Tanya : Apakah benar bahwa atsar dari
‘Umar bin Al-Khaththaab : ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’ lemah
?
Jawab : Atsar tersebut shahih. Al-Imaam
Maalik bin Anas rahimahullah berkata :
عَنْ ابْنِ
شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ
الْقَارِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ
إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ
لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ، فَقَالَ
عُمَرُ: " وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى
قَارِئٍ وَاحِدٍ، لَكَانَ أَمْثَلَ " فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ
كَعْبٍ، قَالَ: ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ
بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ، فَقَالَ عُمَرُ: " نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
..........
Dari Ibnu Syihaab[1], dari ‘Urwah
bin Az-Zubair[2], dari
‘Abdurrahmaan bin ‘Abd Al-Qaariy[3], bahwasannya
ia berkata : “Aku pernah keluar bersama ‘Umar bin Al-Khaththaab di bulan
Ramadlaan menuju masjid. Ternyata orang-orang shalat terpencar-pencar dalam
beberapa kelompok. Ada orang yang shalat sendirian, ada pula orang yang shalat
dengan diikuti sekelompok orang. Lalu ‘Umar berkata : “Demi Allah, sesungguhnya
aku memandang, seandainya aku kumpulkan mereka di belakang satu imam, niscaya
itu lebih utama”. Akhirnya ia pun mengumpulkan mereka di belakang Ubay bin
Ka’b. Kemudian aku (‘Abdurrahmaan) keluar bersamanya di malam yang lain dimana
orang-orang shalat di belakang satu imam mereka. Lalu ‘Umar berkata : “Sebaik-baik
bid’ah adalah ini….” [Al-Muwaththa’,
1/476-477 no. 270].
Diriwayatkan juga
oleh Al-Bukhaariy no. 2010, Ibnu Wahb dalam Al-Muwaththa’ 1/98-99 no. 302,
Al-Marwaziy dalam Qiyaamur-Ramadlaan no. 25, Al-Firyaabiy dalam Ash-Shiyaam no.
164-165, serta Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 2/493 dan dalam Fadlaailul-Auqaat
no. 121; semuanya dari jalan Maalik, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah bin Az-Zubair,
dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Abd Al-Qaariy.
Maalik mempunyai mutaba’ah
dari :
1. Syu’aib bin
Diinaar Al-Qurasyiy[4]; sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Firyaabiy dalam Ash-Shiyaam no. 166.
2. Al-Laits bin Sa’d[5]; sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Firyaabiy dalam Ash-Shiyaam no. 152 dan Ibnu Wahb dalam Al-Muwaththa’
1/98-99 no. 302.
3. Ma’mar bin Raasyid[6]; sebagaimana
diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 4/258-259 no. 7723.
4. Al-Auza’iy[7]; sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Syabbah dalam Taariikh Al-Madiinah no. 1186.
5. ‘Uqail bin Khaalid[8]; sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 2/493 dalam Al-Ma’rifah 2/303-304.
6. Yuunus bin Yaziid[9]; sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dalam Al-Muwaththa’ 1/98-99 no. 302 dan dari
jalannya Ibnu Khuzaimah no. 1100.
Sanad
riwayat ini shahih.
‘Abdurrahmaan bin
‘Abdil-Qaari’ mempunyai syaahid dari As-Saaib bin Yaziid sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Syabbah dalam Taariikh Al-Madiinah no. 1182 : Telah
menceritakan kepada kami Abu Dzukair, ia berkata : Aku mendengar Muhammad bin
Yuusuf Al-A’raj[10]
menceritakan dari As-Saaib bin Yaziid[11],
dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu.
Seluruh
perawinya tsiqaat kecuali Abu Dzukair. Abu Dzukair atau
Abu Zukair namanya adalah Yahyaa bin Muhammad bin Qais Adl-Dlariir; seorang
yang shaduuq, namun banyak salahnya [At-Taqriib, hal. 1066 no. 7689]. Oleh
karena itu, sanad riwayat ini dla’iif, namun menjadi hasan (lighairihi) dengan
keberadaan riwayat ‘Abdurrahmaan bin ‘Abd Al-Qaariy di atas.
Adapun
alasan pelemahan atsar ini dengan sebab Az-Zuhriy seorang mudallis pada tingkat
ketiga,
maka ini tidak diterima.[12]
Pelemahan
ini tertolak dengan beberapa sebab :
1. Istilah tadliis yang
disifatkan para ulama kepada Ibnu Syihaab kemungkinan besar maknanya adalah irsaal,
bukan tadliis dalam istilah khusus menurut muta’akhkhiriin.[13]
di kalangan ulama mutaqaddimiin dapat berarti irsaal. Maksudnya, riwayat
Az-Zuhriy dari syaikhnya dengan lafadh ‘an ditolak apabila diketahui bahwa
Az-Zuhriy ini tidak pernah bertemu atau mendengar riwayat dari syaikhnya
tersebut. Apabila diketahui bahwa Az-Zuhriy pernah bertemu atau mendengar
riwayat dari syaikh-nya, maka ‘an’anah Az-Zuhriy diterima.
Tidak ternukil
pernyataan dari kalangan mutaqaddimiin bahwa Az-Zuhriy melakukan tadlis dalam
makna khusus, bersamaan dengan kemasyhurannya di sisi ulama. Seandainya ia
memang suka menggugurkan perawi dan menyembunyikannya, niscaya akan ternukil
banyak perkataan tentang itu; sebagaimana hal itu terjadi pada para perawi yang
terkenal dengan sifat tadlis-nya (dengan makna khusus).
Adapun kritikan keras
yang teralamatkan kepada Az-Zuhriy dari mutaqaddimiin adalah dalam permasalahan
irsaal, sebagaimana dikatakan oleh Yahyaa bin Sa’iid, Ibnu Ma’iin, dan
Asy-Syaafi’iy. Bahkan Yahyaa bin Sa’iid mengatakan bahwa irsaal-nya Az-Zuhriy
lebih jelek dari irsal yang berasal selain dirinya [lihat selengkapnya dalam Syarh
‘Ilal At-Tirmidziy oleh Ibnu Rajab, 1/535]. Inilah yang masyhuur.
2. Para ulama dan
imam menerima ‘an’anah Az-Zuhriy dari syaikhnya, jika syaikhnya tersebut pernah
ia temui dan/atau dengar riwayatnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh
Al-‘Alaaiy rahimahullah :
ممد بن
شهاب الزهري الإمام العلم مشهور به ( أي بالتدليس ) وقد قبل الأئمة قوله (( عن ))
“Ibnu Syihaab
Az-Zuhriy, seorang imam, pemimpin, masyhuur dengannya (yaitu tadliis). Dan para
imam telah menerima perkataannya ‘an (dalam periwayatn hadits)” [Al-Jaami’ut-Tahshiil, hal. 109].
Perkataan di atas
juga diucapkan oleh Al-‘Iraaqiy dalam Al-Mudallisiin (hal. 90 no. 60) dan As-Sabth
Al-‘Ajamiy dalam At-Tabyiin li-Asmaail-Mudallisiin (hal. 50 no. 64).
Al-Bukhaariy dan
Muslim menerima ‘an’anah Az-Zuhriy dalam kitab Shahih-nya.
Adapun Adz-Dzahabiy rahimahullah
berkata :
محمد بن
مسلم الزهري الحافظ الحجة كان يدلس في النادر
“Muhammad bin Muslim
Az-Zuhriy, al-haafidh, al-hujjah, ia jarang melakukan tadliis” [Miizaanul-I’tidaal,
no. 8171].
Oleh karena itu,
pengelompokan Az-Zuhriy oleh Ibnu Hajar rahimahumallah dalam tingkatan ketiga
perawi mudallisiin tidaklah diterima.
[Silakan baca
pembahasan ‘an’anah Az-Zuhriy ini dalam kitab Riwaayaatul-Mudallisiin fii
Shahiih Al-Bukhaariy oleh Dr. ‘Awwaad Al-Khalaf hal. 226-227 dan Manhajul-Mutaqaddimiin
fit-Tadliis oleh Dr. Naashir Al-Fahd, 1/51-53].
3. Dalam sanad
Al-Firyaabiy dalam Ash-Shiyaam no. 166, Az-Zuhriy telah menyebutkan tashriih penyimakan
riwayatnya[14]
dari ‘Urwah bin Az-Zubair Al-Anshaariy.
4. Tidak ada satu pun
imam yang melemahkan riwayat/atsar ini, padahal riwayat atau atsar ini sangat
mayshur di kalangan mereka. Bahkan digunakan hujjah bagi mereka dalam beberapa
permasalahan.[15]
Kesimpulan : Riwayat/atsar ini shahih, dan
klaim akan kedla’ifannya adalah klaim yang mengada-ada.
Ini saja yang dapat
dituliskan. Semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[Sumber : http://abul-jauzaa.blogspot.com]
[1] Muhammad bin Muslim bin
‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Bakr
Al-Madaniy; seorang yang faqiih, haafidh, dan disepakati akan kebesaran dan ke-itqaan-annya.
Termasuk thaqabah ke-4, wafat tahun 125 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim,
Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [At-Taqriib, hal. 896
no. 6336].
[2] ‘Urwah bin Az-Zubair bin
Al-‘Awwaam bin Khuwailid Al-Qurasyiy Al-Asadiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy;
seorang yang tsiqah, faqiih, lagi masyhuur. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun
94 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy,
dan Ibnu Maajah [At-Taqriib, hal. 674 no. 4594].
[3] ‘Abdurrahmaan bin ‘Abd
Al-Qaariy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-1, dikatakan pernah
melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, wafat tahun 88 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [At-Taqriib,
hal. 589 no. 3963].
[4] Syu’aib bin Abi Hamzah Diinaar
Al-Qurasyiy, Abu Bisyr Al-Himshiy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid, dan menurut
Ibnu Ma’iin : ‘Termasuk orang yang paling tsabt dalam hadits Az-Zuhriy’.
Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 162 H atau setelahnya. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [At-Taqriib,
hal. 437 no. 2813].
[5] Al-Laits bin Sa’d bin
‘Abdirrahmaan Al-Fuhmiy, Abul-Haarits Al-Mishriy; seorang yang tsiqah, tsabt, faqiih,
lagi imam. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 93/94 H, dan wafat tahun 175 H.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [At-Taqriib, hal. 817 no. 5720].
[6] Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy,
Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabt, lagi mempunyai keutamaan.
Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 96 H, dan wafat tahun 154 H. Dipakai oleh
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [At-Taqriib, hal. 961 no. 6857].
[7] ‘Abdurrahmaan bin ‘Amru bin
Abi ‘Amru Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy, Abu ‘Amru Al-Auzaa’iy; seorang yang tsiqah,
jaliil, lagi faqiih. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 157 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [At-Taqriib,
hal. 593 no. 3992].
[8] ‘Uqail bin Khaalid bin ‘Uqail
Al-Ailiy, Abu Khaalid Al-Umawiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah
ke-6, wafat tahun 144 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [At-Taqriib, hal. 687 no. 4699].
[9] Yuunus bin Yaziid bin
Abin-Najjaad Al-Ailiy, Abu Yaziid Al-Qurasyiy; seorang yang tsiqah, kecuali
dalam riwayat Az-Zuhriy terdapat sedikit wahm (keraguan). Termasuk thabaqah ke-7,
wafat tahun 159 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [At-Taqriib, hal. 1100 no. 7976].
[10] Muhammad bin Yuusuf bin
‘Abdillah bin Yaziid Al-Kindiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy Al-A’raj; seorang yang
tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-5, wafat tahun 140 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [At-Taqriib, hal. 911 no.
6454] .
[11] As-Saaib bin Yaziid bin Sa’iid
bin Tsumaamah bin Al-Aswad Al-Kindiy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Termasuk thabaqah ke-1, wafat tahun 91 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [At-Taqriib,
hal. 364 no. 2215].
وصفه
الشافعي والدارقطني وغير واحد بالتدليس
“Asy-Syaafi’iy,
Ad-Daaruquthniy, dan yang lainnya menyifatinya dengan tadliis” [Thabaqaatul-Mudallisiin
hal. 109 no. 102].
أن
يَرْوِيَ الراوي عمن قد سمع منه ما لم يسمع منه من غير أن يذكر سمعه منه.... ومعنى
هذا التعريف أن تدليس الإسناد أن يروي الراوي عن شيخ قد سَمِعَ منه بعض الأحاديث،
لكن هذا الحديث الذي دلسه لم يسمعه منه ، وإنما سمعه من شيخ آخر عنه ، فيٌسْقِطٌ
ذلك الشيخَ ويرويه عنه بلفظ محتمل للسماع وغيره ، كـ " قال " أو "
عن " ليوهم غيره أنه سمعه منه ، لكن لا يصرح بأنه سمع منه هذا الحديث فلا
يقول : " سمعت " أو " حدثني " حتى لا يصير كذاباً بذلك ، ثم
قد يكون الذي أسقطه واحداً أو أكثر
“Jika
si perawi meriwayatkan hadits yang tidak pernah ia dengar dari orang yang
pernah ia dengar haditsnya; tanpa menyebutkan bahwa perawi tersebut mendengar
hadits itu darinya….. Penjelasan definisi tadlis isnad ini adalah
bahwa seorang perawi meriwayatkan beberapa hadits yang ia dengar dari seorang syaikh (guru),
namun hadits yang ia tadlis-kan tidak pernah ia dengar dari gurunya itu.
Hadits itu ia dengar melalui (perantara) syaikh yang lain, dari syaikh-nya
yang pertama tadi.
Orang
tersebut (si mudallis) menggugurkan syaikh yang menjadi
perantara, dan kemudian ia (si mudallis) meriwayatkan darinya (syaikh yang
pertama) dengan lafadh yang mengandung kemungkinan mendengar (samaa’) atau yang
semisalnya; seperti lafadh قَالَ (telah berkata) atau عَنْ (dari) – agar orang lain menyangka bahwa ia telah
mendengar dari syaikh tersebut. Padahal tidak benar orang itu telah
mendengar hadits ini. Ia tidak mengatakan سَمِعْتُ (aku telah mendengar) atau حَدَّثَنِي (telah menceritakan kepadaku),
sehingga ia tidak bisa disebut sebagai pendusta atas perbuatan itu. Orang yang
ia gugurkan tadi bisa satu orang atau lebih” [Lihat : Taisiru
Mushthalahil-Hadiits oleh Dr. Mahmud Ath-Thahhaan hal. 62 dan Ta’riifu
Ahlit-Taqdiis bi-Maraatibil-Maushuufiina bit-Tadliis oleh Ibnu Hajar hal.
10, tahqiq : Dr. ‘Abdul-Ghaffaar Sulaiman & Muhammad bin Ahmad
‘Abdil-‘Aziiz].
“Telah
menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Utsmaan bin Katsiir bin Diinaar : Telah
menceritakan kepada kami Bisyr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari Az-Zuhriy, ia
berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair Al-Anshaariy……”
[15] Sungguh menakjubkan bagi saya
ketika membaca ‘dalih’ pelemahan atsar ‘Abdurrahmaan bin Abd Al-Qaariy :
Namun
hanya Ibnu Syihab azzuhri yang suka menyelinapkan perawi lemah yang menjelaskan
dan meriwayatkan hadis tentang sebaik – baik bid`ah adalah ini - salat taroweh
berjamaah. Seolah ada bid`ah yang baik, bukan semuanya sesat. Pada hal , kalau kita
katakan ada bid`ah yang baik akan bertentangan dengan banyak hadis sahih, bukan
lemah atau hasan .Jadi ini keganjilan yang nyata, bukan masalah biasa yang
samar.
Begitu
juga Abd Rahman al Qari perawi hadis tsb , wafat tahun 88 Hijriyah.Usianya 78 tahun.
Berarti dia lahir pada tahun sepuluh hijriyah.
Lantas
umar bin Khattah wafat pada tahun 23 H.[4] Ber arti ketika Umar wafat Abd Rahman bin Abd al qari ini
berumur 13 tahun . Lalu ketika dia di ajak Umar pergi ke masjid untuk melihat
sahabat menjalankan salat malam sendirian , berapakah usianya , tidak ada
keterangan ,pokoknya masih kecil sekali . Inilah yang membikin ganjil dalam
benak saya.
Tafarrud
periwayatan ‘Abdurrahmaan bin ‘Abd Al-Qaariy itu tidaklah dimulai dari
Az-Zuhriy, namun dimulai ‘Urwah bin Az-Zubair (yaitu, tidak ada yang
meriwayatkan atsar tersebut dari ‘Abdurrahmaan kecuali ‘Urwah bin Az-Zubair). Tafarrud
periwayatan shahabat oleh generasi tabi’iy tidaklah memudlaratkan sebagaimana
dimaklumi. Adapun riwayat ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu sendiri
diriwayatkan dari dua jalur sebagaimana telah disebutkan di atas.
Tidak
ada halangan akan usia ‘Abdurrahmaan bin ‘Abd Al-Qaariy dalam periwayatannya
dari ‘Umar. Ia seorang yang tsiqah yang menjelaskan kesaksiannya
periwayatannya. Riwayat perawi yang masih kecil yang kemudian ia sampaikan
ketika dewasa adalah diterima.
Dr.
Mahmud Ath-Thahhaan memberikan penjelasan sebagai berikut :
“Apakah
ada ketentuan umur tertentu bagi keshahihan penyimakan hadits seorang anak ?
Sebagian
ulama menentukan usia adalah mulai 5 tahun. Inilah yang ditetapkan oleh para
ahli hadits.
Sebagian
di antara mereka berkata : Yang benar adalah usia mumayyiz. Jika seorang
anak telah mengerti percakapan dan bisa menjawabnya, maka ia sudah mumayyiz dan
penyimakan haditsnya shahih. Jika hal itu tidak dijumpai pada seorang anak,
maka tidak shahih” [Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Dr. Mahmud
Ath-Thahhan, hal. 122].
Perlu
diketahui bahwa tidak dipersyaratkan usia baligh ketika
mendengarkan hadits. Namun yang dipersyaratkan usia baligh adalah ketika
menyampaikan, sebagaimana terdapat dalam banyak hadits [lihat Mabaahits
fii ‘Uluumil-Hadiits oleh Prof. Dr. Mannaa Al-Qaththan rahimahullah]. Contohnya
:
Dari
’Abdullah bin ’Abbas radliyallaahu ’anhuma ia berkata :
”Aku
pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah bin Al-Harits, istri Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam; dan ketika itu beliau berada di rumah bibi saya itu. Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam melakukan shalat ‘Isya’ (di masjid), kemudian beliau
pulang, lalu beliau mengerjakan shalat sunnah empat raka’at. Setelah itu beliau
tidur, lalu beliau bangun dan bertanya : “Apakah anak laki-laki itu (Ibnu
‘Abbas) sudah tidur ?” atau beliau mengucapkan kalimat yang semakna dengan itu.
Kemudian beliau berdiri untuk melakukan shalat, lalu aku berdiri di sebelah
kiri beliau untuk bermakmum. Akan tetapi kemudian beliau menjadikanku berposisi
di sebelah kanan beliau. Beliau shalat lima raka’at, kemudian shalat lagi dua
raka’at, kemudian beliau tidur. Aku mendengar suara dengkurannya yang
samar-samar. Tidak berapa lama kemudian beliau bangun, lalu pergi ke masjid
untuk melaksanakan shalat shubuh” [Muttafaqun ‘alaih].
Peristiwa
di atas dialami dan disaksikan ketika Ibnu ‘Abas radliyallaahu ‘anhuma masih
kecil. Terlihat dari pertanyaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits tersebut : “Apakah anak laki-laki itu (Ibnu ‘Abbas) sudah tidur ?”(نَامَ الْغُلَيِّمُ). Kemudian Ibnu ‘Abbas menyampaikannya apa
yang ia alami/saksikan tersebut ketika ia telah dewasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar