Kaum
muslimin memiliki sikap yang berbeda-beda dalam memandang perkara bid'ah, ada
yang meletakan bidah pada posisi yang sangat keras sehingga hampir segala
sesuatu yang baru (dalam hal ibadah) dianggap bid'ah, ada juga yang terlalu
longgar terhadap perkara-perkar baru sehingga tanpa disadari terjatuh pada
bid'ah yang sesungguhnya. Sikap yang seharusnya kita ambil dalam menyikapi
bid'ah adalah sikap sewajarnya sebagaimana mestinya bid'ah pada posisinya, oleh
karena itu adalah wajib bagi kita untuk mengetahui terlebih dahulu pada wilayah
mana sesuatu yang baru itu diakatakan bid'ah dan pada wilayah mana dikatakan
bukan bid'ah, karena tidak semua yang tidak dilakukan Rasulullah jika kita
lakukan saat ini otomatis jatuh pada bid'ah.
MM
yakin, semua pembaca sudah tau makna dari bid’ah. Baik secara etimologi maupun
secara terminologi. Namun singkatnya, Bid’ah adalah “menciptakan atau membuat
sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya”.
Sebab
Rasulullah mengemban Risalah Islam, maka maksud disini adalah yang berhubungan
dengan “Hal yang diada-ada dalam Risalah Islam (urusan Rasul)”, sementara masalah
urusan dunia seperti mobil, handphone, laptop.. itu bukan urusan Rasul, dan
manusia lebih mengetahui tentang itu ketimabang Rasul. Tapi urusan Aqidah,
urusan Tauhid, Ibadah dan seluk beluk agama.. Itu urusan Rasul. Allahu ‘alam..
Berikut
pandangan bid’ah menurut MM pribadi...
Telah
menceritakan kepada kami Abu Al Yaman Telah
mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Ibnu As Sabbaq bahwa
Zaid bin Tsabit Al Anshari radliallahu 'anhu -salah seorang penulis
wahyu- dia berkata; Abu Bakar As shiddiq datang kepadaku pada waktu perang
Yamamah, ketika itu Umar disampingnya.
Abu
Bakr berkata bahwasanya Umar mendatangiku dan mengatakan; "Sesungguhnya perang Yamamah telah berkecamuk
(menimpa) para sahabat, dan aku khawatir akan menimpa para penghafal Qur'an di
negeri-negeri lainnya sehingga banyak yang gugur dari mereka kecuali engkau memerintahkan
pengumpulan (pendokumentasian) al Qur`an."
Abu
Bakar berkata kepada Umar; "Bagaimana aku mengerjakan suatu proyek yang tidak
pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?"
Umar
menjawab; "Demi Allah hal itu adalah sesuatu yang baik."
Ia
terus mengulangi hal itu sampai Allah melapangkan dadaku sebagaimana
melapangkan dada Umar dan aku sependapat dengannya.
Abu
Bakar berkata; -pada waktu itu disampingnya ada Umar sedang duduk, dan dia
tidak berkata apa-apa.- "Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang cerdas, kami
tidak meragukanmu, dan kamu juga menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam, karena itu kumpulkanlah al Qur'an (dengan seksama)."
Zaid
berkata; "Demi Allah, seandainya mereka menyuruhku untuk
memindahkan gunung dari gunung-gunung yang ada, maka hal itu tidak lebih berat
bagiku dari pada (pengumpulan atau pendokumentasian al Qur'an). kenapa kalian
mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam?"
Abu
Bakar menjawab; "Demi Allah hal itu adalah baik."
Aku
(Zaid) pun terus mengulanginya, sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana
melapangkan dada keduanya (Abu Bakar dan Umar). Lalu aku kumpulkan al Qur'an
(yang ditulis) pada kulit, pelepah kurma, dan batu putih lunak, juga dada
(hafalan) para sahabat. Hingga aku mendapatkan dua ayat dari surat Taubah
berada pada Khuzaimah yang tidak aku temukan pada sahabat mana pun.
Yaitu
ayat: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika
mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku;
tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah
Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung." (9: 128-129).
Dan
mushaf yang telah aku kumpulkan itu berada pada Abu Bakr hingga dia wafat,
kemudian berada pada Umar hingga dia wafat, setelah itu berada pada Hafshah
putri Umar. [HR.
Bukhari, No. 4311]
Perhatikanlah
ucapan-ucapan para sahabat dalam hadits tersebut, mereka sangat berat melakukan
hal yang tidak di lakukan oleh nabi MESKI bisa saja mereka melakukan ijma Qiyas
dengan di tulisnya Alqur’an ketika nabi masih hidup. Bahkan Zaid mengatakan
bahwa ia lebih suka memindahkan gunung daripada harus melakukan hal yang tidak
pernah dilakukan oleh nabi.
Lalu
bagaimana dengan ustadz-ustadz sekarang?
Seolah
tidak memiliki beban dan takut dengan ancaman neraka, masing-masing berlomba
membuat hal-hal yang tidak pernah dilakukan atau diajarkan oleh nabi dengan
alasan “Ini Baik” atau “Ini tidak ada salahnya”. Dan jika ditanya, “mana
dalilnya?”, maka tidak sungkan-sungkan berdalil dengan Ijma Qiyas. Kalau ada
yang menolak hujjah mereka, maka disebutlah dia anti ijtihad, wahabi, dll....
Coba
perhatikan lagi hadits diatas, kesempatan Zaid dan Abu Bakar melakukan Ijma
Qiyas justru lebih lapang, tapi beliau tidak serta melakukan itu
diakibatkan rasa ketakutan yang luar biasa akan “mengada-adakan sesuat yang
baru” hingga mereka butuh waktu lama untuk menyetujui usul Umar ini.
Kemudian
perhatikan lagi hadits yang menjamin kelurusan aqidah sahabat Rasulullah, tidak
serta membuat mereka berani melakukan hal yang diluar ajaran nabi. Padahal bisa
saja mereka menggunakan kekuasaan itu untuk membuat ide-ide ritual baru, toh
hasil de-nyya tidak akan di anggap sesat sebabudah ada jaminan dari Rasul bahwa
yang mengikuti shabat tidak akan sesat.
Keburu-buruan
para Ustadz membuat hal yang baru lantas melabelinya dengan kata “INI BAIK”
merupakan langkah yang gegabah, langkah yang tidak pernah di tempuh oleh para
sahabat. Dan sepatutnya kita mencontoh langkah para sahabat dalam hal berhati-hati
sebab jika serampangan maka akan timbulnya orang-orang yang membuat hal-hal
baru di luar kendali sehingga menjadi samar mana yang haq dan yang batil.
Dalam
sebuah kesempatan, saya pernah bertanya : “Jika maulid adalah bid’ah hasanah,
Tahlilan hasanah, Haul adalah hasanah. Maka contoh bid’ah dolalah apa?”
Yang
ditanya terkesan berpikir beberapa saat lalu menjawab : “Shalat sambil mabuk”.
Masya
Allah, sampai mereka tidak bisa membedakan Bid’ah dan kemungkaran. Mabuk itu
kemungkaran, hukumnya Haram.
Kemudian
ada yang menjawab : Meminta uang kepada para pedagang di pasar” (mengutip
ucapan KH. Hasyim Asyari –katanya)
Kalau
meminta uang untuk kemaslahatan seperti pembangunan jalan, kebersihan pasar..
masa iya dikatakan Bid’ah.
Maksudnya
meminta dengan paksa... Ini mah bukan Bid’ah, tapi perampokan dan itu hukumnya
HARAM.
Begitulah,
jadi timbul bias dalam agama sebab munculnya hukum yang baru dan menggantikan
hukum yang lama.
Apa anda merasa lebih pintar dari ulama
yang membagi Bid’ah menjadi 5 bagian?
Demi
Allah, saya tidak pernah berpikir sampai situ. Yang saya takutkan hanya satu...
“Saya akan di usir dari Telaga Kautsar oleh Nabi kelak di akhirat” sebagaimana
sabda-nya.
Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Beberapa orang sahabatku mendatangi telaga, lalu
mereka dijauhkan dari telaga, maka aku berkata; '(mereka) para sahabatku'
Allah menjawab: 'Sungguh engkau tidak mempunyai
pengetahuan tentang apa yang mereka kerjakan sepeninggalmu, mereka berbalik ke
belakang dengan melakukan murtad, bid'ah dan dosa besar." [HR.
Bukhari, No. 6098]
Aku
berkata; “mereka adalah golonganku!' tetapi di jawab; 'Sungguh engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan
sepeninggalmu! ' Maka aku berkata; 'menjauh, menjauh, bagi orang yang mengubah (agama)
sepeninggalku." [HR. Bukhari, No. 6097]
Lebih
dari itu, Ulama terdahulu pun berkata : “Apabila fatwaku bertentangan dengan
hadits Shahih, maka ikutilah hadits Shahih itu” atau “Jika kelak pendapatku
diketahui bertentangan dengan Alqur’an dan Hadits, maka tinggalkanlah”... atau
“Hadits shahih, itulah madzhabku”
Bukankah
itu berarti bahwa mereka (ulama mufti) tidak sedang mengklaim bahwa pendapatnya
lebih benar? Bukankah it berarti kita harus menggali lagi pendapat-pendapat
mereka (jangan menelan mentah-mentah)?
Namun
umat sekarang terlalu berlebihan dalam menyikapi para ulama, menurut mereka
ulama adalah makhluk yang maksum (bebas dari kesalahan), padahal ulama
sendiripun tidak mengatakan itu selain “ikuti pendapat yang selaras dengan
Alqur’an dan hadits shahih”
Oh, kalau begitu apakah mereka tidak
mengerti ilmu hadits sehingga pendapatnya ada yang menyalahi hadits shahih?
Demi
Allah, saya pun tidak berpendapat seperti itu. Sejarah sudah membuktikan bahwa
keilmuan mereka diakui oleh ulama-ulama penerusnya. Namun sudah menjadi
sunatullah bahwa tidak ada manusia yang memiliki kesempurnaan ilmu, jangankan
zaman sekarang... zaman dahulupun ada ulama yg nota bene muridnya, mengingkari
pendapat gurunya dan membuat pendapat yang lain.
Kita
ambil sebuah contoh : Imam syafi’i adalah guru dari Imam Hambali. Ketika Imam
syafi’i membuat fatwa bahwa keluar sperma tidak membatalkan wudhu. Di belakang
hari, Imam Hambali membuat pendapat yang menyalahi gurunya (Imam Syafi’i) yaitu
berpendapat bahwa kelar sperma dapat membatalkan wudhu. Apa ini artinya Imam
Hambali telah mementahkan ilmu Imam Syafi’i? Apa ini artinya, Imam Hambali
merasa ilmunya lebih tinggi dibanding ilmu Imam syafi’i?
Sebab
sudah terdoktrinnya umat oleh yang namanya “MADZHAB” kadang-kadang kita tidak
bisa memaklumi perbedaan seperti contoh diatas, dan cenderung jika ada orang
berpendapat menyalahi madzhab yang dianutnya maka cap : Sesat, wahabi, bukan
ahlusunnah, dll muncul.....
Apa
yang membuat guru dan murid yang sama-sama pemuka 2 madzhab itu berbeda
pendapat?
Jawabnya
adalah “Keilmuan dan pemahaman akan kasus yang sedang dihadapinya”, oleh sebab
itu dalam kitab mereka, ketika sedang berfatwa selalu menggunakan kata : “Saya
menyukai, saya lebih menyukai”... penggunaan kata “SAYA” disitu jelas beliau
ingin memberi tahu pada pembacanya bahwa seluruh pendapat yang dibuatnya adalah
hasil buah pemikirannya pribadi. Dan orang yang saleh pasti menyadari bahwa
sebagai manusia telah ditakdirkan untuk berbuat salah dan lupa.
Pernah
saya bertanya kepada seorang pelajar pondok yang berhaluan Syafi’iyah, “Apa
hukum memakan daging srigala?”
Tanpa
pikir panjang, dia menjawab, “Haram”
Saya
tanya lagi, “Alasannya?”
Dia
menjawab : “Sebab Rasul melarang memakan hewan buas yang bertaring, dan berkuku
tajam”
Saya
katakan : “Dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi’i menghalalkannya. Bagaimana menurut
anda?
Saya
lihat dia menjadi gusar dan mengatakan saya sok tahu. Lalu saya katakan bahwa
saya mendapatkan fatwa itu ketika membaca kitab Al-Umm. Kemudian saya tanya,
apa anda pernah membaca kitab Al-Umm? Dia menggeleng. Lalu saya katakan,
bagaimana anda bisa mengaku umat Islam jika tidak pernah membaca Al-Qur’an?
Bagaimana anda mengaku bermadzhab Syafi’i tapi belum pernah membaca karya-karya
beliau.
Ya,
itulah yang terjadi pada saat ini. Banyak orang baru hanya sekedar
mengaku-ngaku bermadzhab, lantas menyalah-nyalahkan prilaku orang yang tidak
satu faham dengannya dengan mengatas namakan madzhab.
Kesimpulannya
: Banyak orang membenarkan “ide-ide barunya” dengan mengatas namakan Madzhab
tertentu namun sangat sedikit sekali yang mencari tahu dengan cara membuka
kitab karya orang yang di madzhabi-nya. Sehingga berdalil Alqur’an hadits
dianggap sebuah penyelewengan sebab tidak melalui fatwa madzhab dulu, sebab
mereka lah yang lebih mengerti.
Biasanya
kebanyakan orang lebih suka merujuk pada ulama-ulama dibawah sang pemimpin
madzhab, sementara kitab karya pendiri madzhabnya dibiarkan berdebu. Entah apa
alasannya.
Buat
saya pribadi : Maulid, Yasinan, Tahlilan, dll mengandung kebaikan. Hanya saja
tidak bisa menolak pendapat saya bahwa itu hal baru yang tidak pernah di
lakukan oleh Nabi dan Rasulnya.
Lalu
kalau baik, kenapa dipermasalahkan?
Saya
tidak mempermasalahkannya, namun alangkah baiknya berhati-hati. Apalagi madzhab
4 terkenal dengan “ikhtiyat-nya” (sikap berhati-hati pada perkara apapun),
lebih baik tidak mengerjakan untuk berhati-hati daripada diusir oleh Rasulullah
dari telaga-nya seperti hadits diatas. Toh meninggalkannya tidak berdosa
daripada mengerjakan diantara 2 pilihan antara boleh dan Bid’ah.
Sebagai
penutup, silakan lihat hadits di awal. Bagaimana Abu Bakar dan Zaid sangat
ketakutan dengan ide baru, padahal status mereka sahabat yang di jamin masuk
syurga. Lantas kenapa kita mengentengkan, sementara tak seorangpun telah
menjamin kita ke syurga. Toh hal yang jelas-jelas kesunahannya masih banyak,
dan belum kita lakukan. Kenapa tidak melakukan yang jelas saja?
Allahu
‘alam....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar