I.
TARIF
Oleh karena rawi terakhir yang
mendewankan hadits secara resmi ke dalam dewan hadits itu, tidak hidup sezaman
dengan Rasulullah maka sudah barang tentu hadits Rasulullah yang sampai kepadanya
untuk didewankan itu melalui rawi-rawi setiap generasi yang diperlukan sebagai
sumber pemberita.
Jika jumlah para sahabat yang
menjadi rawi pertama suatu hadits itu banyak sekali, kemudian rawi dalam
generasi tabi’in yang menerima hadits dari rawi-rawi generasi pertama (sahabat)
juga banyak jumlahnya dan tabi’it-tabi’in yang menerimanya dari tabi’in pun
seimbang jumlahnya, bahkan mungkin lebih banyak, demikian seterusnya dalam
keadaan yang sama sampai kepada rawi-rawi yang mendewankan hadits, maka hadits
tersebut dinamakan Hadits Mutawatir.
Secara def initif Hadits
Mutawatir itu ialah:
هوخبر عن
محسوس رواه عدد جم يجب فى العادة احالة اجتما عهم وتوا طئهم على الكذب
“Suatu hadits hasil
tanggapan dari panca indera yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi yang
menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta”
II.
SYARAT-SYARAT HADITS MUTAWATIR
Dengan memperhatikan ta’rif
tersebut di atas, maka suatu hadits, baru dapat dikatakan dengan mutawatir bila
telah memenuhi tiga syarat tersebut di bawah ini:
1. Pewartaan yang disampaikan
oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Yakni warta
yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan
sendiri. Kalau pewartaan itu hasil pemikiran semata-mata atau hasil rangkuman
dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain atau hasil istimbath dari satu dalil dengan dalil yang lain, bukan berita
mutawatir.
Misalnya pewartaan orang banyak
tentang kebaruan alam semesta yang berpijak kepada dalil logika bahwa setiap benda
yang dapat rusak adalah benda baru (yang diciptakan oleh pencipta). Oleh karena
alam semesta ini bisa rusak, sudah barang tentu ia benda baru.
Demikian juga pewartaan para
ahli filsafat tentang ke-Esa-an Allah menurut teori filsafatnya bukan merupakan
berita mutawatir.
2. Jumlah rawi-rawinya harus
mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong.
Para ulama berbeda-heda pendapat
tentang batasan yang diperlukan untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta:
a. Abut Thayyib menentukan
sekurang-kurangnya 4 orang, karena diqiyaskan dengan banyaknya saksi yang
diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis kepada terdakwa.
b. Ash-habusy Syafiiy
menentukan m inimal 5 orang, karena mengqiyaskannya dengan jumlah para Nabi
yang mendapat gelar ulul azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan
sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah
dalam surah Al-Anfal 65, tentang sugesti Allah kepada orang-orang mukmin yang
pada tahan uji, yang hanya dengan berjumlah 20 orang saja mampu mengalahkan
orang kafir sejumlah 200 orang.
“Jika ada dua puluh orang yang
sabar di antara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua rarus orang musuh.”
d. Ulama yang lain menetapkan
jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang, karena mereka mengqiyaskan dengan
firman Allah:
“Ya
Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu (menjadi
penolongmu).” (Al-Anfal: 64)
Keadaan orang-orang mukmin pada
waktu itu, baru 40 orang. Jumlah sekian itulah merupakan jumlah m inimal untuk
dijadikan penolong-penolong yang setia dalam mencapai suatu tujuan.
Jumlah rawi-rawi sebagaimana
yang telah mereka tentukan batas m inimal dan maksimalnya itu, tidak dapat
dijadikan pegangan yang kuat karena alasan yang mereka kemukakan untuk
mempertahankan pendapatnya adalah lemah serta menyimpang dari inti pokok
persoalannya. Sebab persoalan yang prinsip yang dijadikan ukuran untuk
menetapkan sedikit atau banyaknya jumlah rawi-rawi tersebut bukan terbatas pada
jumlah, tetapi diukur kepada tercapainya ilmudl
dlarury.
Walaupun jumlah rawi-rawi itu
tidak banyak sekalipun, selama dapat memberi kesan bahwa berita yang mereka
sampaikan itu benar-benar meyakinkan, maka hadits itu sudah dapat dimasukkan
Hadits Mutawatir.
3. Adanya keseimbangan jumlah
antara rawi-rawi dalam thabaqah
(lapisan) pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thabaqah berikutnya. Oleh karena itu, kalau suatu hadits diriwayatkan
oleh sepuluh sahabat umpamanya, kemudian diterima oleh lima orang tabi’i dan
seterusnya hanya diriwayatkan oleh dua orang tabi’it-tabiin, bukan Hadits
Mutawatir. Sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqah pertama, kedua dan ketiga.
III.
MUNGKINKAH TERDAPAT HADITS MUTAWATIR?
Karena syarat-syarat Hadits
Mutawatir itu demikian ketatnya maka sebagian ulama Seperti lbnu Hibban dan Al-Hazimy
menganggap bahwa Hadits Mutawatir itu tidak mungkin terdapat. Ibnush Shalah
berpendapat bahwa Hadits Mutawatir itu memang ada, hanya jumlahnya terlalu
kecil.
Kedua pendapat tersebut tidak
dibenarkan oleh Ibnu Hajar, disebabkan kekurangan mereka dalam menelaah
jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat rawi-rawinya yang dapat
memustahilkan bersepakat bohong. Menurut beliau, Hadits Mutawatir itu banyak
kita dapati dalam kitab-kitab yang masyhur. Bahkan ada beberapa kitab yang
khusus menghimpun hadits-hadits Mutawatir, seperti:
a. Al-Azharul Mutanatsirah fil Akhbari Mutawatirah, karya As-Suyuthy
(911 H). Dalam kitab itu disusunnya menurut bab demi bab dan setiap hadits
diterangkan sanad-sanadnya yang dipakai oleh pentakhrijnya. Kemudian kitab tersebut
diringkas dengan diberi nama.
b. Qathful Azhar.
c. Nadlmul Mutanatsir minal Haditsil Mutawatir, karya Muhammad Abdullah
bin Ja’far Al-Kattany (1345 H.)
.
IV.
KLASIFIKASI HADITS MUTAWATIR
Para ahli Ushul membagi Hadits
Mutawatir kepada dua bagian. Yakni Mutawaitr
lafdhy dan Mutawatir ma’nawy.
Hadits Mutawatir lafdhy ialah
hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya
sesuai benar antara riwayat yang satu dengan lainnya. Dengan kata lain Hadits
Mutawatir lafdhy, ialah:
هو ما تواتر لفظه
“Hadits
yang Mutawatir lafadhnya”
Contoh hadits mutawatir lafdhy,
antara lain:
“Rasulullah
saw bersabda: Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku. maka hendaklah
dia menduduki tempat duduk di neraka”
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar,
hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan sebagian ulama
mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan susunan
redaksi dan makna yang sama.
Demikian juga hadits:
“Sungguh
Al-Quran ini diturunkan dengan tujuh macam bacaan (qiraat).”
Adalah diriwayatkan oleh
berpuluh-puluh sahabat dengan redaksi dan makna yang sama.
Hadits Mutawatir ma’nawy, ialah
hadits mutawatir yang rawi-rawinya berlain-lainan dalam menyusun redaksi pemberitaan,
tetapi berita yang berlain-lainan susunan redaksinya itu terdapat persesuaian
pada prinsipnya.
Dengan istilah lain:
“Ialah kutipan sekian banyak
orang yang menurut adat kebiasaan mustahil bersepakat dusta atas
kejadian-kejadian yang berbeda-beda, tetapi bertemu pada titik persamaan.”
Misalnya hadits tentang
mengangkat tangan di kala mendoa:
“Konon
Nabi Muhammad saw tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doa beliau, selain
dalam doa shalat Istisqa’. Dan beliau mengangkat tangannya, hingga tampak
putih-putih kedua ketiaknya.” (Riwayat Bukhari-Muslim)
Hadits yang semacam itu, tidak
kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadits-hadits
yang ditakhrijkan oleh Imam Ahmad, Al-Hakim dan Abu Dawud, yang berbunyi:
“Konon
Rasulullah saw mengangkat tangan, sejajar dengan kedua pundak beliau.”
Kendatipun hadits-hadits
tersebut berbeda-beda redaksinya, namun karena mempunyai kadar mustarak (titik persamaan) yang sama,
yakni keadaan beliau mengangkat tangan di kala mendoa, maka disebut Hadits
Mutawatir ma’nawy.
V.
FAEDAH HADITS MUTAWATIR
“Hadits Mutawatir” itu memberi
faedah ilmu dlarury, yakni keharusan
untuk menerimanya bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh Hadits Mutawatir,
hingga membawa kepada keyakinan yang qathi
(pasti)
Rawi-rawi Hadits Mutawatir, tidak
perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan kedlabithannya (kuatnya ingatan),
karena kuantitas rawi-rawinya sudah menjamin dari persepakatan dusta. Nabi
Muhammad saw benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu, sebagaimana yang
diberitakan oleh rawi-rawi mutawatir.
Segenap umat Islam telah
sepakat pendapatnya tentang faedah Hadits Mutawatir yang demikian ini. Bahkan
orang yang mengingkari hasil ilmu dlarury yang berdasarkan khabar Mutawatir,
sama dengan mengingkari hasil ilmu dlarury yang berdasarkan musyahadat (penghihatan panca indera).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar