Kata-kata
yang sudah sangat masyhur dan telah dianggap berasal dari Umar bin Khottob dan
Imam Asy Syafi’i. Sebagaian orang lantas menyangka selama bid’ah itu baik, maka
tidaklah masalah diamalkan. Karena bid’ah menurutnya ada yang baik (bid’ah
hasanah) dan ada bid’ah yan jelek (bid’ah sayyi’ah). Lantas segala amalan pun
yang tanpa tuntunan cuma sekedar dibangun atas landasan niat baik menjadi
legal.
Khalifah ‘Umar dan Imam Syafi’i
Berbicara Mengenai Bid’ah Hasanah
‘Umar
bin Al Khottob radhiyallahu
‘anhu ketika menghidupkan shalat tarawih secara berjama’ah, beliau
berkata,
الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.[ HR. Bukhari no. 2010]
Imam
Syafi’i rahimahullah
berkata,
البدعة بدعتان: بدعة
محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة، فهو محمود، وما خالف السنة، فهو مذموم
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu
bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Jika suatu
amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan terpuji. Namun
jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela
Memahami Perkataan ‘Umar bin Khottob
tentang Shalat Tarawih
Mengenai
kisah keluarnya ucapan ‘Umar “sebaik-baik bid’ah adalah ini” dapat kita
saksikan pada hadits berikut ini.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي
رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي
الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ, وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ.
فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى
قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ, فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ.
قَالَ: ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ
قَارِئِهِمْ, فَقَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ, وَالَّتِي تَنَامُونَ
عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي تَقُومُونَ, يَعْنِي آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ
النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Dari
Abdurrahman bin Abdil Qaary katanya; aku
keluar bersama Umar bin Khatthab di bulan Ramadhan menuju masjid (Nabawi).
Sesampainya di sana, ternyata orang-orang sedang shalat secara terpencar; ada
orang yang shalat sendirian dan ada pula yang menjadi imam bagi sejumlah orang.
Maka Umar berkata: “Menurutku kalau mereka kukumpulkan pada satu imam
akan lebih baik…” maka ia pun mengumpulkan mereka –dalam
satu jama’ah– dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi
bersamanya di malam yang lain, dan ketika itu orang-orang sedang shalat bersama
imam mereka, maka Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, akan tetapi saat dimana
mereka tidur lebih baik dari pada saat dimana mereka shalat”,
maksudnya akhir malam lebih baik untuk shalat karena saat itu mereka shalatnya
di awal malam. [ HR. Malik]
Perkataan ‘Umar di atas disikapi
oleh Ibnu Rajab dengan pernyataan berikut,
“Adapun
perkataan ulama salaf yang menganggap adanya bid’ah yang baik, maka yang
dimaksudkan adalah bid’ah lughowi (bid’ah secara bahasa) dan bukan menurut
istilah syar’i. Contoh perkataan yang dimaksud adalah perkataan ‘Umar bin
Khottob ketika beliau mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan qiyam
Ramadhan (shalat tarawih) bersama dengan satu imam di masjid. Lantas ‘Umar
keluar dan melihat mereka shalat (dengan satu imam), lalu ia pun berkata,
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.
Diriwayatkan
bahwa Ka’ab bin Malik berkata pada ‘Umar, “Ini sebelumnya tidak ada”. “Aku
tahu. Akan tetapi perbuatan ini baik (hasan)”, jawab ‘Umar. Yang dimaksudkan
oleh ‘Umar bahwa shalat tarawih sebelumnya tidak dilakukan seperti itu
sebelumnya. Akan tetapi, ada landasan dalam syari’at mengenai hal ini di mana
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mendorong dan memotivasi untuk melaksanakan qiyam
Ramadhan.
Dahulu
di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, orang-orang melaksanakan shalat tarawih secara
jama’ah namun terpisah-pisah atau berkelompok-kelompok. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
shalat bersama para sahabat di bulan Ramadhan lebih dari semalam. Kemudian
beliau enggan melaksanakannya lagi karena khawatir shalat tarawih itu wajib.
Beliau pun tidak merutinkannya setelah itu. Namun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kekhawatiran tersebut sudah tidak ada. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendirikan shalat tarawih bersama para sahabatnya di malam ganjil di sepuluh
hari terakhir dari Ramadhan”.[ Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 128]
Ibnu
Rajab setelah itu mengatakan bahwa shalat tarawih yang dihidupkan kembali oleh
‘Umar tetap sah dan bukan bid’ah karena itu adalah bagian dari sunnah (ajaran)
khulafaur rosyidin al
mahdiyyin yang kita juga diperintahkan untuk mengikutinya. Ibnu
Rajab rahimahullah berkata,
“Alasan lain bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengikuti sunnah (ajaran) khulafaur rosyidin.
Bahkan shalat tarawih telah menjadi sunnah (ajaran) khulafaur rosyidin.
Manausia di masa ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali juga menghidupkannya secara
berjama’ah.”[ Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 129]
Dalil
bahwasanya kita diperintahkan mengikuti ajaran khulafaur rosyidin,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan
ajaranku dan ajaran kholifah yang diberi petunjuk dalam ilmu dan amal,
berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah (kuat-kuat) dengan gigi geraham
kalian”.[ HR. Abu Daud no. 4607]
Ibnu
Taimiyah berkata, “Perlu dipahami bahwa istilah bid’ah hasanah yang disebutkan
‘Umar hanyalah penyebutan bid’ah secara bahasa dan bukan istilah syari’at.
Karena bid’ah secara bahasa berarti setiap perbuatan yang diawali tanpa
ada contoh sebelumnya.” [ Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 1: 95]
Perkataan
bid’ah dengan artian bahasa -yaitu sesuatu yang baru- dikatakan pula oleh anak
‘Umar bin Khottob, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma. Yang namanya adzan pertama pada shalat Jum’at baru
dilakukan di masa ‘Utsman karena kebutuhan manusia akan hal itu. Dan amalan ini
diteruskan pula oleh ‘Ali bin Abi Tholib. Namun Ibnu ‘Umar lantas berkata,
“Huwa bid’ah (ini adalah bid’ah)”. Ibnu Rajab menerangkan maksud Ibnu ‘Umar,
“Sepertinya Ibnu ‘Umar ingin berkata seperti maksud ayahnya dalam masalah qiyam
Ramadhan (shalat tarawih).” [ Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 129]
Bagaimana bisa hadits
dipertentangkan dengan perkataan sahabat?
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat
sebagaimana sabdanya,
وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat?”
[ HR. Muslim no. 867]
Asy
Syathibi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan
keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu,
tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah hasanah.” Artinya
setiap bid’ah itu tercela, tidak ada yang hasanah.
Lalu bagaimana kita menyikapi
perkataan ‘Umar?
Taruhlah
kita setuju dengan perkataan ‘Umar bahwa ada bid’ah hasanah karena beliau telah
berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Maka cukup disanggah seperti kata
Ibnu Taimiyah, “Perkataan sahabat bukanlah argumen. Bagaimana perkataan sahabat
bisa sebagai alasan di saat bertentangan dengan sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Jika dengan perkataan sahabat saja tidak bisa
dipertentangkan dengan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lantas
bagaimana lagi dengan perkataan ulama yang berada di bawah sahabat?
Memahami Perkataan Imam Syafi’i
Ibnu
Taimiyah rahimahullah
dalam fatawanya menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i di atas seraya
berkata, “Apa saja yang menyelisihi dalil, maka itu adalah bid’ah berdasarkan
kesepakatan para ulama kaum muslimin. Dan apa yang tidak diketahui menyelisihi
dalil, maka tidak disebut bid’ah.
Imam
Syafi’i rahimahullah
menuturkan, “Bid’ah itu ada dua macam, yaitu bid’ah yang menyelisihi Al Qur’an,
As Sunnah, ijma’ dan atsar dari sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bid’ah seperti ini termasuk bid’ah dholalah (sesat). Sedangkan jika tidak
menyelisihi dalil-dalil tadi, maka ia termasuk bid’ah hasanah.” Karena
‘Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Perkataan semacam ini dan
semisalnya dikeluarkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih”.
Ibnu
Rajab Al Hambali rahimahullah
menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i mengenai bid’ah
hasanah (mahmudah) dan bid’ah madzmumah, “Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah
seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa bid’ah madzmumah (yang
tercela) adalah segala amalan yang tidak ada asalnya dalam syari’at yang
mendukungnya. Inilah bid’ah yang dimutlakkan dalam syari’at. Sedangkan bid’ah
yang terpuji (bid’ah hasanah, pen) adalah bid’ah yang bersesuaian dengan sunnah
(ajaran Rasul), yaitu yang memiliki asal dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
pendukung. Namun yang dimaksudkan dengan bid’ah hasanah di sini adalah bid’ah
secara bahasa dan bukan bid’ah menurut istilah syar’i karena bid’ah kedua ini
bersesuaian dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Ibnu
Rajab rahimahullah juga
menambahkan, “Telah diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i perkataan beliau yang
menafsirkan perkataan beliau di atas. Imam Syafi’i berkata,
والمحدثات ضربان : ما
أُحدِثَ مما يُخالف كتاباً ، أو سنةً ، أو أثراً ، أو إجماعاً ، فهذه البدعة
الضلال ، وما أُحدِث مِنَ الخير ، لا خِلافَ فيه لواحدٍ مِنْ هذا ، وهذه محدثة
غيرُ مذمومة
“Perkara
yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu pertaka yang dibuat-buat dan
menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk
bid’ah dholalah
(yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak
menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah) yang
tercela”.
Intinya
di sini, sahabat mulia seperti ‘Umar bin Khottob dan Imam Syafi’i bukanlah
orang yang begitu mudahnya melegalkan bid’ah. Dengan perkataan mereka berdua,
orang-orang beralasan adanya bid’ah yang hasanah sehingga acara bid’ah maulid,
selamatan kematian, yasinan, dan tahlilan sah-sah saja untuk dilegalkan. Karena
perbuatan-perbuatan tadi jelas baik menurut mereka. Sebagai penutup, kami ulas
sanggahan terakhir berikut ini bagi siapa saja yang beralasan dengan dua orang
terkemuka di atas.
Pertama: Secara jelas
Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat tanpa
ada pengecualian. Maka tidak bisa sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ini dipertentangkan dengan perkataan sahabat atau
perkataan imam madzhab. Sebagaimana kata Ibnu ‘Abbas dan Mujahid, lalu
perkataan ini masyhur diucapkan oleh Imam Malik, juga diucapkan oleh Imam
Ahmad,
ليس أحد إلا ويؤخذ من
رأيه ويترك ؛ ما خلا النبي
“Pendapat seseorang bisa diambil
atau ditinggalkan selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Kedua: Jika
seseorang merenungkan kembali perkataan Imam Syafi’i, “Bid’ah itu ada dua macam yaitu
bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Jika suatu
amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan terpuji. Namun
jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela”. Maksud
beliau di sini adalah jika suatu amalan tidak menyelisihi Al Qur’an dan As
Sunnah, maka itulah bid’ah hasanah (mahmudah) karena dalam perkataan beliau
dikaitkan dengan demikian. Jika tidak demikian maksudnya, apalah gunanya beliau
membuatkan kaitan setelah perkataannya. Setiap bid’ah yang menyelisihi syari’at
bertentangan dengan ayat yang menyatakan bahwa Islam telah sempurna,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu” (QS. Al Ma’idah: 3). Begitu pula
bid’ah yang tercela bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu
perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut
tertolak” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718).
Ibnu
Taimiyah berkata, “Setiap bid’ah bukan wajib dan bukan sunnah, maka ia termasuk
bid’ah sayyi’ah dan termasuk bid’ah dholalah (yang menyesatkan) menurut sepakat
para ulama. Siapa yang menyatakan bahwa sebagian bid’ah dengan bid’ah hasanah,
maka itu jika telah ada dalil syar’i yang mendukungnya yang menyatakan bahwa
amalan tersebut sunnah (dianjurkan). Jika bukan wajib dan bukan pula sunnah
(anjuran), maka tidak ada seorang ulama pun mengatakan amalan tersebut sebagai
hasanah (kebaikan) yang mendekatkan diri kepada Allah.”
Ketiga:
Sudah sangat ma’ruf bahwa Imam Syafi’i adalah orang yang paling semangat
dalam ittiba’ atau mengikuti petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan beliau juga adalah orang yang sangat keras
pada orang yang membantah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lihat saja perkataan beliau pada orang yang
menentang ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ar
Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam
Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya,
“Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau
berkata kepadanya,
أَيُّ سَمَاءٍ
تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ
وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ
“Langit mana yang akan
menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?”
[ Hilyatul Auliya’, 9: 107]
Jika
Imam Syafi’i bersikap keras dalam hal semacam ini, bagaimana mungkin kita
pahami bahwa perkataan beliau berseberangan dengan sabda Rasul –shallallahu
‘alaihi wa sallam-, “Kullu
bid’atin dholalah” (setiap bid’ah adalah sesat). Seharusnya kita
memposisikan dengan benar perkataan Imam Syafi’i, yaitu kita pahami dengan
pemahaman yang tidak bertentangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadinya
kita pahami bahwa maksud Imam Syafi’i adalah bid’ah secara bahasa. Hal yang
membuat kita seharusnya semakin husnuzhon
kepada Imam Syafi’i karena beliau pernah mengeluarkan perkataan-perkataan
seperti berikut ini,
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي
كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ
اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا
إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ
“Jika kalian mendapati dalam
kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan
dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan
jangan pedulikan ucapan orang.” [ Al Majmu’ syarh Al Muhadzdzab, 1: 63]
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ
النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ
“Setiap hadits yang diucapkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian
tak mendengarnya dariku.”
كُلُّ مَا قُلْتُ
فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُ قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيثُ
النَّبِيِّ أَوْلىَ فَلاَ تُقَلِّدُونِي
“Semua yang pernah kukatakan
jika ternyata berseberangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taqlid
kepadaku.”
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ
فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ
مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي
“Setiap masalah yang di sana ada
hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan
dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi
baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.”
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ
فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ
“Kalau ada hadits shahih, maka
itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke
(balik) tembok.”
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ
عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ
أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin sepakat bahwa
siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah
itu karena mengikuti pendapat siapa pun.”
Setelah
kita mengetahui pernyataan Imam Syafi’i bahwa perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
wajib didahulukan dari ucapan beliau, maka semestinya kita berbaik sangka
kepada beliau dengan mendudukkan ucapan beliau mengenai bid’ah tadi sebagai
bid’ah secara bahasa, –yaitu setiap hal baru– yang tidak ada kaitannya dengan
agama. Dengan demikian, antara ucapan Imam Syafi’i; “Bid’ah mahmudah dan madzmumah”
dan sabda Rasulullah; “setiap
bid’ah sesat” tidak akan bertabrakan.
[Sumber :
Rumayso.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar