Definisi
Hadist Dhaif
Pengertian
hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah. Para ulama
memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan
kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para
ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “Hadits dhaif
ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan
tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Macam-macam hadits dhaif
Hadist dhaif
dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya
rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits dhaif
karena gugurnya rawi
Yang dimaksud
dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang
seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada
pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan
karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :
1) Hadits Mursal
Hadits mursal
menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas.
Para ulama memberikan batasan
bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang
dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang
merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW.
(penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat
dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat
dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak
menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari
Rasulullah.
Contoh hadits
mursal : Rasulullah
bersabda, “Antara kita dan kaum munafik (ada batas), yaitu menghadiri
jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.
Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman, dari Harmalah, dan selanjutnya
dari Sa’id bin Mustayyab. Siapa sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits itu
kepada Sa’id bin Mustayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad hadits di atas.
Kebanyakan
Ulama memandang hadits mursal ini sebagai hadits dhaif, karena itu tidak bisa
diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil
ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat
menerima hadits mursal menjadi hujjah asalkan para rawi bersifat adil.
2)
Hadits Munqathi’
Hadits
munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan
bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa
beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat
Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits
munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur
seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak
beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
contoh hadits
munqathi’ : Rasulullah SAW.
bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas
Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu
rahmatMu”.
Hadits di atas
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, dari Ismail bin
Ibrahim, dari Laits, dari Abdullah bin Hasan, dari Fatimah binti Al-Husain, dan
selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra.
Menurut Ibnu Majah, hadits di atas adalah
hadits munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan
Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada
tingkatan tabi’in.
3)
Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa,
hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para
ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau
lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya
adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya “Al-Muwatha” yang
berbunyi : Imam Malik berkata : Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah SAW bersabda : "Budak itu harus
diberi makanan dan pakaian dengan baik."
Di dalam kitab
Imam Malik tersebut, tidak memaparkan dua orang rawi yang beriringan antara dia
dengan Abu Hurairah. Kedua rawi yang gugur itu dapat diketahui melalui riwayat
Imam Malik di luar kitab Al-Muwatha. Imam Malik meriwayatkan hadits yang sama :
Dari Muhammad bin Ajlan , dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua
rawi yang gugur adalah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.
4)
Hadits mu’allaq
Menurut bahasa,
hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang
hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa
juga bila semua rawinya digugurkan ( tidak disebutkan ).
Contoh : Bukhari berkata : Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu Huraira, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain.
Berdasarkan
riwayat Bukhari, ia sebenarnya tidak pernah bertemu dengan Malik. Dengan
demikian, Bukhari telah menggugurkan satu rawi di awal sanad tersebut. Pada
umumnya, yang termasuk dalam kategori hadits mu’allaq tingkatannya adalah
dhaif, kecuali 1341 buah hadits muallaq yang terdapat dalam kitab Shahih
Bukhari. 1341 hadits tersebut tetap dipandang shahih, karena Bukhari bukanlah
seorang mudallis (yang menyembunyikan cacat hadits ). Dan sebagian besar dari
hadits mu’allaqnya itu disebutkan seluruh rawinya secara lengkap pada tempat
lain dalam kiab itu juga.
b. Hadits dhaif
karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam
cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak
dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil
pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan
hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan
sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan
di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian
yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh
hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi :
1)
Hadits Maudhu’
Menurut bahasa,
hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal dari
Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan
pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad
permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik,
zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau
kebangsaannya .
Hadits maudhu’
merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang
yang berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai
sandarannya.
“Barangsiapa
yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat
duduknya dalam neraka”.
Berikut
dipaparkan beberapa contoh hadits maudhu’:
a)
Hadits yang dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakana bahwa
hadits itu diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan selanjutnya dari
Rasulullah SAW. berbunyi : “Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf mengelilingi
ka’bah, tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua rakaat” Makna hadits
tersebut tidak masuk akal.
b)
adapun hadits lainnya : “anak zina itu tidak masuk surga tujuh turunan”.
Hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an. ” Pemikul dosa itu tidaklah
memikul dosa yang lain”. ( Al-An’am : 164 )
c)
“Siapa yang memperoleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu
masuk surga”. “orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku ( Muhammad
), Jibril, dan Muawiyah”.
Demikianlah
sedikit uraian mengenai hadits maudhu’. Masih banyak hadits-hadits lainnya yang
sengaja dibuat oleh pihak kufar. Sedikit sejarah, berdasarkan pengakuan dari
mereka yang memalsukan, seperti Maisarah bin Abdi Rabbin Al-Farisi, misalnya,
ia mengaku telah membuat beberapa hadits tentang keutamaan Al-Qur’an dan 70
buah hadits tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib. Abdul Karim, seorang zindiq,
sebelum dihukum pancung ia telah memalsukan hadits dan mengatakan : “aku telah
membuat 3000 hadits; aku halalkan barang yang haram dan aku haramkan barang
yang halal”.
2)
Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits ini,
menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh
orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits ataupun
mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak
wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad yang terdiri dari
serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur
Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab.
Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya
pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan /
dibuang.
3)
Hadits Munkar
Hadist munkar,
secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang
diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat, contoh :
Artinya:
“Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan
menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas
memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan
hadits yang lebih kuat.
4)
Hadits Mu’allal
Menurut bahasa,
hadits mu’allal berarti hadits yang terkena illat . Para ulama memberi batasan
bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan
illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya.
Contoh :
Rasulullah
bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.
Hadits di atas
diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan Ats-Tsauri, dari
‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu umar. Matan hadits ini sebenarnya
shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki illat. Yang
seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.
5)
Hadits mudraj
Hadist ini
memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian
dari hadits itu. Contoh :
Rasulullah
bersabda : “Saya adalah za’im ( dan za’im itu adah penanggung jawab ) bagi orang
yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman surga”.
Kalimat akhir
dari hadits tersebut adalah sisipan ( dengan tempat tinggal di taman surga ),
karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.
6)
Hadits Maqlub
Menurut bahasa,
berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi
pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran
suatu sanad untuk matan yang lain.
Rasulullah SAW
bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia;
apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan
kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, semestinya hadits tersebut
berbunyi : Rasulullah SAW bersabda : “Apa yang aku larang kamu darinya, maka
jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah ia
sesuai dengan kesanggupan kamu”.
7) Hadits Syadz
Secara bahasa,
hadits ini berarti hadits ayng ganjil. Batasan yang diberikan para ulama,
hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi
hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi
yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits
lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh : “Rasulullah bersabda : “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.”
Hadits di atas
diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari
serentetan rawi-rawi yang dipercaya, namun matan hadits tersebut ternyata
ganjil, jika dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang diriwayatkan oleh
rawi-rawi yang juga dipercaya. Pada hadits-hadits lain tidak dijumpai ungkapan
. Keganjilan hadits di atas terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan
merupakan salah satu contoh hadits syadz pada matannya. Lawan dari hadits ini
adalah hadits mahfuzh.
Kehujahan
Hadits dhaif
Khusus hadits
dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar
Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa
syarat:
Ternyata yang
namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari
yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan.
Maka menurut
para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah,
asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang
level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul
a’mal (keutamaan amal).
Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya
hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal,
harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih.
Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah
nash yang sudah shahih.
Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya,
ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa
ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita
lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini
dari Rasulullah SAW.
Sikap Ulama Terhadap Hadits Dhaif
Sebenarnya
kalau kita mau jujur dan objektif, sikap ulama terhadap hadits dhaif itu sangat
beragam. Setidaknya kami mencatat ada tiga kelompok besar dengan pandangan dan
hujjah mereka masing-masing. Dan menariknya, mereka itu bukan orang
sembarangan. Semuanya adalah orang-orang besar dalam bidang ilmu hadits serta
para spesialis.
Maka posisi
kita bukan untuk menyalahkan atau menghina salah satu kelompok itu. Sebab
dibandingkan dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya dalam konstalasi para
ulama hadits.
1) Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif
Namun harus
kita akui bahwa di sebagian kalangan, ada juga pihak-pihak yang ngotot tetap
tidak mau terima kalau hadits dhaif itu masih bisa ditolelir.
Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
Di antara
mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi,
Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh
seperti Al-Albani dan para pengikutnya.
2) Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dhaif
Jangan salah,
ternyata ada juga kalangan ulama yang tetap menerima semua hadits dhaif. Mereka
adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits
dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya
suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
Di antara para
ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam
Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini
antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul
Mahdi, Ibnul Mubarok dan yang lainnya.
Al-Imam
As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, ‘Bila kami meriwayatkan hadits
masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah
dan sejenisnya, kami longgarkan.”
3) Kalangan Menengah
Mereka adalah
kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif
dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab
yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.
Syarat-syarat
yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana
diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah,
adalah:
• Hadits dhaif
itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha’if yang perawinya
sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah
kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
• Hadits itu
punya asal yang menaungi di bawahnya
• Hadits itu
hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan
dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
• Ketika
mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan
hanya sekedar berhati-hati.
Semua
keterangan di atas, jelas bukan pendapat kami. Semua itu adalah pendapat para
ulama pakar ilmu hadits. Kami ini bukan berada dalam posisi untuk mengkritisi
salah satunya. Sebab beda maqam dan beda posisi.
Allahu 'alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar