Jumat, 03 Juli 2015

KONTROVERSI PERNIKAHAN AISYAH

Tidak ada komentar:



Bismillahir Rahmanir Rahiim…

Sebelumnya MM mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada umat Islam seluruhnya, jika tulisan MM kali ini menyalahi pendapat-pendapat ulama yang keluasan ilmunya sudah tidak di ragukan lagi. Demi Allah, tidak bermaksud untuk melakukan penyesatan atau mementahkan pendapat beliau-beliau yang faqih, tapi anggaplah ini curahan hati seorang MM disebabkan oleh kebodohan dan lemahnya ilmu dalam diri MM pribadi.  

Munculnya tulisan ini bermula dari seringnya MM melihat orang-orang Non-Muslim yang mencela Rasulullah sebagai pribadi yang tidak ber-akhlak di sebabkan oleh perilaku beliau yang telah menikahi anak di bawah umur (Pedofilia). Padahal seperti kita tahu, bahwa Rasulullah adalah sebaik-baiknya makluk dan sebaik-baiknya akhlak sehingga menjadi teladan separuh penduduk bumi ini (Islam).

(Buat Sahabat Islamicca yang ingin membaca artikel ini secara offline, silakan klik tautan berikut : Download Kontroversi Pernikahan Aisyah)

Tulisan ini sudah berkali-kali MM renungkan, namun hasilnya tetap membuat MM sulit memahaminya. Kepada seluruh pembaca, mohon jangan dulu di debat sehingga selesai membacanya. Dan jika memiliki argumen lain, silakan di beritahukan kepada MM. Tentu argumen yang bukan asal-asalan. Mohon diperhatkan baik-baik apa yang MM tulis sambil tetap meminta petunjuk kepada Allah SWT.

Pernikahan Rasulullah dengan Aisyah yang kala itu konon masih berusia belia (6-9Thn) telah dijadikan senjata oleh musuh Islam untuk melemahkan ke-nabian Rasulullah. Juga sangat disayangkan, dari fihak Muslimpun seolah setuju dengan klaim orang-orang Non-Muslim tersebut meski dengan berbagai dalih yang mereka sendiri pun sulit untuk menerimanya karena merekapun sadar bahwa menikahi/menikahkan anak-anak itu tidak lazim bahkan mereka pun tidak sudi jika punya anak atau adik usia SD harus dinikahkan meski dengan alasan mendidik dan sebagainya. 

Kengototan Muslim ini disebabkan oleh adanya hadits-hadits (yang akan MM jelaskan dibawah) yang telah dihukumi SHAHIH oleh ulama-ulama hadits terdahulu, dan mereka berpendapat bahwa hadits-hadits yang sudah di shahihkan tersebut tidak bisa diganggu gugat kedudukannya sebagai hukum mutlak setelah Alqur’an, PADAHAL kalo mereka mau sedikit belajar Musthalahul Hadits (ilmu yang mempelajari Hadits) tentu pendapat tersebut akan mereka pikir-pikir lagi sebab dengan belajar ilmu itu kita akan dituntut netral untuk menelanjangi rawi, sanad, matan dan sebagainya sebelum menghukumi hadits tersebut shahih, dhaif atau maudhu meski hadits tersebut sudah di hukumi oleh para ahli hadits terdahulu.

Bukan maksud MM mau menyalahkan hadits-hadits yang sudah dianggap shahih oleh para ulama, tapi sebagai muslim yang bertasyakur atas nikmat akal yang diberikan Allah, apa salahnya kita gunakan untuk berpikir dan memikirkan segala sesuatu. Bahkan dalam Alqur’an Allah menyuruh kita berfikir, memikirkan menggunakan akal dan melakukan lawatan ke berbagai penjuru negeri demi untuk mendapatkan kebenaran yang lebih pasti.
Allah melarang kita taklid buta, melarang menuhankan ulama (Qs. At-Taubah:30) yang artinya apabila ulama mengharamkan dan menghalalkan sesuatu kita ikuti saja tanpa mau menganalisanya lebih mendalam (dengan akal kita sendiri tentunya). Dan Allah sangat marah pada orang-orang taklid yang tidak mau menggunakal akalnya: “dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya (Qs. Yunus : 100)

Buat yang terlanjur ngotot bahwa hadits tentang Aisyah nikah di usia 6 tahun adalah shahih, biasanya akan berdalil polos seperti :

** Jangan disamakan wanita 6 tahun zaman dulu dengan gadis 6 tahun zaman sekarang, karna kalo dulu.. bla… bla… Argumen ini jelas terkesan diada-ada, tanpa dalil dan sangat mudah dipatahkan sebab dengan gambaran hadits yang menceritakan bahwa Aisyah ketika itu bermain ayunan, bermain boneka, dll mengindikasikan bahwa usia gadis 6-9 tahun zaman dulu dan zaman sekarang, keadaan mental dan fisiknya SAMA SAJA.

** Wanita dianggap baligh jika ia sudah menstruasi yang biasanya hinggap mulai usia 9 tahun, jadi Aisyah dinikahi nabi 6 tahun tapi digauli 9 tahun bla… bla… bla…. Hal ini juga ganjil sebab ukuran baligh bukan pada Menstruasi-nya melainkan pada fungsinya akal. Lagipula tidak ada keterangan bahwa Aisyah sudah mengalami Haid pada usia 9 tahun. Dan tidak ada Nash yang mengatakan bahwa sudah mengalami haid adalah tolak ukur kedewasaan seseorang. Kalaupun ada, itu hanya sebatas pendapat saja (bukan hadits nabi), sementara kita tau kalau yang namanya pendapat itu relative (bisa benar, bisa salah). Dan rasanya terlalu “Menghina” jika ada seorang rasul yang diberi wahyu dan bimbingan Allah, menelanjangi dan meniduri anak-anak yang organ sexual-nya aja belum siap, Rahim-nya masih rawan, masih memeluk boneka ketika tidurnya dan belum mengerti apa itu seks dan untuk apa seks itu dilakukan.

Mari simak hadits berikut :

"Ibnu Abbas ditanya melalui sebuah surat "..... Kapankah seorang anak tidak lagi dikatakan yatim?", Maka Ibnu Abbas membalas surat tersebut demikian : "Demi Dzat yang memanjangkan umurku, ada orang yang telah tumbuh jenggotnya, namun dia masih lemah mengurus dirinya, lemah mengambil dirinya sendiri atau memberi kepada dirinya sendiri. Maka apabila dia sudah sanggup mengurus dirinya sendiri, mengambil apa yang baik bagi dirinya seperti halnya orang lain" (HR. Muslim, No. 3377)

Atau membalas : "Bahwa keyatiman belum terputus dari seorang anak yatim hingga dia baligh dan matang kecerdasannya [sanggup menurus dirinya sendiri]" (HR. Muslim, No. 3378)

Jika hadits tersebut di gabungkan, maka akan di dapat artian : Seorang Anak yatim tidak lagi di sebut yatim (anak-anak) apa bila dia telah baligh. Dan ukuran ke balighan bukan pada dia sudah menstruasi atau berjenggot, melainkan dia sudah matang pikirannya dan bisa mengurus dirinya sendiri. Allahu 'alam.

Sebenarnya Alqur’an sendiri sudah memberi arahan pada rasul mengenai wanita dan anak-anak sebagai berikut : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin…” (Qs. An-Nisa : 6)

Tidak mengerti apa-apa, masih bermain ayunan, bermain boneka-bonekaan dan organ seksual-nyapun belum siap untuk menerima nganu (apa ya namanya? Hehe…) adalah ciri-ciri bahwa ia belum cukup umur untuk kawin baik secara fisik maupun secara mental.

Lalu ayat lain mengatakan : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (Qs. An-Nisa : 4). Dan mahar atau mas kawin ini diberikan atas kesepakatan berdua seperti dijelaskan dalam Alqur’an : “…berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya…(Qs. An-Nisa : 24)

Pertanyaan sederhana muncul : Apakah anak-anak yang masih bermain boneka dan belum mengerti apa-apa bisa diajak dialog untuk membahas masalah mahar hingga dicapai sebuah kesepakatan bersama? Rasanya sulit dan itu mustahil, apalagi kalo kita melirik hadits seperti : “Sebaik-baik wanita ialah yang paling ringan mas kawinnya” (HR. Ath-Thabrani)

Tersirat jelas dalam hadits ini bahwa penentu mahar awal adalah wanita yang akan dinikahi, sementara laki-laki adalah penawarnya hingga jumlah dan bentuk mahar disetujui bersama setelah terjadinya tawar menawar antara si gadis dan si laki-laki (tidak ada keterangan bahwa penentu mahar adalah orangtua si gadis. Adapun laki-laki hanya bisa mengajukan mahar, tapi keputusan YA dan TIDAK-nya ada di tangan perempuan).

Lalu  Hadis riwayat Abu Hurairah ra : Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Seorang wanita janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai pertimbangan dan seorang gadis perawan tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuan. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, bagaimana tanda setujunya? Rasulullah saw. menjawab: Bila ia diam. (Shahih Muslim No.2543). 

Dalam hadits ini pun tersirat jelas bahwa seorang gadis yang akan dinikahi WAJIB diminta persetujuannya dulu. Persetujuan disini tentu bukan asal ngangguk, tapi atas dasar pertimbangan dari dirinya sendiri secara sehat dan waras mengenai untung ruginya jika ia menikah dengan lelaki itu.

Pertanyaan sederhana kembali muncul : “Bisakah anak yang masih bermain boneka dimintai persetujuannya untuk dinikahi sementara sebuah persetujuan hanya bisa diperoleh dari orang-orang yang akalnya berfungsi dengan baik (dewasa)”

Coba renungkan ayat ini : Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang PARA WANITA. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang ANAK ANAK yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu MENGURUS ANAK-ANAK secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya. (Qs. Anissa : 127)

Nabi telah dimintai fatwa oleh umatnya mengenai wanita dan anak-anak hingga turunlah ayat ini sebagai jawaban bahwa anak-anak yang masih dipandang lemah baik fisik dan akalnya agar diurus/dipelihara dengan adil BUKAN malah dinikahkan/dinikahi karena Allah tidak memfatwakan demikian kecuali sudah cukup umur seperti yang sudah MM katakan diatas tadi.” Jika kalimat “Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu MENGURUS ANAK-ANAK secara adil. Termasuk dengan cara menikahi/menikahkannya, tentu sahabat sudah berlomba menikahi/menikahkan anak-anak mereka.

Kemudian perhatikan kalimat : tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka. Ada kalimat ingin mengawini, namun konteks yang disebut BUKAN lagi “anak yatim” melainkan “wanita yatim”, tentu ini isyarat bahwa yang dinikahi itu haruslah dewasa.

Juga perhatikan ayat ini : “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (Qs. Al-Israa : 34)
Jika menikahi anak-anak dibolehkan oleh Allah, tentu memakan harta anak yatim menjadi sah-sah saja setelah dinikahi terlebih dahulu. Tapi kenyataannya Allah menyuruh kita agar sabar menunggu hingga ia dewasa dan cukup umur untuk kita Nikahi seperti yang tercantum dalam Qs. An-Nisa : 6 diatas.

Sebab salah satu hilangnya predikat "Yatim" adalah setelah dia menikah. Perhatikan hadits berikut :

Sesungguhnya terputusnya keyatiman adalah jika seseorang itu telah menikah dan telah matang kecerdasannya (dapat mengurus diri -red), dan dapat mempergunakan hartanya dengan semestinya (HR. Muslim, No. 3379)

Allahu ‘alam….

LOGIKA PRIBADI SEORANG MM: Sahabat adalah orang-orang yang senang melakukan perlombaan untuk berbuat kebaikan dan meniru-niru sikap dan sifat nabi. Bahkan setelah Rasul wafat, Abu Bakar bertanya kepada Aisyah : “Hal apakah yang pernah Rasulullah lakukan tapi belum pernah ayahmu ini lakukan?”, ini menyiratkan bahwa Abu Bakar ingin melakukan apapun yang pernah Rasulullah lakukan. TAPI SATU HAL… kenapa Abu Bakar tidak menikahi anak-anak yang bermain boneka dengan dalih untuk mendidiknya, mengurusnya dan memeliharanya seperti yang apolegetik muslim ucapkan ketika membela mati-matian usia 6 tahun Aisyah ketika menikah, jika memang Abu Bakar ingin melakukan semua apa yang dilakukan oleh Rasul semasa hidupnya? JIKA menikahi anak-anak yang bermain boneka suatu kebaikan, TENTU banyak sahabat yang melakukan atau minimalnya mereka menikahkan anak-anaknya yang sedang bermain boneka pada sahabat-sahabat lain yang shaleh atau MINIMALNYA justru mereka menawarkan pada nabi agar di nikahi sebagaimana nabi telah menikahi Aisyah kecil.

Adakah? Jika ada, siapa-siapa saja?

Ketika perang berkecamuk dan banyak wanita muslim menjadi janda dengan menanggung banyak anak, Rasulullah memberi contoh dengan menikahi ibunya BUKAN menikahi anak-nya yang masih seger dibanding ibunya agar bisa menanggung beban hidup mereka yang masih butuh bimbingan kedua orangtua. Alhasil, sahabatpun banyak yang mencontoh prilaku nabi yang ini dibanding menikahi anak-anak yang bermain boneka seolah cerita nabi menikahi anak-anak hanyalah dongeng belaka yang tidak pernah terjadi pada masa itu.

Seandainya menikahi anak-anak itu ada zaman Rasul dan Rasulpun salah satu dari orang yang menikahi anak-anak, Insya Allah.. sahabatpun banyak yang menikahi anak-anak karna selain lebih seger secara syahwat, mereka pun mendapat pahala dengan mendidik dan menanggung beban hidupnya.

Berikut, marilah kita perhatikan langsung hadits-hadits SHAHIH tentang usia pernikahan Aisyah yang MM ambil dari buku hadits ternama seperti sunan Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasa’i, dll (silakan klik http://www.lidwa.com dengan keyword “sembilan Tahun” buat yang tidak memiliki bukunya)

HADITS 1. Telah menceritakan kepadaku Farwah bin Abu Al Maghra' telah menceritakan kepada kami 'Ali bin Mushir dari Hisyam dari bapaknya (Urwah Bin Zubair) dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahiku saat aku berusia enam tahun, lalu kami tiba di Madinah dan singgah di kampung Bani Al harits bin Khazraj. Kemudian aku menderita demam hingga rambutku menjadi rontok. Setelah sembuh, rambutku tumbuh lebat sehingga melebihi bahu. Kemudian ibuku, Ummu Ruman datang menemuiku saat aku sedang berada dalam ayunan bersama teman-temanku. Ibuku berteriak memanggilku lalu aku datangi sementara aku tidak mengerti apa yang diinginkannya. Ibuku menggandeng tanganku lalu membawaku hingga sampai di depan pintu rumah. Aku masih dalam keadaan terengah-engah hingga aku menenangkan diri sendiri. Kemudian ibuku mengambil air lalu membasuhkannya ke muka dan kepalaku lalu dia memasukkan aku ke dalam rumah itu yang ternyata didalamnya ada para wanita Anshar. Mereka berkata; "Mudah-mudahan memperoleh kebaikan dan keberkahan dan dan mudah-mudahan mendapat nasib yang terbaik". Lalu ibuku menyerahkan aku kepada mereka. Mereka merapikan penampilanku. Dan tidak ada yang membuatku terkejut melainkan keceriaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Akhirnya mereka menyerahkan aku kepada beliau dimana saat itu usiaku sembilan tahun". [HR. Bukhari, No. 3605]

CATATAN : Melihat redaksi hadits ini jelas terlihat bahwa Aisyah pada waktu itu digambarkan masih sangat kecil dan belum mengerti apa-apa layaknya anak-anak usia 9 tahun yang duduk di kelas 2-3 SD sekarang ini. Jangankan dia mengerti urusan rumah tangga apalagi urusan kasur, melihat Rasul tersenyumpun dia terkejut dan mungkin saja merasa heran sebab tidak memahami maksudnya, padahal Rasul sudah menikahi 3 Tahun lalu ketika usianya 6 tahun. Tentu hal ini menjadi sangat aneh jika seorang nabi mengambil seorang Ummu mukminin (yang punya tugas berat mendampingi nabi berdakwah) dari seorang perempuan yang masih bermain boneka sementara beliau membutuhkan sosok seperti isteri terdahulunya “Khadijah” yang bisa dijadikan sandaran saat ia berkeluh kesah menghadapi medan dakwah yang sangat sulit dan menguras airmata.

Tidak ada hadits/riwayat bahwa anak-anak Rasul dan sahabatnya merasa keberatan dengan pilihan aneh nabi ini, seolah menikahi anak-anak adalah hal biasa dikalangan bangsa arab waktu itu. Tapi sayang, selain Rasulullah tidak ada oranglain baik sahabat maupun musyrik yang diceritakan memiliki isteri seorang anak-anak yang masih bermain boneka. Mereka (musyrik) malah lebih suka menguburkan anak wanita hidup-hidup ketimbang menikahkannya dengan orang dewasa.
                                                                                
Coba perhatikan kalimat : “Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahiku saat aku berusia enam tahun, lalu kami tiba di Madinah”

Dari kalimat ini bisa disimpulkan bahwa nabi menikahi Aisyah di Mekah lalu melakukan Hijrah ke Madinah bersama-sama dengan nabi ketika usianya 9 tahun (lihat ujung hadits tersebut yang berwarna hijau). PADAHAL nabi berhijrah hanya ditemani oleh Abu Bakar dan Aisyah berhijrah sesaat setelah Abu Bakar berada di Madinah (cerita selengkapany akan dibahas di depan).

Coba bandingkan hadits No 2 dibawah yang juga derajatnya SHAHIH, riwayat Bukhari dan bersumber dari Urwah Bin Zubair


HADITS 2. Telah menceritakan kepadaku 'Ubaid bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari bapaknya (Urwah Bin Zubair) berkata; "Khadijah Radiallahu 'anha meninggal dunia sebelum hijrah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ke Madinah selang tiga tahun. Lalu beliau tinggal di Madinah dua tahun atau sekitar masa itu kemudian beliau menikahi 'Aisyah Radiallahu 'anha ketika dia berusia enam tahun. Kemudian tinggal bersamanya ketika dia berusia sembilan tahun". [HR. Bukhari, No. 3607]

CATATAN : Sepertinya Apologeter Muslim akan sangat kebingungan melihat kontradiksi hebat antara hadits No 1 dengan No. 2 ini. (Jika ada teman yang merasa mampu mentakhrij-nya atau menyelaraskannya, silakan di copy-paste di kolom komentar).

Pada hadits No.1 dikatakan : Aisyah hijrah ke Madinah PAS berusia 9 Tahun karna langsung diserahkan pada nabi ketika tiba di Madinah sesaat setelah ia sembuh dari sakit (Asiyah sakit selama sebulan, jadi tidak ada alasan hijrah 6 tahun dan sakit Aisyah 3 tahun = 9 tahun. lihat hadits NO. 10) sementara dalam hadits No.2 disebutkan bahwa Nabi menikahi Aisyah di Madinah pada tahun 2 setelah hijrah pada usia 6 tahun.

Jika benar Aisyah dinikahi usia 6 tahun oleh Rasulullah di Madinah pada tahun 2 Hijriah menurut hadits No 2, berarti Usia Aisyah ketika hijrah dari Mekkah ke Madinah adalah sekitar 4 tahun sebab menurut sebuah riwayat, Aisyah hijrah sesaat setelah Rasulullah dan Abu Bakar tiba di Madinah. Berikut sedikit kutipannya :

“Aisyah menceritakan : Ketika Rasulullah berhijrah, beliau meninggalkan semua anggota keluarganya di Mekah. Setelah beliau tiba di Madinah maka beliau mengutus Zaid Bin Haritsah dan Budaknya Abu Rafi (Untuk datang ke Mekah). Mereka diberi dua ekor unta dan uang lima ratus dirham yang beliau ambil dari Abu Bakar. Apabila diperlukan, uang itu dapat digunakan untuk membeli lagi binatang tunggangan. Abu Bakar juga mengutus Abdullah Bin Uraigith untuk ikut bersama keduanya dan menitipkan kepadanya dua atau tiga ekor unta. Selain itu Abu Bakar pun mengirimkan surat melalui ibn Uraigith agar diberikan pada Abdullah Bin Abu Bakar (Kakaknya Aisyah). Dalam surat itu dipesankan agar Ibu (Ummu Rumman), Aku (lebih tepat si pembicara/Aisyah dibanding ditujukan pada Abdullah Bin Abu Bakar) dan Asma (Kakaknya Aisyah) supaya menunggangi unta dan diantar ke Madinah…. (HR. Ibnu Abdul Bar dalam Al Isti’ab jilid IV halaman 450. HR. Zubair dalam Al-Ishabbah jilid IV halaman 450. Atau dalam buku Kehidupan Para Sahabat (jilid 1) karya Maulana Muhammad Yusuf Al-Khandalawi, penerbit : Pustaka Zaadul Ma’ad-Bandung, halaman : 426 dalam pasal “Hijrahnya keluarga Rasulullah dan keluarga Abu Bakar)

Lanjutan cerita diatas : Ketika kami sampai disuatu tempat yang bernama Baida, untaku lepas kendali dan lari, sedangkan aku bersama ibuku berada dalam sekedup. Dalam keadaan seperti itu ibuku menjerit : “Anakku, Anakku!!”. Namun ketika sampai Harsya, sebuah tempat dekat Juhfah, Zaid dapat menangkap untaku dan menenangkannya.

Al-Haitsami juga meriwayatkan kisah yang sama dari Aisyah, katanya : “Kami pergi berhijrah, diperjalanan kami melewati sebuah lembah yang berbahaya. Ketika kami hendak melewati lembah itu, maka unta yang kami tunggangi terlepas kendalinya. Demi Allah, aku tidak akan pernah lupa apa yang diucapkan ibuku pada waktu itu : “Wahai ‘urayyisah!! Unta kita lepas kendali!!. Pada saat itu aku mendengar seseorang berkata : “Lemparkan kendalinya dibawah!!”, maka akupun melemparkan kendalinya. Maka pada saat itu juga unta itu berhenti seperti ada seseorang yang memegang kendalinya dibawah (Majma’uz Zawa’id jilid IX halaman 227 atau buku Kehidupan Para Sahabat (jilid 1) karya Maulana Muhammad Yusuf Al-Khandalawi, penerbit : Pustaka Zaadul Ma’ad-Bandung, halaman : 427 dalam pasal “Hijrahnya keluarga Rasulullah dan keluarga Abu Bakar)

PERTANYAANNYA : “Mungkinkah anak berusia 4 tahun mampu melakukan hal diatas di situasi genting seperti itu? Bukankah menangis sambil terkencing-kencing lebih masuk akal dibanding menguasai keadaan dan melemparkan tali kekang pada si pengawal?

Perhatikan selalu tulisan yang saya beri warna kuning sebab itu kalimat penekanan yang akan saya jelaskan. Disitu diceritakan bahwa Aisyah yang berusia 4 tahun menaiki unta bersama ibunya, Ummu Ruman. Dan lihatlah Ummu Ruman yang berteriak-teriak panik, berbeda terbalik dengan sikap Aisyah yang meski panik tapi mampu menguasai keadaan sehingga ia bisa mendengar suara Zaid yang meminta agar penghuni sekedup melemparkan tali kekang ke arahnya. Lalu Aisyah berhasil melakukannya.

Seandainya ketika itu usia Aisyah 9 Tahun (merujuk hadits Nomor 1) maka dia tetaplah anak-anak yang masih bermain boneka, dan tidak akan bisa setenang itu menghadapi amukan unta di lembah Baida. Dan dari kejadian ini bisa disimpulkan bahwa ketika itu Aisyah bukanlah seorang anak kecil, tapi beliau adalah seorang dewasa.

HADITS 3. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Hisyam dari bapaknya (Urwah Bin Zubair) dari Aisyah radliallahu 'anha, bahwasanya; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahinya saat ia berumur enam tahun, dan ia digauli saat berumur sembilan tahun. Dan Aisyah hidup bersama dengan beliau selama sembilan tahun. (HR. Bukhari No. 4738)

HADITS 4. Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, serta Abu Kamil, mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya (Urwah bin Zubair) dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahiku sementara aku berumur tujuh tahun. Sulaiman berkata; atau enam tahun, dan beliau bercampur denganku sementara aku berumur sembilan tahun. (Abu Daud 1811)

HADITS 5. Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad. (dalam jalur lain disebutkan) telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Khalid berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Urwah dari Bapaknya (Urwah bin Zubair) dari 'Aisyah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahiku saat umurku tujuh atau enam tahun. Ketika kami tiba di Madinah, maka datanglah beberapa kaum wanita. Bisyr bin Khalid menyebutkan : "lalu Ummu Rumman menghampiriku saat aku ada di ayunan. Mereka kemudian membawaku, lalu merias dan mengurusku. Setelah itu aku dibawa ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau hidup bersama denganku saat aku berumur sembilan tahun. Ummu Rumman berdiri bersamaku di depan pintu, hingga aku pun berkata, 'Hah.. hah.. (kalimat yang diucapkan seorang yang gugup hingga bisa tenang) aku lalu dimasukkan ke dalam rumah, dan ternyata di dalam telah banyak para wanita Anshar. Mereka berkata, "Semoga membawa kebaikan dan keberkahan." (Lafadz) Hadits keduanya -Musa bin Isma'il dan Bisyr bin Khalid- kadang ada yang sama." 

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'id berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah seperti hadits tersebut. Ia berkata, "Semoga membawa kebaikan." Ummu Rumman kemudian menyerahkan aku kepada wanita-wanita itu, mereka lalu mengkramasi kepalaku dan meriasku. Dan tidak ada yang membuatku kaget kecuali saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang di waktu dhuha, mereka kemudian menyerahkan aku kepada beliau."

HADITS 6. Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Adam dari 'Abdah dari Hisyam dari Ayahnya (Urwah Bin Zubair) dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahiku sedang saya berumur sembilan tahun, dan saya masih bermain dengan anak-anak sebaya.

PERHATIKAN baik-baik hadits No 3-6 ini. Meski semuanya 1 sumber (Urwah Bin Zubair) tapi TIDAK KOMPAK ketika menyebut usia pas ketika Aisyah menikah, seolah perawi ragu, lupa dan tidak kuat ingatannya ketika menyampaikan cerita ini. Tidak ada manipulasi ketika MM menulis catatan ini, pembaca bisa melakukan Ricek langsung hadits-hadits tersebut di http://www.lidwa.com dengan keyword pencarian : “Sembilan Tahun”

HADITS 7. Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin An Nadhr bin Musar, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ja'far bin Sulaiman dari Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya (Urwah Bin Zubair) dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahiku pada umur tujuh tahun dan membangun rumah tangga denganku pada umur sembilan tahun.

HADITS 8. Telah menceritakan kepada kami Mu'alla bin Asad Telah menceritakan kepada kami Wuhaib dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya (Urwah Bin Zubair) dari Aisyah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahinya saat itu berusia enam tahun, dan mulai menggaulinya saat ia berumur sembilan tahun. Hisyam berkata; Dan telah diberitakan kepadaku bahwa Aisyah hidup bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selama sembilan tahun. (HR. Bukhari No 4739)

HADITS 9. Telah menceritakan kepada kami Qabishah bin Utbah Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Hisyam bin Urwah dari Urwah Bin Zubair bahwasnya; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahi Aisyah saat ia berumur enam tahun, kemudian beliau hidup bersama dengannya (menggaulinya) saat berumur sembilan tahun. Dan Aisyah hidup bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga selama sembilan tahun."

HADITS 10. Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al 'Ala` telah menceritakan kepada kami Abu Usamah. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dia berkata; Saya mendapatkan dalam kitabku dari Abu Usamah dari Hisyam dari ayahnya (Urwah bin Zubair) dari 'Aisyah dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahiku waktu saya berumur enam tahun, dan memboyongku (membina rumah tangga denganku) ketika saya berusia sembilan tahun." 'Aisyah berkata; "Sesampainya di Madinah, saya jatuh sakit selama sebulan, hingga rambutku pada rontok. setelah sembuh, Ummu Ruman mendatangiku, ketika itu saya sedang bermain-main bersama kawan-kawanku, lantas dia memanggilku, dan saya mendatanginya, namun saya tidak tahu apa yang dia inginkan dariku, kemudian dia memegang tanganku dan membawaku sampai ke pintu rumah, (saya terengah-engah) sambil menarik nafas; hah…hah… sehingga nafasku lega kembali. Kamudian saya dibawa masuk kedalam rumah, tiba-tiba di sana telah menunggu beberapa wanita Anshar. Mereka mengucapkan selamat dan kebaikan kepadaku, lantas Ummu Ruman menyerahkanku kepada mereka, akhirnya mereka membersihkan kepalaku dan mendandaniku, pada waktu dluha, betapa terkejutnya saya ketika melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam muncul di tempat kami, kemudian mereka menyerahkanku kepada beliau." (Muslim 2457)

HADITS 11. Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Hisyam bin 'Urwah. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair sedangkan lafazhnya dari dia, telah menceritakan kepada kami 'Abdah yaitu Ibnu Sulaiman dari Hisyam dari ayahnya (Urwah Bin Zubair) dari 'Aisyah dia berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahiku ketika saya berumur enam tahun, dan beliau memboyongku (membina rumah tangga denganku) ketika saya berumur sembilan tahun."

HADITS 12. Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, Ishaq bin Ibrahim, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib. Yahya dan Ishaq mengatakan; Telah mengabarkan kepada kami, sedangkan yang dua mengatakan; Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Al A'masy dari Ibrahim dari Al Aswad (Orang kufah) dari 'Aisyah dia berkata : “bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahinya ketika dia berusia enam tahun dan berumah tangga dengannya ketika berusia sembilan tahun dan tatkala beliau wafat dia berusia delapan belas tahun."

CATATAN : Ini hadits satu-satunya yang TIDAK bermuara pada Urwah bin Zubair (Ayahnya Hisyam). Kejanggalannya : Al-Aswad dan perawi seterusnya adalah orang Kuffah yang kecil kemungkinan mendengar langsung dari Aisyah, namun besar kemungkinan iapun mendengarnya dari Urwah bin Zubair. Coba saja kita perhatikan gaya penuturan-nya yang memakai kata ganti kedua (Dia) untuk Aisyah. Padahal yang pas sbb : Aisyah berkata : “bahwa Rasul saw menikahi-KU” sebagai bentuk pendengar langsung. Jika menggunakan kata “DIA”, jelaslah Al Aswad mendengarnya dari oranglain.

HADITS 13. Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad berkata, telah mengabarkan kepada kami Hisyam bin Urwah dari Urwah Bin Zubair dari 'Aisyah radliallahu 'anha ia berkata, "Ketika kami datang ke Madinah, sekelompok wanita mendatangiku saat aku sedang bermain-main di ayunan. Aku adalah seorang wanita yang rambutnya lebat, mereka kemudian membawaku; mengurus dan meriasku. Setelah itu mereka membawaku kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka beliau hidup berumah tangga dengaku saat aku berumur sembilan tahun." Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Khalid berkata, telah mengabarkan kepada kami Abu Usamah berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Urwah dengan sanadnya dalam hadits ini, Aisyah berkata, "Saat aku dan beberapa sahabatku berada di ayunan. Mereka membawa dan memasukkan aku ke dalam rumah, dan ternyata di dalamnya telah banyak wanita Anshar. Mereka mengatakan, "Semoga membawa kebaikan dan keberkahan." Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Mu'adz berkata, telah menceritakan kepada kami Bapakku berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad -maksudnya Muhammad bin Amru- dari Yahya -maksudnya Yahya bin 'Abdurrahman bin Hathib ia berkata, "'Aisyah radliallahu 'anha berkata, "Kami lalu tiba di Madinah, maka kami pun singgah di bani Al Harits Ibnul Khazraj." 'Aisyah melanjutkan, "Demi Allah, ketika aku sedang berada di ayunan yang terpasang di antara dua pohon, ibuku datang dan menurunkan aku dari ayunan. Dan aku adalah wanita yang mempunyai rambut lebat…. lalu (perawi mengkisahkan Al hadits)." 4286

HADITS 14. Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, ia berkata; telah memberitakan kepada kami Abu Mu'awiyah, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya (Urwah Bin Zubair) dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahinya sedang ia berumur enam tahun dan membangun rumah tangga dengannya sedang ia berumur sembilan tahun. (Nasa'i 3202)

TANGGAPAN MM

1. SUMBER HADITS

Coba perhatikan baik-baik huruf berwarna kuning yang dicetak tebal, Maka akan timbul pertanyaan : “Kenapa seluruh hadits tentang pernikahan Aisyah yang berusia 6 tahun ini HANYA memiliki sumber dari URWAH BIN ZUBAIR? Kenapa sahabat-sahabat lain tidak ada yang meriwayatkannya padahal sahabat nabi yang meriwayatkan hadits jumlahnya sangat banyak seperti : Abu Hurairah, Anas Bin Malik, Ibnu Umar, dll? Coba juga kita lihat asal kota para periwayat hadits setelah Urwah Bin Zubair, maka kita dapati hampir seluruhnya orang Kuffah (Irak). (Silakan klik http://www.lidwa.com kalo nggak punya kitab lengkapnya buat ngeliat asal para perawi hadits-hadits ini).

Terlepas dari sebuah tanggapan yang mengatakan bahwa “Kuffah/Basrah adalah penduduk yang membenci keluarga Abu Bakar sehingga membuat cerita-cerita yang menjatuhkan martabat keluarga beliau termasuk Aisyah agar terlihat hina), namun kondisi satu kota ini menjadi tolak ukur juga untuk menentukan derajat sebuah hadits (dibahas selengkapnya di bawah)

2. Daftar as-sabiqun al-awwalun

https://id.wikipedia.org/wiki/Pemeluk_Islam_pertama
Ibnu Hisyam pernah menulis 40 nama as-sabiqun al-awwalun. Ia menulis Khadijah dalam nomor urut pertama, Asma' di nomor urut 18, dan Aisyah di nomor urut 19. Umar bin Khattab berada jauh di bawah Aisyah sebagai berikut:

Jika yang ditulis Ibnu Hisyam ini benar maka kita wajib merenung… sebab beliau-beliau ini masuk Islam pada tahun pertama kenabian atau 13 tahun sebelum hijriah. Aisyah binti Abu Bakar termasuk salah satunya. Berarti ketika Rasulullah diangkat sebagai Nabi, Aisyah telah lahir dan dan bisa mengucapkan dua kalimah syahadat. Jadi kemungkinan Aisyah hijrah ketika dewasa berumur belasan tahun dan tenang menghadapi unta yang mengamuk di lembah Baida, adalah sesuatu yang logis.

Kita pakai usia minimal 5th ketika Aisyah mengucapkan dua kalimah syahadat + 13th periode mekah = 18th ketika Aisyah hijrah ke Madinah.

3. Kisah hijrahnya Rasulullah

Aisyah menceritkan (dalam hadits panjang) : Biasanya Rasulullah berkunjung ke rumah Abu Bakar selalu pada waktu pagi dan sore (tanpa keterangan bahwa kedatangannya untuk mengunjungi Aisyah yang notabene isterinya sebagai indikasi bahwa ketika hijrah Rasul belum menikahinya). Tetapi pada waktu diperintahkan nabi untuk berhijrah beliau datang tengah hari…. Maka Abu Bakar mempersilakan nabi agar duduk diatas kasurnya sedang pada waktu itu tidak ada seorangpun disana kecuali Aisyah dan Asma (juga tanpa keterangan sebagai isterinya).

Rasulullah menyuruh kami berdua supaya keluar, lalu Abu Bakar menjawab : “Ya Rasulallah, mereka berdua adalah puteri saya (Abu Bakar tidak menyebut-nyebut bahwa Aisyah Isterimu), mereka tidak apa-apa tinggal disini (untuk mendengarkan obrolan nabi dan Abu Bakar)” (HR. Ibnu Ishaq atau dalam buku “Kehidupan Para Sahabat (jilid 1) karya Maulana Muhammad Yusuf Al-Khandalawi, penerbit : Pustaka Zaadul Ma’ad-Bandung, halaman : 392 dalam pasal “Persiapan Abu Bakar untuk perjalanan hijrah”)

** Dalam kurung adalah tambahan MM

Selayang pandang, sikap nabi yang menyuruh Asma dan Aisyah keluar kamar karna beliau tidak ingin obrolannya terdengar oleh mereka yang dewasa, juga pembelaan Abu Bakar pada puteri-puterinya mengesankan bahwa Rasul belum menikahi Aisyah waktu itu, padahal kedatangan beliau kali ini untuk mengabarkan bahwa perintah Hijrah jadi sepantasnya nabi datang dan bicara di depan mertua dan isterinya mengenai hal-hal apa saja yang akan mereka kerjakan.

4. Kisah hijrahnya Abu Bakar ke Habasyah

Aisyah menceritakan : Sebelum aku dewasa, kedua orangtuaku telah memeluk Islam, dan setiap hari keduanya datang ke rumah Rasulullah. Ketika kaum Muslimin mendapat siksaan lebih keras lagi dari kaum musyrikin Quraisy, maka Abu Bakar berhijrah ke Habasyah…. (Kehidupan Para Sahabat (jilid 1) karya Maulana Muhammad Yusuf Al-Khandalawi, penerbit : Pustaka Zaadul Ma’ad-Bandung, halaman : 331 dalam pasal “Ujian berat bagi kaum Muslim, Hijrahnya Abu Bakar ke Habasyah dan kisahnya bersama Ibnu Daghinah”) atau (dalam kitab Al-Bidayah jilid III halaman 94) atau Kitab Shahih Bukhari No 2134 http://www.lidwa.com

Hal ini bisa diartikan bahwa ketika Abu Bakar dan isterinya masuk islam, Aisyah waktu itu masih berusia kanak-kanak tapi sudah mampu mengingat kejadian di sekelilingnya. Taro-lah sebelum aku (Aisyah) dewasa disitu adalah berusia 5 tahun (batas minimal yang ditetapkan jumhur ulama hadits untuk menerima sebuah periwayatan sebab pada usia ini anak-anak mulai Tamyiz dan mengingat beberapa peristiwa meski belum utuh ingatannya– Ikhtisar Musthalahul hadits halaman : 241). Jika dikalkulasi usia Aisyah waktu itu (5th) dengan periode mekah (13th) maka akan di dapat jumlah 5+13 = 18 tahun ketika usia Aisyah hijrah.

Sejak masuknya Abu Bakar ke dalam Islam (pada 13 sebelum tahun Hijrah = 610 M), lalu beliau berniat hijrah ke Habasyah (615 M), maka ketika itu usia Aisyah adalah 10 tahun (5th usia Aisyah + 5th sejak Abu Bakar menerima Islam = 10th). Berarti, Usia Aisyah ketika hijrah ke Madinah adalah 18th (10th usia Aisyah ketika ayahnya ke Habasyah + 8th sebelum hijrah ke Madinah = 18th)

Itu baru perhitungan minimal, belum lagi kalo kita hitung dari usia 6-14th, tentu usia Aisyah akan lebih tua lagi ketika beliau hijrah ke Madinah.

Usia yang sangat masuk akal ketika Aisyah hijrah dan tenang ketika menghadapi amukan unta di lembah Baida ketika ia dan keluarganya hijrah ke Madinah seperti yang MM ceritakan diatas.

5. AISYAH IKUT PERANG

Anas r.a. berkata: “Ketika perang Uhud dan kaum muslimin banyak yang melarikan diri dari Nabi saw… aku telah melihat A'isyah binti Abubakar dan Um Sulaim menyingsingkan kain sehingga aku melihat binggel di betisnya. Keduanya memikul tempat air di atas punggungnya untuk memberi minum kepada orang-orang yang luka-luka, kemudian pergi lagi untuk mengisi dan kembali memberi minum kepada orang-orang yang menderita… (HR. Bukhari, Muslim dalam kitab Al-Lu’lu Wal Marjan No. 1187, Bab : Perang wanita bersama laki-laki)

Sejarah mencatat bahwa perang Uhud terjadi pada tahun 3 H.

Jika kita menggunakan acuan hadits No. 1 yaitu usia 9th ketika Aisyah sampai di Madinah, maka ketika terjadi perang Uhud, Usia Aisyah adalah 11th. Pertanyaan-nya, apakah boleh anak berusia 11th ikut terjun dalam peperangan?

Jika memakai patokan hadits No.2 bahwa tahun 2 H nabi menikahi Aisyah 6th , maka tahun 3 H usia Aisyah adalah 7th

Hadis riwayat Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah saw. menguji kemampuanku berperang pada hari perang Uhud, ketika aku berusia empat belas tahun, lalu beliau tidak mengizinkanku. Dan beliau mengujiku kembali pada hari perang Khandaq ketika aku berusia lima belas tahun, lalu beliau mengizinkan aku. (Shahih Muslim No.3473)

Jika usia 14 tahun saja tidak diizinkan ikut ke medan Uhud, lalu bagaimana dengan Aisyah yang berusia 11th?

Kecuali jika Aisyah hijrah pada usia 18th + 3th peristiwa uhud = 21th usianya ketika ikut perang Uhud, maka ini lebih masuk akal.

MENURUT MUSHTHALAHUL HADITS

Tanpa tipuan yang malah menyesatkan aqidah teman Muslim, MM sudah menulis 14 hadits tentang hal ini lengkap dengan nama perawinya yang secara lengkap bisa teman lihat di http://www.lidwa.com dengan keyword “sembilan tahun”. Dan hasilnya, ke-14 hadits terkenal ini hanya bersumber dari 1 orang saja yaitu Urwah Bin Zubair lalu diterima oleh-oleh orang-orang Kuffah dan Basrah hingga sampailah di tangan Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’I seperti yang kita lihat sekarang ini di kitab-kitab shahih mereka.

Setelah MM membolak-balikan buku Musthahalul hadits (untuk mencari kira-kira kategori hadits manakah yang paling cocok dengan hadits yang ciri-cirinya seperti tadi), MM merasa condong kepada pengertian HADITS GHARIB yaitu : “Hadits yang dalam periwayatannya terdapat seseorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi” (Dan Urwah Bin Zubair adalah rawi yang menyendiri dalam meriwayatkan hadits-hadits tadi, dimanapun sanad itu terjadi)

Penyendirian rawi dalam meriwayatkan hadits itu dapat mengenai personalianya, yakni tidak ada oranglain yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan si perawi, artinya sifat atau keadaan si perawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan hadits tersebut (Buku : Ikhtisar Musthalahul Hadits, karya : Drs. Fatchur Rahman, Terbitan : Al-Ma’rif-Bandung, Tahun : 1978, Halaman : 97 tentang Hadits Gharib)

Nama kota asal perawipun ternyata pengaruh terhadap kedudukan suatu hadits, dimana jika hadits tersebut diriwayatkan oleh orang-orang satu kota saja maka hal inipun bisa dikategorikan sebagai HADITS GHARIB. Dan sudah MM jelaskan bahwa perawi-perawi setelah nama Urwah Bin Hisyam adalah orang-orang Kuffah/Basrah saja (Irak) ((Buku : Ikhtisar Musthalahul Hadits, karya : Drs. Fatchur Rahman, Terbitan : Al-Ma’rif-Bandung, Tahun : 1978, Halaman : 100, pasal : tentang kota atau tempat tinggal tertentu).

MM tidak melihat kategori lebih cocok untuk hadits-hadits tersebut (setelah di teliti) selain kategori HADITS GHARIB ini. Sementara ahli hadits menilai hadits Gharib sebagai berikut :

1. Tidak semua hadits gharib adalah dhaif, ia akan jadi shahih apabila memenuhi syarat-syarat yang dapat diterima dan tidak bertentangan dengan hadits yang lebih Rajih. Hanya saja pada umumnya hadits Gharib itu adalah Dhaif dan kalaupun ada yang shahih, jumlahnya sedikit sekali

2. Menurut Imam malik, bahwa sejelek-jeleknya ilmu hadits itu ialah yang gharib dan yang sebaik-baiknya adalah yang jelas serta ditenarkan (diriwayatkan) oleh banyak masyarakat.

3. Ali bin Al-Husain berpendapat bahwa yang dikatakan hadits yang baik ialah yang dikenal dan dipopulerkan oleh banyak orang.

4. Imam Ahmad bin Hanbal melarang seseoraang mencatat hadits-hadits gharib seperti yang dikatakannya : “Janganlah kamu mencatat hadits-hadits gharib, lantaran hadits gharib itu munkar-munkar dan pada umumnya berasal dari orang-orang yang lemah” (Syarah Alfiyah, Muhyi’ddin abdul Hamid, halaman : 99) atau ((Buku : Ikhtisar Musthalahul Hadits, karya : Drs. Fatchur Rahman, Terbitan : Al-Ma’rif-Bandung, Tahun : 1978, Halaman : 111, pasal : III. Ketentuan umum hadits Ahad).

Dan dari sebuah situs MM dapatkan bahwa ‘Urwah Bin Zubair meriwayatkan hadits-hadits diatas setelah beliau pindah ke Irak ketika usia-nya menjelang 71th. Mengenai Hisyam ini, Ya’qub bin Syaibah berkata: “Apa yang dituturkan oleh Hisyam sangat terpercaya, kecuali yang disebutkannya tatkala ia sudah pindah ke Irak.” 

Syaibah menambahkan, bahwa Malik bin Anas menolak penuturan Hisyam yang dilaporkan oleh penduduk Irak. (Ibn Hajar Al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib. Dar Ihya al-Turats al-Islami, Jilid II, hal. 50) Termaktub pula dalam buku tentang sketsa kehidupan para perawi Hadits, bahwa tatkala Hisyam berusia lanjut ingatannya sangat menurun (Al-Maktabah Al-Athriyah, Jilid 4, hal. 301). ** Dalam hal ini MM belum melihat langsung dari buku-buku yang dimaksud, jadi jika ada teman yang punya buku-nya… silakan di-share disini untuk menguatkan keterangan ini **

MASIH PERLU BUKTI KONKRIT

Argumen-argumen dibawah ini MM ambil dari situs Kompasiana, Qanzulqalam dan beberapa situs lain yang mungkin hasil dari penelitian seseorang (situs menyebut : Hz. Maulana Habibur Rahman Siddiqui Al-Kandahlawi, sebagai sumber yang meneliti dan mentahqiq hadits tentang usia Aisyah dan membukukannya) Sayang MM nggak punya buku-buku yang dimaksud sehingga nggak bisa membuktikannya lebih dalam. MM tulis disini, barangkali ada temen yang punya bukunya dan bersedia menuliskannya untuk jadi bukti selanjutnya.

1. Menurut At-Thabari, keempat anak Abu Bakar ra. dilahirkan oleh isterinya pada zaman Jahiliyah (artinya sebelum nabi diangkat sebagai rasul pada tahun 610 M)

Dalam hal ini, situs tersebut tidak menyebutkan nama buku yang ditulis oleh At-Thabari. Tapi minimalnya pengakuan ini senada dengan pendapat ibn Hisyam yang menempatkan Aisyah pada No. 19 sebagai orang yang mula-mula masuk Islam. Juga senada dengan hadits yang mengatakan bahwa dirinya (Aisyah) belum dewasa ketika orangtuanya masuk Islam.

2. Menurut Abdurrahman ibn Abi Zannad : “Asma 10 tahun lebih tua dari Aisyah ra.” (At-Thabari, Tarikh Al-Mamluk, Jilid 4, hal. 50). Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, Asma hidup hingga usia 100 tahun dan meninggal tahun 73 atau 74 Hijriyah (Al-Asqalani, Taqrib al-Tahzib, hal. 654).

Artinya, apabila Asma meninggal dalam usia 100 tahun pada tahun 73 atau 74 Hijriyah, maka Asma berumur 27-28 tahun pada waktu Hijrah, sehingga kita dengan mudah menebak umur Aisyah ketika dia hijrah yaitu 27 tahun usia Asma - 10 tahun perbedaan usia Asma dengan Aisyah = 17 tahun usia Aisyah.

Allahu ‘alam…

Bukan MM hendak mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah (Kalo emang halal menikahi anak-anak), juga bukan pula merasa lebih pintar dari ulama-ulama terdahulu, tapi perbandingan ini semata-mata MM buat atas kecintaan pada Rasulullah yang tidak mungkin memberi contoh buruk pada umatnya yaitu dengan cara menikahi anak-anak dibawah umur, sebab menurut Alqur’an, beliau adalah suri tauladan yang baik : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Qs. Al-Ahzab : 21)

Seandainya beliau menikahi anak-anak, tentu tidak ada halangan buat kita untuk melakukan hal yang sama. Dan kalau seandainya itu pengecualian yang dikhususkan untuk Rasulullah saja, tentu akan terdapat pada ayat ini :  

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian dihalalkan pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu (Anak paman dari garis ayah), anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu (Anak Bibi dari garis ayah), anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu (Anak Paman dari garis ibu) dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu (anak bibi dari garis ibu) yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Ahzab : 50)

MM tidak melihat adanya pengkhususan untuk menikahi anak-anak yang belum dewasa pada ayat ini.

Mungkin teman-teman muslim akan merasa berat hati membaca uraian ini sebab kita sudah deprogram oleh guru ngaji dan orang-orangtua kita mengenai “keshahihan” cerita itu. Tapia apa gunanya akal jika tidak kita gunakan untuk menyelidiki sendiri terhadap berita-berita yang telah dianggap benar sebelumnya.

Uraian ini kemungkinan akan bertambah jika ditemukan fakta-fakta baru, dan Insya Allah akan MM tambahkan di blog ini secara bertahap.

Allahu 'alam bis shawab.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top