Jumat, 17 Juli 2015

PENGERTIAN HADITS MUTAWATIR

Tidak ada komentar:


I. TARIF 

Oleh karena rawi terakhir yang mendewankan hadits secara resmi ke dalam dewan hadits itu, tidak hidup sezaman dengan Rasulullah maka sudah barang tentu hadits Rasulullah yang sampai kepadanya untuk didewankan itu melalui rawi-rawi setiap generasi yang diperlukan sebagai sumber pemberita. 

Jika jumlah para sahabat yang menjadi rawi pertama suatu hadits itu banyak sekali, kemudian rawi dalam generasi tabi’in yang menerima hadits dari rawi-rawi generasi pertama (sahabat) juga banyak jumlahnya dan tabi’it-tabi’in yang menerimanya dari tabi’in pun seimbang jumlahnya, bahkan mungkin lebih banyak, demikian seterusnya dalam keadaan yang sama sampai kepada rawi-rawi yang mendewankan hadits, maka hadits tersebut dinamakan Hadits Mutawatir. 

Secara def initif Hadits Mutawatir itu ialah: 

هوخبر عن محسوس رواه عدد جم يجب فى العادة احالة اجتما عهم وتوا طئهم على الكذب

“Suatu hadits hasil tanggapan dari panca indera yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta”

II. SYARAT-SYARAT HADITS MUTAWATIR 

Dengan memperhatikan ta’rif tersebut di atas, maka suatu hadits, baru dapat dikatakan dengan mutawatir bila telah memenuhi tiga syarat tersebut di bawah ini: 

1. Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Kalau pewartaan itu hasil pemikiran semata-mata atau hasil rangkuman dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain atau hasil istimbath dari satu dalil dengan dalil yang lain, bukan berita mutawatir.

Misalnya pewartaan orang banyak tentang kebaruan alam semesta yang berpijak kepada dalil logika bahwa setiap benda yang dapat rusak adalah benda baru (yang diciptakan oleh pencipta). Oleh karena alam semesta ini bisa rusak, sudah barang tentu ia benda baru. 

Demikian juga pewartaan para ahli filsafat tentang ke-Esa-an Allah menurut teori filsafatnya bukan merupakan berita mutawatir. 

2. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong. 

Para ulama berbeda-heda pendapat tentang batasan yang diperlukan untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta: 

a. Abut Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, karena diqiyaskan dengan banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis kepada terdakwa. 

b. Ash-habusy Syafiiy menentukan m inimal 5 orang, karena mengqiyaskannya dengan jumlah para Nabi yang mendapat gelar ulul azmi. 

c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah dalam surah Al-Anfal 65, tentang sugesti Allah kepada orang-orang mukmin yang pada tahan uji, yang hanya dengan berjumlah 20 orang saja mampu mengalahkan orang kafir sejumlah 200 orang. 

“Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua rarus orang musuh.” 

d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang, karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah: 

“Ya Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (Al-Anfal: 64) 

Keadaan orang-orang mukmin pada waktu itu, baru 40 orang. Jumlah sekian itulah merupakan jumlah m inimal untuk dijadikan penolong-penolong yang setia dalam mencapai suatu tujuan. 

Jumlah rawi-rawi sebagaimana yang telah mereka tentukan batas m inimal dan maksimalnya itu, tidak dapat dijadikan pegangan yang kuat karena alasan yang mereka kemukakan untuk mempertahankan pendapatnya adalah lemah serta menyimpang dari inti pokok persoalannya. Sebab persoalan yang prinsip yang dijadikan ukuran untuk menetapkan sedikit atau banyaknya jumlah rawi-rawi tersebut bukan terbatas pada jumlah, tetapi diukur kepada tercapainya ilmudl dlarury

Walaupun jumlah rawi-rawi itu tidak banyak sekalipun, selama dapat memberi kesan bahwa berita yang mereka sampaikan itu benar-benar meyakinkan, maka hadits itu sudah dapat dimasukkan Hadits Mutawatir. 

3. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqah (lapisan) pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thabaqah berikutnya. Oleh karena itu, kalau suatu hadits diriwayatkan oleh sepuluh sahabat umpamanya, kemudian diterima oleh lima orang tabi’i dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh dua orang tabi’it-tabiin, bukan Hadits Mutawatir. Sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqah pertama, kedua dan ketiga. 

III. MUNGKINKAH TERDAPAT HADITS MUTAWATIR?

Karena syarat-syarat Hadits Mutawatir itu demikian ketatnya maka sebagian ulama Seperti lbnu Hibban dan Al-Hazimy menganggap bahwa Hadits Mutawatir itu tidak mungkin terdapat. Ibnush Shalah berpendapat bahwa Hadits Mutawatir itu memang ada, hanya jumlahnya terlalu kecil. 

Kedua pendapat tersebut tidak dibenarkan oleh Ibnu Hajar, disebabkan kekurangan mereka dalam menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat rawi-rawinya yang dapat memustahilkan bersepakat bohong. Menurut beliau, Hadits Mutawatir itu banyak kita dapati dalam kitab-kitab yang masyhur. Bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits Mutawatir, seperti: 

a. Al-Azharul Mutanatsirah fil Akhbari Mutawatirah, karya As-Suyuthy (911 H). Dalam kitab itu disusunnya menurut bab demi bab dan setiap hadits diterangkan sanad-sanadnya yang dipakai oleh pentakhrijnya. Kemudian kitab tersebut diringkas dengan diberi nama. 

b. Qathful Azhar.

c. Nadlmul Mutanatsir minal Haditsil Mutawatir, karya Muhammad Abdullah bin Ja’far Al-Kattany (1345 H.)
.
IV. KLASIFIKASI HADITS MUTAWATIR 

Para ahli Ushul membagi Hadits Mutawatir kepada dua bagian. Yakni Mutawaitr lafdhy dan Mutawatir ma’nawy

Hadits Mutawatir lafdhy ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan lainnya. Dengan kata lain Hadits Mutawatir lafdhy, ialah: 

هو ما تواتر لفظه

“Hadits yang Mutawatir lafadhnya”

Contoh hadits mutawatir lafdhy, antara lain: 


“Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku. maka hendaklah dia menduduki tempat duduk di neraka”

Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan sebagian ulama mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan susunan redaksi dan makna yang sama. 

Demikian juga hadits: 

“Sungguh Al-Quran ini diturunkan dengan tujuh macam bacaan (qiraat).” 

Adalah diriwayatkan oleh berpuluh-puluh sahabat dengan redaksi dan makna yang sama.

Hadits Mutawatir ma’nawy, ialah hadits mutawatir yang rawi-rawinya berlain-lainan dalam menyusun redaksi pemberitaan, tetapi berita yang berlain-lainan susunan redaksinya itu terdapat persesuaian pada prinsipnya. 

Dengan istilah lain: 

“Ialah kutipan sekian banyak orang yang menurut adat kebiasaan mustahil bersepakat dusta atas kejadian-kejadian yang berbeda-beda, tetapi bertemu pada titik persamaan.” 

Misalnya hadits tentang mengangkat tangan di kala mendoa: 

“Konon Nabi Muhammad saw tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doa beliau, selain dalam doa shalat Istisqa’. Dan beliau mengangkat tangannya, hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya.” (Riwayat Bukhari-Muslim) 

Hadits yang semacam itu, tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadits-hadits yang ditakhrijkan oleh Imam Ahmad, Al-Hakim dan Abu Dawud, yang berbunyi: 

“Konon Rasulullah saw mengangkat tangan, sejajar dengan kedua pundak beliau.” 

Kendatipun hadits-hadits tersebut berbeda-beda redaksinya, namun karena mempunyai kadar mustarak (titik persamaan) yang sama, yakni keadaan beliau mengangkat tangan di kala mendoa, maka disebut Hadits Mutawatir ma’nawy. 

V. FAEDAH HADITS MUTAWATIR 

“Hadits Mutawatir” itu memberi faedah ilmu dlarury, yakni keharusan untuk menerimanya bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh Hadits Mutawatir, hingga membawa kepada keyakinan yang qathi (pasti) 

Rawi-rawi Hadits Mutawatir, tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan kedlabithannya (kuatnya ingatan), karena kuantitas rawi-rawinya sudah menjamin dari persepakatan dusta. Nabi Muhammad saw benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu, sebagaimana yang diberitakan oleh rawi-rawi mutawatir. 

Segenap umat Islam telah sepakat pendapatnya tentang faedah Hadits Mutawatir yang demikian ini. Bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu dlarury yang berdasarkan khabar Mutawatir, sama dengan mengingkari hasil ilmu dlarury yang berdasarkan musyahadat (penghihatan panca indera).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top