Minggu, 19 Juli 2015

HADITS MASYHUR

Tidak ada komentar:


I. TA’RIF

Yang dimaksud dengan Hadits Masyhur, ialah : 

“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.” 

Menurut ulama fiqhi, Hadits Masyhur itu adalah muradlif dengan Hadits Mustafid. Sedang ulama yang lain membedakannya. Yakni, suatu hadits dikatakan dengan mustafid bila jumlah rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari thabaqah pertama sampai dengan thabaqah terakhir. Sedang Hadits Masyhur lebih umum daripada Hadits Mustafid. Yakni jumlah rawi-rawi dalam tiap-tiap thabaqah tidak harus selalu sama banyaknya, atau seimbang. 

Karena itu, dalam Hadits Masyhur, bisa terjadi jumlah rawi-rawinya dalam thabaqah pertama, sahabat, thabaqah kedua, tabi’i, thabaqah ketiga, tabi’ it-tabi’ in, dan thabaqah keempat, orang-orang setelah tabi’it-tabi’in, terdiri dari seorang saja, baru kemudian jumlah rawi-rawi dalam thabaqah kelima dan seterusnya banyak sekali. 

Misalnya Hadits Masyhur yang ditakhrijkan oleh Bukhari Muslim dari sahabat Ibnu Umar ra.: 

“Rasulullah saw bersabda : Hanya sahnya amal-amal itu dengan niat dan hanya bagi tiap-tiap orang itu memper0leh apa yang ia niatkan dan seterusnya.....”

Hadits tersebut pada thabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh sahahat Umar sendiri, pada thabaqah kedua hanya diriwayatkan oleh Alqamah sendiri, pada thabaqah ketiga hanya diriwayatkan oleh Ibnu Ibrahim At-Taimy sendiri dan pada thahaqah keempat hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Said sendiri. 

Dari Yahya bin Sa’id inilah hadits tersebut diriwayatkan oleh orang banyak. Ditinjau dari segi klasifikasi hadits Ahad yang lain, maka hadits Umar tersebut dapat juga dikatakan dengan Hadits Gharib pada awalnya, masyhur pada akhirnya. 

II. Macam-macam Hadits-Masyhur 

Istilah Masyhur yang diterapkan pada suatu hadits, kadang-kadang bukan untuk memberikan sifat-sifat hadits menurut ketetapan di atas, yakni banyaknya rawi yang meriwayatkan suatu hadits, tetapi diterapkan juga untuk memberikan sifat suatu hadits yang mempunyai ketenaran di kalangan para ahli ilmu tertentu atau di kalangan masyarakat ramai. Sehingga dengan demikian ada suatu hadits yang rawi-rawinya kurang dari tiga orang, bahkan ada hadits yang tidak berasal (bersanad) sama sekalipun, dapat dikatakan dengan Hadits Masyhur. 

Dari segi ini, maka Hadits Masyhur itu terbagi kepada: 

1. Masyhur di kalangan para Muhadditsin dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang umum)

2. Masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu misalnya hanya masyhur di kalangan ahli hadits saja, atau ahli fiqhi saja, atau ahli tasawuf saja, atau ahli nahwu saja, atau lain sebagainya. 

3. Masyhur di kalangan orang-orang umum saja. 

III. Contoh Hadits Masyhur yang pertama ialah : 

Rasulullah saw bersabda: “seorang Muslim itu ialah orang yang menyelamatkan sesama Muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya”

Di samping kedua imam hadits, yaitu Bukhari dan Muslim, para imam hadits seperti: Imam Abu Dawud, Imam An-Nasa’i, Imam At-Turmudzy dan Imam Ad-Darimy juga mentakhrijkan hadits tersebut dengan sanad yang berbeda-beda dalam kitab-kitab sunan mereka. 

Bukan saja para Muhadditsin sebagaimana dikemukakan di atas, akan tetapi para ulama ahli tashawuf, ahli fiqih, ahli akhlak dan bahkan orang umum sekalipun memasyhurkan hadits tersebut. 

Contoh hadits masyhur yang kedua, misalnya yang hanya masyhur pada kalangan Muhadditsin saja, seperti hadits Muttafaq alaih yang diriwayatkan oleh sahabat Anas r.a ujarnya: 

“Bahwa Rasulullah saw berkunut. sebulan lamanya setelah rukuk untuk (mendoakan) keluarga Ri’lin dan Dzakwan.” 

Kalau hadits tersebut kita ambil menurut pentakhrijan Imam Bukhari (Nomor 1). Maka Imam Bukhari menerima hadits tersebut melalui sanad-sanad: Ahmad bin Yunus, Zaidah, Sulaiman At-Taimy, Abi Mijlaz dan sahabat Anas bin Malik.

Sahabat Anas bin Malik tidak hanya meriwayatkan hadits itu kepada Abi Mijlaz saja. Beliau juga meriwayatkan kepada rawi-rawi tabi’i yang lain, yaitu Musa bin Anas dan Qatadah. 

Sulaiman At-Taimy yang menerima hadits dari Abi Mijlaz, meriwayatkan hadits itu tidak hanya kepada Zaidah sendiri, tetapi juga kepada Mu’tamir bin Sulaiman. 

Selanjutnya Mu’tamir meriwayatkannya kepada Abu Kuraib, Ubaidillah dan Ishak, yang ketiga orang ini adalah dijadikan sanad pertama oleh Imam Muslim, di antara sanad-sanad pertama beliau yang lain. 

Musa bin Anas dan Qatadah yang masing-masing menerima hadits dari Anas bin Malik meriwayatkan kepada Syu’bah, dan Syu’bah mewedarkan kepada Aswad bin amir. Selanjutnya Aswad bin amir mewedarkan kepada amr An-Naqid untuk diteruskan kepada Imam Muslim. (Periksa dalam bagan tersebut di atas, nomor: 1 1 - footnote). 

(Footnote) Gambar anak panah dalam skema dalam buku ini, jika: 

1. Menunjuk ke atas, maksudnya untuk menjelaskan sanad. Artinya hadits yang ditakhrijkan oleh pentakhrij itu bersanad pertama si Polan, sanad kedua si Polan dan seterusnya, sampai kepada sanad yang terakhir yakni sahabat

2. Menunjuk ke bawah maksudnya untuk menjelaskan rawi. Artinya hadits Rasulullah saw itu diriwayatkan oleh rawi pertama sahabat si Polan, rawi kedua tabi’i si Polan dan setrusnya sampai kepada rawi yang terakhir yang dijadikan sanad (pertama) juga oleh pentakhrijnya 

3. terdiri dart titik-titik maksudnya (rawi) tersebut tidak bersambung atau tidak saling bertemu satu sama lain. 

Ulama-ulama selain ahli hadits tidak banyak yang memasyhurkan hadits tersebut. Oleh karena hadits itu hanya masyhur di kalangan Muhadditsin saja. 

Contoh hadits yang masyhur di kalangan ulama fiqh saja, Seperti: 

“Tidak sah bershalat bagi orang yang berdekatan dengan mesjid, selain bershalat di dalam mesjid.” 

Para Muhadditsin tidak banyak meriwayatkan hadits ini, bahkan para hafidh mendla’ifkannya. Biarpun demikian keadaannya, para fuqaha tetap memasyhurkannya.
Contoh hadits masyhur yang hanya masyhur di kalangan para ahli ushul saja, seperti sabda Rasulullah saw: 

“Terangkat (dosa) dari umatku, kekeliruan, lupa dan perbuatnya yang mereka kerjakan karena terpaksa.” 

Ibnu Hibban dan sebagian ulama hadits yang lain menshahihkan hadits tersebut dengan mengadakan sedikit perubahan redaksinya, yakni: “Innallaha wadlaa ala ummati... dan seterusnya.” 

Para Muhadditsin yang meriwayatkan hadits itu tidak sebanyak para Ushuliyyin, yang boleh dikatakan hampir semuanya menukilnya dalam kitab-kitab mereka, yang dikemukakan sebagai dasar hukum (dalil) untuk menetapkan gugurnya dosa seorang mukallaf yang meninggalkan kewajiban karena keliru, lupa atau terpaksa. 

Contoh hadits masyhur yang ketiga, yakni yang hanya masyhur di kalangan orang awam saja, seperti hadits: 

“Bagi si peminta-minta itu ada hak, walaupun datang dengan kuda.” 

Dan hadits: 

“Hari raya kurbanmu itu adalah hari puasamu sekalian.” 

Kedua hadits di atas menurut Imam Ahmad bin Hanbal sangat tersiar di kalangan orang-orang awam dan tidak mempunyai dasar di dalam mencari i’tibarnya (menetapkan mutabi atau syahidnya suatu hadits yang diduga gharib). 

Sebagian ulama mengatakan bahwa pendapat yang demikian itu tidak benar kalau dikatakan berasal dari Imain Ahmad. Hadits yang pertama (lis Saili haqqun...) bersumber dari Al-Husain bin Ali dari ayahnya dari Ibnu abbas danAl-Harmas bin Ziyad dengan sanad-sanad yang Sebagiannya adalah jayyid. Dan Abu Dawud tidak memberikan komentar sedikit pun terhadap hadits itu. 

Demikian juga hadits: 

“Barang siapa menyakiti orang dziminy, maka sayalah lawannya nanti pada hari kiamat.” 

Menurut Imam Ahmad tidak mempunyai dasar untuk mencari i’tibarnya. Hadits ini juga didapatkan periwayatan yang serupa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, tetapi Abu Dawud juga diam, tidak memberikan penilaiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top