عن داود بن أبي صالح ، قال : أقبل مروان يوما فوجد رجلا واضعا وجهه على القبر ، فأخذ برقبته وقال : أتدري ما تصنع ؟ قال : نعم ، فأقبل عليه فإذا هو أبو أيوب الأنصاري رضي الله عنه ، فقال : جئت رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم آت الحجر سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم ، يقول : لا تبكوا على الدين إذا وليه أهله ، ولكن ابكوا عليه إذا وليه غير أهله
Artinya : “Dari Daud bin Abi Shalih berkata: “Suatu ketika Marwan datang. Dia melihat seorang lelaki sedang meletakkan wajahnya di atas kubur Rasullullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu Marwan menarik lehernya dan mengatakan: “Apakah anda menyadari apa yang anda lakukan?”. Lelaki itu berkata: “Ya”, lalu menengok ke arah Marwan, ternyata lelaki itu adalah Abu Ayyub al-Anshari Radhiallahu’anhu. Ia berkata: “Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, bukan datang untuk sebongkah batu. Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jangan menangis untuk agama, jika agama masih dipegang oleh ahlinya. Namun tangisilah agama jika ia dipegang bukan oleh ahlinya” [HR. Ahmad, No. 22482]
Klik warna kuning untuk mengetahui rujukan "pendhaifan-nya"
Hadits ini diriwayatkan dari 2 jalan, yaitu dari jalan Daud bin Abi Shalih dan jalan Muthallib bin Abdillah bin Hanthab. Jalan pertama sebagaimana yang dibawakan Al Hakim dan Imam Ahmad.
Artinya : “Dari Daud bin Abi Shalih berkata: “Suatu ketika Marwan datang. Dia melihat seorang lelaki sedang meletakkan wajahnya di atas kubur Rasullullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu Marwan menarik lehernya dan mengatakan: “Apakah anda menyadari apa yang anda lakukan?”. Lelaki itu berkata: “Ya”, lalu menengok ke arah Marwan, ternyata lelaki itu adalah Abu Ayyub al-Anshari Radhiallahu’anhu. Ia berkata: “Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, bukan datang untuk sebongkah batu. Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jangan menangis untuk agama, jika agama masih dipegang oleh ahlinya. Namun tangisilah agama jika ia dipegang bukan oleh ahlinya” [HR. Ahmad, No. 22482]
Klik warna kuning untuk mengetahui rujukan "pendhaifan-nya"
Hadits ini diriwayatkan dari 2 jalan, yaitu dari jalan Daud bin Abi Shalih dan jalan Muthallib bin Abdillah bin Hanthab. Jalan pertama sebagaimana yang dibawakan Al Hakim dan Imam Ahmad.
Jalan Pertama Al Hakim membawakan hadits ini dengan sanad sebagai berikut:
”Abul Abbas Muhammad bin Ya’qub berkata kepadaku: Al-Abbas bin Muhammad bin Hatim Ad Dauri menyampaikan kepadaku: Abu Amir Abdul Malik bin Umar Al-Aqdiy menyampaikan kepadaku: Katsir bin Zaid menyampaikan kepadaku: Dari Daud bin Abi Shalih”
Imam Ahmad membawakan hadits ini dengan sanad sebagai berikut: “Abdullah berkata kepadaku: Ayahku (Abu Abdillah) berkata kepadaku: Abdul Malik bin Amr menyampaikan kepadaku: Katsir bin Zaid menyampaikan kepadaku: Dari Daud bin Abi Shalih”
Jalan kedua dibawakan oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath dan Mu’jam Al-Kabir, beliau membawakan hadits ini dengan sanad sebagai berikut; “Ahmad bin Rusydain menuturkan kepadaku, ia berkata: Sufyan bin Basyir Al-Kufi mengabarkan kepadaku, ia berkata: Hatim bin Isma’il mengabarkan kepadaku: Dari Katsir bin Zaid: Dari Muthallib bin Abdillah bin Hanthab: Dari Abu Ayyub Al Anshari”
Di tempat lain di Mu’jam Al-Ausath, Ath-Thabrani membawakan dengan sanad sedikit berbeda: “Harun bin Sulaiman Abu Dzar menuturkan kepadaku, ia berkata: Sufyan bin Bisyr Al Kufi mengabarkan kepadaku, ia berkata: Hatim bin Isma’il mengabarkan kepadaku, dst….”
Komentar Ulama
Para ulama ahli hadits berbeda pendapat mengenai status hadits ini. Ulama yang menerima hadits ini diantaranya:
Pertama: Abu Abdillah Al Hakim dalam Mustadrak-nya mengatakan: “Sanad hadits ini shahih, dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim”
Kedua: Adz Dzahabi dalam Talkhis-nya terhadap Al-Mustadrak, beliau mengatakan hadits ini shahih. Namun pernyataan ini agak aneh karena Adz-Dzahabi mengatakan tentang Daud bin Abi Shalih: “Ia orang Hijaz namun tidak dikenal (majhul)” (Lisanul Mizan, 2617)
Ketiga: As-Subki, dalam Syifa As-Saqqam (152) mengatakan bahwa hadits ini shahih dan beliau berdalil dengan hadits ini bolehnya mengusap-usap kuburan. Namun klaim shahih tersebut sangat patut dipertanyakan, sebab para ahli hadits mengkritik hadits ini karena terdapat kecacatan pada perawi-perawinya:
Ringkasnya, dengan adanya kecacatan ini, wallahu ’alam, lebih tepat menghukumi hadits ini sebagai hadits dha’if. Terlebih lebih terdapat ijma ulama yang dinukil dari ulama besar mazhab Asy Syafi’i, yaitu Al-Imam An-Nawawi rahimahullah bahwa mengusap-ngusap kubur hukumnya terlarang. Al-Haitami menyanggah As-Subki yang berdalil dengan hadits ini dengan berkata:
“Hadits tersebut dhaif. Dan ijma yang dinukil oleh An Nawawi itu shahih tidak ada seorang ulama pun yang mengkritik” (Hasyiatul Idhah, 219)
Sedangkan ijma yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan dalil shahih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Tidak akan pernah ada ijma ulama yang bertentangan dengan dalil” (Majmu’ Fatawa, 201/19)
Dengan kata lain, orang yang mengusap-ngusap kuburan dengan dasar anggapan shahih terhadap hadits ini, orang tersebut mengingkari klaim ijma’ dari ulama besar mazhab Asy Syafi’i, yaitu Imam Abu Yahya Muhyiddin An Nawawi.
Tambahan
Terlepas dari dhaif-nya hadits ini, terdapat pula beberapa kejanggalan, diantaranya:
Pertama: Dalam hadits tersebut dikatakan Abu Ayyub Al Anshari meletakan wajahnya di atas makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Padahal makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam itu rata dengan tanah. Sebagaimana hadits shahih:
“Dari Sufyan At Tammar, ia mengatakan bahwa ia pernah melihat kubur Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam rata dengan tanah” (HR. Al Bukhari, no.1390)
Jika demikian, konsekuensinya, Abu Ayyub Al Anshari dalam posisi sujud. Dan ini perkara yang mustahil, tidak pernah tergambar di benak bahwa ada seorang sahabat Nabi sujud kepada kuburan!
Kedua: Hadits ini seolah-olah menggambarkan bahwa makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terbuka dan dapat didatangi semua orang. Padahal makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tertutup dan orang-orang dilarang masuk kecuali diberi izin. Sebagaimana hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha:
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika sakit menjelang wafatnya: ‘Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan Nabi mereka sebagai tempat ibadah’. Aisyah berkata: ‘Andai bukan karena sabda beliau ini, tentu akan aku nampakkan (dibuka untuk umum) kuburan beliau, namun beliau khawatir kuburnya dijadikan tempat ibadah‘” (HR. Bukhari)
Ketiga: Dalam hadits dikatakan bahwa Abu Ayyub Al Anshari meletakkan wajahnya di atas kubur Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu mengungkapkan kesedihannya terhadap orang-orang yang berbicara agama tanpa ilmu. Dari sisi mana perbuatan ini dijadikan dalil untuk bolehnya mengusap-ngusap kuburan untuk mengambil berkahnya (tabarruk) ??
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata: “Orang-orang zaman ini banyak yang menyebarkan kabar bahwa mengusap-ngusap kubur itu dibolehkan dengan dalil hadits ini. Yaitu dalam hadits ini Abu Ayyub meletakkan wajahnya di atas kuburan. Selain hadits ini sanadnya lemah, sebagaimana telah dijelaskan kepada anda, hadist ini juga tidak menunjukkan Abu Ayyub menyentuh kubur Nabi tersebut untuk mengambil berkah (tabarruk), seperti yang dilakukan orang-orang yang tidak paham. Sehingga hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah” (Silsilah Adh Dha’ifah, 552/1)
Keempat: Hadits ini juga sering dijadikan tameng oleh orang-orang syi’ah untuk membela kebiasaan mereka ber-tabarruk kepada imam-imam mereka (Ahadits Yahtaju Biha Asy- Syi’ah, 373 ). Ini salah satu bukti bahwa perbuatan mengusap-usap kubur dan ber-tabarruk dengannya adalah kebiasaan orang Syi’ah. Pantaskah kita mengikutinya?
Demikian penjelasan ringkas yang kami nukilkan dari penjelasan para ulama.
Allahu 'alam bis shawab....
”Abul Abbas Muhammad bin Ya’qub berkata kepadaku: Al-Abbas bin Muhammad bin Hatim Ad Dauri menyampaikan kepadaku: Abu Amir Abdul Malik bin Umar Al-Aqdiy menyampaikan kepadaku: Katsir bin Zaid menyampaikan kepadaku: Dari Daud bin Abi Shalih”
Imam Ahmad membawakan hadits ini dengan sanad sebagai berikut: “Abdullah berkata kepadaku: Ayahku (Abu Abdillah) berkata kepadaku: Abdul Malik bin Amr menyampaikan kepadaku: Katsir bin Zaid menyampaikan kepadaku: Dari Daud bin Abi Shalih”
Jalan kedua dibawakan oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath dan Mu’jam Al-Kabir, beliau membawakan hadits ini dengan sanad sebagai berikut; “Ahmad bin Rusydain menuturkan kepadaku, ia berkata: Sufyan bin Basyir Al-Kufi mengabarkan kepadaku, ia berkata: Hatim bin Isma’il mengabarkan kepadaku: Dari Katsir bin Zaid: Dari Muthallib bin Abdillah bin Hanthab: Dari Abu Ayyub Al Anshari”
Di tempat lain di Mu’jam Al-Ausath, Ath-Thabrani membawakan dengan sanad sedikit berbeda: “Harun bin Sulaiman Abu Dzar menuturkan kepadaku, ia berkata: Sufyan bin Bisyr Al Kufi mengabarkan kepadaku, ia berkata: Hatim bin Isma’il mengabarkan kepadaku, dst….”
Komentar Ulama
Para ulama ahli hadits berbeda pendapat mengenai status hadits ini. Ulama yang menerima hadits ini diantaranya:
Pertama: Abu Abdillah Al Hakim dalam Mustadrak-nya mengatakan: “Sanad hadits ini shahih, dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim”
Kedua: Adz Dzahabi dalam Talkhis-nya terhadap Al-Mustadrak, beliau mengatakan hadits ini shahih. Namun pernyataan ini agak aneh karena Adz-Dzahabi mengatakan tentang Daud bin Abi Shalih: “Ia orang Hijaz namun tidak dikenal (majhul)” (Lisanul Mizan, 2617)
Ketiga: As-Subki, dalam Syifa As-Saqqam (152) mengatakan bahwa hadits ini shahih dan beliau berdalil dengan hadits ini bolehnya mengusap-usap kuburan. Namun klaim shahih tersebut sangat patut dipertanyakan, sebab para ahli hadits mengkritik hadits ini karena terdapat kecacatan pada perawi-perawinya:
Ringkasnya, dengan adanya kecacatan ini, wallahu ’alam, lebih tepat menghukumi hadits ini sebagai hadits dha’if. Terlebih lebih terdapat ijma ulama yang dinukil dari ulama besar mazhab Asy Syafi’i, yaitu Al-Imam An-Nawawi rahimahullah bahwa mengusap-ngusap kubur hukumnya terlarang. Al-Haitami menyanggah As-Subki yang berdalil dengan hadits ini dengan berkata:
“Hadits tersebut dhaif. Dan ijma yang dinukil oleh An Nawawi itu shahih tidak ada seorang ulama pun yang mengkritik” (Hasyiatul Idhah, 219)
Sedangkan ijma yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan dalil shahih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Tidak akan pernah ada ijma ulama yang bertentangan dengan dalil” (Majmu’ Fatawa, 201/19)
Dengan kata lain, orang yang mengusap-ngusap kuburan dengan dasar anggapan shahih terhadap hadits ini, orang tersebut mengingkari klaim ijma’ dari ulama besar mazhab Asy Syafi’i, yaitu Imam Abu Yahya Muhyiddin An Nawawi.
Tambahan
Terlepas dari dhaif-nya hadits ini, terdapat pula beberapa kejanggalan, diantaranya:
Pertama: Dalam hadits tersebut dikatakan Abu Ayyub Al Anshari meletakan wajahnya di atas makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Padahal makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam itu rata dengan tanah. Sebagaimana hadits shahih:
“Dari Sufyan At Tammar, ia mengatakan bahwa ia pernah melihat kubur Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam rata dengan tanah” (HR. Al Bukhari, no.1390)
Jika demikian, konsekuensinya, Abu Ayyub Al Anshari dalam posisi sujud. Dan ini perkara yang mustahil, tidak pernah tergambar di benak bahwa ada seorang sahabat Nabi sujud kepada kuburan!
Kedua: Hadits ini seolah-olah menggambarkan bahwa makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terbuka dan dapat didatangi semua orang. Padahal makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tertutup dan orang-orang dilarang masuk kecuali diberi izin. Sebagaimana hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha:
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika sakit menjelang wafatnya: ‘Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan Nabi mereka sebagai tempat ibadah’. Aisyah berkata: ‘Andai bukan karena sabda beliau ini, tentu akan aku nampakkan (dibuka untuk umum) kuburan beliau, namun beliau khawatir kuburnya dijadikan tempat ibadah‘” (HR. Bukhari)
Ketiga: Dalam hadits dikatakan bahwa Abu Ayyub Al Anshari meletakkan wajahnya di atas kubur Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu mengungkapkan kesedihannya terhadap orang-orang yang berbicara agama tanpa ilmu. Dari sisi mana perbuatan ini dijadikan dalil untuk bolehnya mengusap-ngusap kuburan untuk mengambil berkahnya (tabarruk) ??
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata: “Orang-orang zaman ini banyak yang menyebarkan kabar bahwa mengusap-ngusap kubur itu dibolehkan dengan dalil hadits ini. Yaitu dalam hadits ini Abu Ayyub meletakkan wajahnya di atas kuburan. Selain hadits ini sanadnya lemah, sebagaimana telah dijelaskan kepada anda, hadist ini juga tidak menunjukkan Abu Ayyub menyentuh kubur Nabi tersebut untuk mengambil berkah (tabarruk), seperti yang dilakukan orang-orang yang tidak paham. Sehingga hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah” (Silsilah Adh Dha’ifah, 552/1)
Keempat: Hadits ini juga sering dijadikan tameng oleh orang-orang syi’ah untuk membela kebiasaan mereka ber-tabarruk kepada imam-imam mereka (Ahadits Yahtaju Biha Asy- Syi’ah, 373 ). Ini salah satu bukti bahwa perbuatan mengusap-usap kubur dan ber-tabarruk dengannya adalah kebiasaan orang Syi’ah. Pantaskah kita mengikutinya?
Demikian penjelasan ringkas yang kami nukilkan dari penjelasan para ulama.
Allahu 'alam bis shawab....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar