekuasaan itu untuk membuat ide-ide ritual baru, toh hasil de-nyya tidak akan di anggap sesat sebabudah ada jaminan dari Rasul bahwa yang mengikuti shabat tidak akan sesat.

Keburu-buruan para Ustadz membuat hal yang baru lantas melabelinya dengan kata “INI BAIK” merupakan langkah yang gegabah, langkah yang tidak pernah di tempuh oleh para sahabat. Dan sepatutnya kita mencontoh langkah para sahabat dalam hal berhati-hati sebab jika serampangan maka akan timbulnya orang-orang yang membuat hal-hal baru di luar kendali sehingga menjadi samar mana yang haq dan yang batil.

Dalam sebuah kesempatan, saya pernah bertanya : “Jika maulid adalah bid’ah hasanah, Tahlilan hasanah, Haul adalah hasanah. Maka contoh bid’ah dolalah apa?”

Yang ditanya terkesan berpikir beberapa saat lalu menjawab : “Shalat sambil mabuk”.

Masya Allah, sampai mereka tidak bisa membedakan Bid’ah dan kemungkaran. Mabuk itu kemungkaran, hukumnya Haram.

Kemudian ada yang menjawab : Meminta uang kepada para pedagang di pasar” (mengutip ucapan KH. Hasyim Asyari –katanya)

Kalau meminta uang untuk kemaslahatan seperti pembangunan jalan, kebersihan pasar.. masa iya dikatakan Bid’ah.

Maksudnya meminta dengan paksa... Ini mah bukan Bid’ah, tapi perampokan dan itu hukumnya HARAM.

Begitulah, jadi timbul bias dalam agama sebab munculnya hukum yang baru dan menggantikan hukum yang lama.

Apa anda merasa lebih pintar dari ulama yang membagi Bid’ah menjadi 5 bagian?

Demi Allah, saya tidak pernah berpikir sampai situ. Yang saya takutkan hanya satu... “Saya akan di usir dari Telaga Kautsar oleh Nabi kelak di akhirat” sebagaimana sabda-nya.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Beberapa orang sahabatku mendatangi telaga, lalu mereka dijauhkan dari telaga, maka aku berkata; '(mereka) para sahabatku' Allah menjawab: 'Sungguh engkau tidak mempunyai pengetahuan tentang apa yang mereka kerjakan sepeninggalmu, mereka berbalik ke belakang dengan melakukan murtad, bid'ah dan dosa besar." [HR. Bukhari, No. 6098]

Aku berkata; “mereka adalah golonganku!' tetapi di jawab; 'Sungguh engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu! ' Maka aku berkata; 'menjauh, menjauh, bagi orang yang mengubah (agama) sepeninggalku." [HR. Bukhari, No. 6097]

Lebih dari itu, Ulama terdahulu pun berkata : “Apabila fatwaku bertentangan dengan hadits Shahih, maka ikutilah hadits Shahih itu” atau “Jika kelak pendapatku diketahui bertentangan dengan Alqur’an dan Hadits, maka tinggalkanlah”... atau “Hadits shahih, itulah madzhabku”

Bukankah itu berarti bahwa mereka (ulama mufti) tidak sedang mengklaim bahwa pendapatnya lebih benar? Bukankah it berarti kita harus menggali lagi pendapat-pendapat mereka (jangan menelan mentah-mentah)?

Namun umat sekarang terlalu berlebihan dalam menyikapi para ulama, menurut mereka ulama adalah makhluk yang maksum (bebas dari kesalahan), padahal ulama sendiripun tidak mengatakan itu selain “ikuti pendapat yang selaras dengan Alqur’an dan hadits shahih”

Oh, kalau begitu apakah mereka tidak mengerti ilmu hadits sehingga pendapatnya ada yang menyalahi hadits shahih?

Demi Allah, saya pun tidak berpendapat seperti itu. Sejarah sudah membuktikan bahwa keilmuan mereka diakui oleh ulama-ulama penerusnya. Namun sudah menjadi sunatullah bahwa tidak ada manusia yang memiliki kesempurnaan ilmu, jangankan zaman sekarang... zaman dahulupun ada ulama yg nota bene muridnya, mengingkari pendapat gurunya dan membuat pendapat yang lain.

Kita ambil sebuah contoh : Imam syafi’i adalah guru dari Imam Hambali. Ketika Imam syafi’i membuat fatwa bahwa keluar sperma tidak membatalkan wudhu. Di belakang hari, Imam Hambali membuat pendapat yang menyalahi gurunya (Imam Syafi’i) yaitu berpendapat bahwa kelar sperma dapat membatalkan wudhu. Apa ini artinya Imam Hambali telah mementahkan ilmu Imam Syafi’i? Apa ini artinya, Imam Hambali merasa ilmunya lebih tinggi dibanding ilmu Imam syafi’i?

Sebab sudah terdoktrinnya umat oleh yang namanya “MADZHAB” kadang-kadang kita tidak bisa memaklumi perbedaan seperti contoh diatas, dan cenderung jika ada orang berpendapat menyalahi madzhab yang dianutnya maka cap : Sesat, wahabi, bukan ahlusunnah, dll muncul.....

Apa yang membuat guru dan murid yang sama-sama pemuka 2 madzhab itu berbeda pendapat?

Jawabnya adalah “Keilmuan dan pemahaman akan kasus yang sedang dihadapinya”, oleh sebab itu dalam kitab mereka, ketika sedang berfatwa selalu menggunakan kata : “Saya menyukai, saya lebih menyukai”... penggunaan kata “SAYA” disitu jelas beliau ingin memberi tahu pada pembacanya bahwa seluruh pendapat yang dibuatnya adalah hasil buah pemikirannya pribadi. Dan orang yang saleh pasti menyadari bahwa sebagai manusia telah ditakdirkan untuk berbuat salah dan lupa.

Pernah saya bertanya kepada seorang pelajar pondok yang berhaluan Syafi’iyah, “Apa hukum memakan daging srigala?”

Tanpa pikir panjang, dia menjawab, “Haram”

Saya tanya lagi, “Alasannya?”

Dia menjawab : “Sebab Rasul melarang memakan hewan buas yang bertaring, dan berkuku tajam”

Saya katakan : “Dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi’i menghalalkannya. Bagaimana menurut anda?

Saya lihat dia menjadi gusar dan mengatakan saya sok tahu. Lalu saya katakan bahwa saya mendapatkan fatwa itu ketika membaca kitab Al-Umm. Kemudian saya tanya, apa anda pernah membaca kitab Al-Umm? Dia menggeleng. Lalu saya katakan, bagaimana anda bisa mengaku umat Islam jika tidak pernah membaca Al-Qur’an? Bagaimana anda mengaku bermadzhab Syafi’i tapi belum pernah membaca karya-karya beliau.

Ya, itulah yang terjadi pada saat ini. Banyak orang baru hanya sekedar mengaku-ngaku bermadzhab, lantas menyalah-nyalahkan prilaku orang yang tidak satu faham dengannya dengan mengatas namakan madzhab. 

Kesimpulannya : Banyak orang membenarkan “ide-ide barunya” dengan mengatas namakan Madzhab tertentu namun sangat sedikit sekali yang mencari tahu dengan cara membuka kitab karya orang yang di madzhabi-nya. Sehingga berdalil Alqur’an hadits dianggap sebuah penyelewengan sebab tidak melalui fatwa madzhab dulu, sebab mereka lah yang lebih mengerti.

Biasanya kebanyakan orang lebih suka merujuk pada ulama-ulama dibawah sang pemimpin madzhab, sementara kitab karya pendiri madzhabnya dibiarkan berdebu. Entah apa alasannya.

Buat saya pribadi : Maulid, Yasinan, Tahlilan, dll mengandung kebaikan. Hanya saja tidak bisa menolak pendapat saya bahwa itu hal baru yang tidak pernah di lakukan oleh Nabi dan Rasulnya.

Lalu kalau baik, kenapa dipermasalahkan?

Saya tidak mempermasalahkannya, namun alangkah baiknya berhati-hati. Apalagi madzhab 4 terkenal dengan “ikhtiyat-nya” (sikap berhati-hati pada perkara apapun), lebih baik tidak mengerjakan untuk berhati-hati daripada diusir oleh Rasulullah dari telaga-nya seperti hadits diatas. Toh meninggalkannya tidak berdosa daripada mengerjakan diantara 2 pilihan antara boleh dan Bid’ah. 

Sebagai penutup, silakan lihat hadits di awal. Bagaimana Abu Bakar dan Zaid sangat ketakutan dengan ide baru, padahal status mereka sahabat yang di jamin masuk syurga. Lantas kenapa kita mengentengkan, sementara tak seorangpun telah menjamin kita ke syurga. Toh hal yang jelas-jelas kesunahannya masih banyak, dan belum kita lakukan. Kenapa tidak melakukan yang jelas saja?

Allahu ‘alam....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top