Minggu, 02 Agustus 2015

PENJELASAN TSUBIHA LAHUM

Tidak ada komentar:
Di artikel sebelumnya saya sudah menjelaskan beberapa point yang terdapat dalam Qs. An-Nisaa : 157, dan kali ini saya akan melanjutkan analisanya dengan mengutip tulisan Pak Armansyah (Ustadz asal Palembang, sekaligus penulis buku : Rekonstruksi Sejarah Isa Al-Masih).

Dan kata yang akan menjadi tema pembahasan utama kita disini adalah :
شُبِّهَ لَهُمْ
Tsubiha lahum.. (Disamarkan bagi mereka)

Kata ini memiliki arti dalam bahasa Indonesia : DISAMARKAN atau ada juga yang menterjemahkannya dengan istilah DISERUPAKAN. Inilah yang lalu memicu silang pendapat ditengah mufassirin Muslim. Apa maksud dari istilah disamarkan atau diserupakan disini?

Pemahaman umum yang beredar ditengah komunitas muslim, maksud dari kata tersebut adalah adanya orang lain yang dialih rupakan menjadi Nabi Isa dan lalu orang itulah yang kemudian menjalani semua proses penyaliban.

Untuk menjadi pegangan awal bersama : TIDAK ADA SATUPUN NASH YANG BERASAL DARI NABI YANG MENYEBUTKAN TAFSIR AYAT TERSEBUT SEPERTI INI. Artinya, Nabi tidak pernah menafsirkan ayat dari surah an-Nisaa 157 ini sebagai adanya pertukaran wajah dan fisik dari Nabi Isa kepada orang lain diluarnya.

Ditinjau dari sudut tata bahasapun penafsiran adanya proses substitusi wajah dari Nabi Isa kepada orang lain diluarnya kurang tepat. Dimana jika memang benar seseorang menggantikan Nabi Isa maka mestinya Al-Qur’an menggunakan Isim Dhamir atau kata ganti diri ketiga tunggal seperti lakin syubiha lahu (melainkan yang disamarkan untuk dia) dan bukan lakin syubbiha lahum (melainkan yang disamarkan untuk mereka). 

Lebih jauh ayat ini tidak menggunakan bentuk fi’il mar’ruf dengan subjek penjelas, melainkan ia menggunakan bentuk fi’il majhul yang tidak menjelaskan siapa penggantinya dalam ketersamaran tersebut.

Selanjutnya, sebelum lafadz syubbiha tidak disebutkan nama seseorang yang telah diserupakan dengan Nabi Isa, padahal disini ada lafadz syubbiha yang majhul (tidak dikenal) dan didalamnya ada Isim Dhamir mufrad yang Mustatir. Menurut hukum gramatikal, Nahu, Dhamir itu harus terdahulu sebutannya dengan lafadz atau makna atau hukum. 

Dan apabila Nabiul Fa’il kata syubbiha disebutkan maka itu akan berarti bahwa Nabi Isa-lah yang diserupakan wajahnya menjadi rupa orang lain, bukan orang lain yang diserupakan menjadi wajah Nabi Isa. Jelas ini bertambah rancu. Kesimpulan pastinya, bukanlah rupa alias wajah dan fisik Nabi Isa yang disamarkan dengan orang lain, melainkan keadaan atau kondisinya sajalah yang diserupakan atau disamarkan seolah-olah telah mati dalam proses tersebut, seolah-olah beliau sudah dipermalukan dan menjadi manusia terkutuk karena ia tersalibkan.

Memang dalam kitab Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy) ditemukan tafsir sebagai berikut :

(Serta karena ucapan mereka) dengan membanggakan diri (“Sesungguhnya kami telah membunuh Almasih Isa putra Maryam utusan Allah”) yakni menurut dugaan dan pengakuan mereka. Artinya disebabkan semua itu Kami siksa mereka. Dan Allah berfirman, menolak pengakuan mereka telah membunuhnya itu (padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya tetapi diserupakan bagi mereka dengan Isa) maksudnya yang mereka bunuh dan mereka salib itu ialah sahabat mereka sendiri yang diserupakan Allah dengan Isa hingga mereka kira Nabi Isa sendiri.

(Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham padanya) maksudnya pada Isa (sesungguhnya dalam keragu-raguan terhadapnya) maksudnya terhadap pembunuhan itu. Agar terlihat orang yang dibunuh itu, sebagian mereka berkata, “Mukanya seperti muka Isa, tetapi tubuhnya lain, jadi sebenarnya bukan dia!” Dan kata sebagian pula, “Memang dia itu Isa!” (mereka tidak mempunyai terhadapnya) maksudnya pembunuhan itu (keyakinan kecuali mengikuti persangkaan belaka) disebut sebagai istitsna munqathi'; artinya mereka hanya mengikuti dugaan-dugaan hasil khayal atau lamunan belaka (mereka tidak yakin telah membunuh Isa) menjadi hal yang menyangkal pembunuhan Isa itu.

Tetapi darimana tafsir diatas diperoleh ? Saya menemukannya dari kitab tafsir Ibnu Katsir, (anda bisa membacanya secara online disini : http://www.quran4u.com/Tafsir Ibn Kathir/004 Nisa.htm). Isinya kurang lebih –saya akan ambil bagian yang terpenting saja– :

Ketika Allah ingin mengangkat Isa -‘alaihis salam– ke langit, beliau pun keluar menuju para sahabatnya dan ketika itu dalam rumah terdapat 12 orang sahabat al Hawariyyun. Beliau keluar menuju mereka dan kepala beliau terus meneteskan air. Lalu Isa mengatakan, Sesungguhnya di antara kalian ada yang mengkufuriku sebanyak 12 kali setelah ia beriman padaku.” Kemudian Isa berkata lagi, Ada di antara kalian yang akan diserupakan denganku. Ia akan dibunuh karena kedudukanku. Dia pun akan menjadi teman dekatku.” Kemudian di antara para sahabat beliau tadi yang masih muda berdiri, lantas Isa mengatakan, “Duduklah engkau.” Kemudian Isa kembali lagi pada mereka, pemuda tadi pun berdiri kembali. 

Isa pun mengatakan, “Duduklah engkau.” Kemudian Isa datang lagi ketiga kalinya dan pemuda tadi masih tetap berdiri dan ia mengatakan, “Aku, wahai Isa.” “Betulkah engkau yang ingin diserupakan denganku?” ujar Nabi Isa. Kemudian pemuda tadi diserupakan dengan Nabi Isa.

Isa pun diangkat melalui lobang tembok di rumah tersebut menuju langit. Kemudian datanglah rombongan orang Yahudi. Kemudian mereka membawa pemuda yang diserupakan dengan Nabi Isa tadi. Mereka membunuhnya dan menyalibnya.

Riwayat dalam kitab Ibnu Katsir ini dituliskan secara sanadnya shahih sampai Ibnu ‘Abbas. An Nasa-i meriwayatkan tafsir ini dari Abu Kuraib dan dari Abu Mu’awiyah. 

Oke, kita berhenti dulu disini. Bahwa sanadnya berhenti sampai di Ibnu Abbas. Jadi tidak disebutkan lagi Ibnu Abbas bersumberkan dari siapa tafsir tersebut. 

Semua dari kita mahfum bila Ibnu Abbas dianggap sebagai seorang penafsir al-Qur’an yang besar. Namun disini, jelas bahwa Ibnu Abbas kemungkinan mendapatkan tafsirnya dari Wahb ibnu Munabbih sebagaimana dicatat cerita yang hampir serupa oleh Ibnu Katsir dengan sanad Ya’qub al-Qummi dari Harun Ibnu Antarah dari Wahb ibnu Munabbih. Ada juga tafsir lain sejenis dengan sanad Ismail ibnu Abdul Karim dari Abdus Samad ibnu Ma’qal dari Wahb ibnu Munabbih. 

Anda bisa mengeceknya secara online disini : http://www.scribd.com/doc/39570083/Tafsir-Ibnu-Katsir-Juz-6 buka halaman 21 sampai 37. Atau silakan baca dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir jilid VI.

Wahab ibnu Munabbih sendiri nama aslinya Abu ‘Abd Allah al-ana’ani al-Dhimari ada juga yang mengatakan nama aslinya Wahab ibn Munabbih ibn Kamil ibn Sirajud-Din Dhee Kibaar Abu-Abdullah al-Yamani al-San’ani. Dia bersama rekannya Ka’ab al-Akhbar adalah orang Yahudi Yaman yang masuk Islam setelah Nabi Muhammad wafat dan masuk kedalam kategori Tabi’in. Wahab ibn Munabbih juga banyak meriwayatkan hadis-hadis Israiliyat dan memiliki pengetahuan yang tinggi tentang kitab-kitab Yahudi, dia wafat pada usia 90 tahun.

Sama seperti Wahab ibnu Munabbih, Ka’ab al-Akhbar juga adalah seorang Yahudi Yaman yang baru masuk Islam setelah Nabi Muhammad wafat (karenanya Ka’ab termasuk kategori Tabi’in dan bukan sahabat), nama aslinya adalah Ka’ab bin Mati’ Himyari. Ka’ab tercatat adalah seorang Yahudi yang sangat mengetahui isi Taurat, mungkin yang dimaksud Taurat disini bisa jadi adalah ajaran-ajaran Talmud, Perjanjian Lama atau tulisan-tulisan apokripa Yahudi lainnya karena kitab Taurat sendiri tidak ada lagi pada jaman Nabi Muhammad hidup. Anehnya Ka’ab al-Akhbar menjadi salah satu sumber terpercaya selama berabad-abad dalam dunia Islam dan banyak dijadikan rujukan dalam buku-buku sejarah dan tafsir, ia wafat pada tahun 32 atau 33 Hijriah di kota Himsh.

Tidak sedikit ulama yang memegang riwayat dari Ka’ab al-Akhbar, diantaranya Imam Bukhari, Ibnu Jauziy, Ibnu Hibban, Abu Shahbah, Addzahabi, Ibnu ‘Asaaqir Abu Nu’aim filhulyah dan Ibnu Hajar. Silahkan kesini untuk membaca lebih lengkap : http://www.islamic-awareness.org/Hadith/Ulum/israel.html

Kecenderungan para sahabat Nabi untuk mencari tahu lebih lanjut dari ayat-ayat cerita didalam al-Qur’an yang berkaitan dengan bangsa Israel bukan sebuah rahasia. Umar ibnu Khatab, Abu Hurairah, Atha’ bin Jasar dan termasuklah Ibnu Abbas adalah orang-orang yang cukup intens dengan pengetahuan-pengetahuan yang ada didalam Taurat dan Injil. Banyak hal yang mereka ingin ketahui seperti sifat-sifat Nabi didalam Taurat dan berbagai hal lainnya. Tempat mereka bertanya tentu saja orang-orang Ahli Kitab yang baru masuk Islam seperti diantaranya Wahb ibnu Munabbih, Ka’ab al-Akhbar, Abdullah ibnu Amr bin Ash dan lain sebagainya.

Bukan hal yang tidak mungkin jika informasi hadis yang disampaikan oleh para sahabat yang notabene mantan penganut ahli kitab dimasa lalu lebih banyak bersandar pada sisa-sisa kepercayaan lama mereka. Sehingga banyak kemudian tafsir-tafsir Israiliyat yang belum jelas benar dan salahnya justru merasuk kedalam khasanah tafsir al-Qur’an dan bagi orang awam cenderung diamini sebagai sebuah kebenaran mutlak.

Lantas boleh jadi anda akan bertanya sama saya : “Pak Arman, setahu saya orang-orang ahli kitab semua berkeyakinan bahwa Nabi Isa alias Yesus menurut mereka adalah orang yang disalibkan. Jadi bagaimana mungkin Wahab ibnu Munabbih atau yang lainnya ini bisa menafsirkan sebaliknya?”

Jawab saya : “Apa yang anda tahu mungkin tidak mewakili semua fakta dan kebenaran yang ada. Faktanya sejak abad ke-2 masehi, artinya jauh hari sebelum Wahab ibnu munabbih lahir atau jauh hari sebelum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad muncul, keyakinan adanya proses substitusi wajah dalam peristiwa penyaliban Nabi Isa sudah ada”.

Riwayat-riwayat yang menyatakan tentang teori subsitusi wajah seseorang kepada wajah Isa al-Masih dalam kejadian menjelang penyaliban itu bisa ditemui dalam banyak variasi pada naskah-naskah apokripa Kristen. Sebut saja misalnya dalam naskah yang diperkirakan dicatat pada abad ke-2 Masehi yang disebut sebagai ‘Second Treatise of the Great Seth’  tertulis :

Dan rencana yang mereka susun untukku, untuk melepaskan kesalahan mereka dan ketidak berperasaan mereka –aku tidak mengalah pada mereka seperti yang mereka rencanakan. Bahkan aku tidak menderita sama sekali. Mereka yang di sana menghukumku. Dan aku sesungguhnya tidak mati, hanya seolah-olah telah mati, agar aku tidak dipermalukan oleh mereka karena semua ini merupakan keluargaku… 

Karena kematianku yang menurut mereka sudah terjadi, karena kesalahan dan kebutaan mereka, karena mereka memakukan orang mereka sendiri hingga mati… karena mereka tuli dan buta… Ya, mereka melihatku; mereka menghukumku. Adalah orang lain, ayah mereka, yang meminum empedu dan cuka; bukan aku. Mereka menyerangku dengan buluh; itu adalah orang lain, Simon, yang memanggul salib di pundaknya. Adalah orang lain yang mereka pakaikan mahkota duri… dan aku menertawakan kejahilan mereka … Karena aku mengubah bentuk fisikku, berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.”

Naskah lainnya yang serupa adalah yang berasal dari abad ke-4 Masehi yang dikenal dengan nama “Apocalypse of Peter” yang bercerita :

Ketika dia mengatakan hal itu, aku melihatnya seolah-olah ditangkap oleh mereka. Dan aku berkata, “Apakah yang aku lihat, Tuanku, benarkah engkau yang mereka tangkap, padahal engkau menggapaiku? Atau siapakah orang ini, yang bergembira dan tertawa di atas pohon itu? Dan adakah orang lain yang kaki dan tangannya mereka ikat?” Sang Juru Selamat bersabda kepadaku, “Dia yang engkau lihat di atas pohon, yang bergembira dan tertawa, adalah Isa yang masih hidup. 

Namun, orang yang tangan dan kakinya mereka paku adalah bagian dagingnya yang merupakan wujud pengganti yang dibuat sama, seseorang yang sungguh-sungguh mirip dengannya. Tetapi lihatlah ia dan aku.” … Namun aku, ketika aku melihat, berkata, “Tuan, tidak ada seorang pun yang melihatmu. Biarkanlah kami lari dari tempat ini.” Namun, ia berkata kepadaku, “Sudah Aku katakan, tinggalah si buta itu sendiri! Dan kamu, lihatlah betapa mereka tidak mengetahui apa yang mereka katakan. Karena sebenarnya bukan pelayanku yang mereka permalukan.”

Begitupula dengan naskah yang disebut sebagai “Acts of John” yang ditulis pada abad ke-2 Masehi :

Dan kami seperti orang-orang yang heran atau kebingungan, kami berlari ke sana kemari. Demikianlah, aku melihatnya menderita serta tidak tahan dengan penderitaannya, kemudian berlari menuju Bukit Zaitun, meratapi apa yang telah terjadi. Dan ketika ia digantung pada Hari Jumat, pada jam enam hari itu, muncullah kegelapan menyelimuti seluruh bumi. Dan Tuanku berdiri di tengah goa dan menjelaskan hal itu seraya bersabda, “Yohanes, bagi orang-orang yang ada di Yerusalem, Aku memang disalib dan ditusuk dengan tombak dan bambu, serta diberi cuka dan empedu untuk diminum. 

Namun, bagimu Aku tengah berbicara dan mendengarkan apa yang Aku katakan… Dan ketika Ia selesai mengatakan hal ini, Ia menunjukkan padaku sebuah salib bersinar yang sangat kokoh, dan di sekitar salib itu ada kerumunan yang sangat besar, yang tidak memiliki bentuk tunggal; dan di dalamnya terdapat satu bentuk dan kemiripan yang sama. Dan aku melihat Tuan sendiri ada di atas salib … “Ini bukanlah salib kayu yang akan kamu lihat ketika engkau turun dari sini; Aku juga bukan orang yang ada di atas salib itu. Aku adalah orang yang kini tidak bisa kamu dengar, tetapi kamu hanya bisa mendengar suaraku. Aku dijadikan seseorang yang bukan aku, aku bukanlah diriku bagi banyak orang lain; tetapi apa yang akan mereka katakan tentang aku tidak berarti apa-apa untukku.

Demikianlah aku tidak menderita segala hal yang akan mereka katakan tentang aku; bahkan penderitaan yang aku tunjukkan kepadamu dan kepada murid-muridku dalam tarian, itulah yang aku sebut sebuah misteri… Kamu mendengar bahwa aku menderita, padahal aku tidak menderita; 

Dan bahwa Aku tidak menderita, padahal aku menderita; dan bahwa Aku ditombak, padahal aku tidak terluka; bahwa aku digantung, padahal aku tidak digantung; bahwa darah mengalir dariku, padahal tidak ada darah yang mengalir; dan, singkatnya, apa yang mereka katakan tentang aku, aku tidak mengalaminya, tetapi apa yang tidak mereka katakan, itulah hal-hal yang membuatku menderita …”

Ketiga cerita yang ada didalam naskah apokripa Kristen diatas semuanya memang mengukuhkan teori substitusi wajah Isa al-Masih kepada wajah orang lain, sama seperti apa yang disampaikan Ibnu Katsir, tapi dari sini kita sebenarnya justru bisa memberikan cukup banyak catatan kritis kepadanya yang mengharuskan diadakannya peninjauan kembali validasi historisnya sebelum diterima sebagai dogma keimanan bagi umat Islam. Semua argumen atau cerita mereka diatas ini tidak masuk akal dan lemah sekali untuk bisa diterima. Apalagi ketiganya berbeda dalam isi ceritanya. Jadi menurut saya kita belum bisa berdiri diatas benang basah seperti itu. 

Sebagian dari kita sebagai umat Islam terkadang terlalu berlebihan dalam memandang sosok para Nabi dan Rasul sehingga nyaris menganggap mereka sebagai manusia langit yang sama sekali tidak tersentuh dengan berbagai permasalahan duniawiah, banyak dari kita berpikir bahwa seorang Nabi itu haruslah senantiasa berkhotbah tentang akhlak, berkhotbah tentang ketuhanan, penuh mukjizat, sakti mandraguna, suci tak bernoda dan tidak pernah melakukan kesalahan sekecil apapun, tidak mungkin bisa dilukai apalagi dibunuh dan berbagai sifat kedewaan lainnya yang akhirnya secara tidak langsung telah melakukan pengkultusan dan menaikkan status kemanusiawian mereka diatas manusia-manusia lainnya.

Al-Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa Rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling -Qs. 5 al-Ma’idah : 75

Tanyakanlah: “Siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al-Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan siapa saja diatas bumi semuanya?” -Qs. Al-Ma’idah : 17

Dalam sejarah kenabian di al~Qur’an kita banyak melihat berbagai fenomena bagaimana misalnya seorang Ibrahim yang disebut sebagai kekasih Allah telah ditangkap dan dibakar oleh umatnya kedalam api yang membara, kita juga membaca bagaimana Nabi Yunus bisa sampai terperangkap kedalam perut ikan atau Yusuf putera Nabi Ya’kub yang terjebak kedalam sumur oleh saudara-saudaranya atau yang paling akhir adalah Nabi Muhammad sendiri yang harus hijrah ke Madinah karena intimidasi kaum kafir Mekkah dan perlakuan mereka yang buruk terhadapnya, dalam sebuah pertempuran dibukit Uhud, wajah beliau terluka dan nyaris terbunuh.

Semuanya menyajikan data-data historis insaniah para Nabi dan Rasul Tuhan yang hidup dan berinteraksi sebagaimana manusia normal lainnya. Lalu kenapa dalam hal Isa al~Masih yang umatnya disebut oleh Qur’an sebagai umat yang terbiasa membunuh para Nabi harus mendapat pengecualian dengan mengharuskannya “terhindar secara luar biasa” dari perlakuan umatnya ? 

Kesabaran para Nabi dalam menghadapi ujian selalu mendatangkan pertolongan dari Allah, namun tidak pernah Allah menolong dengan cara menggantikan ujian tersebut kepada diri orang lain sehingga bukan sang nabi yang menghadapi ujian namun justru orang lainlah yang mendapatkan ujian tersebut. Pertolongan Allah bekerja dengan cara yang latief (halus) melalui ujian, kesabaran, dan keteguhan dari sang Nabi dan para murid (sahabat)nya. 

Jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya Rasul-Rasul sebelum kamupun telah didustakan (pula), padahal mereka membawa bukti-bukti yang nyata, kekuatan serta kitab yang memberi penjelasan. -Qs. 3 Ali Imran : 184

Ini semua harus bisa dilihat sebagai sesuatu yang alamiah dan historis, para utusan Tuhan tersebut berhasil keluar dari semua permasalahan yang mereka hadapi, sebagaimana Nabi Ibrahim keluar dari kobaran api dalam keadaan hidup, Nabi Musa melewati laut merah dan mengalahkan para tukang sihir dalam keadaan hidup, Nabi Muhammad melewati berbagai peperangan dibaris terdepan dan tetap dalam keadaan hidup maka Isa al~Masih, juga berhasil lolos dari maut atau kematian dalam hukuman penyaliban atas dirinya dan tetap hidup terhormat dimata Allah dan para pengikut beliau bisa dianggap sebagai sebuah penyaliban yang gagal dan karenanya Isa al~Masih tidak bisa disebut telah disalibkan.

Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. -Qs. 33 al-Ahzab : 62

Sebagai akhir catatan ini, saya ingin mengutip tulisan Paulus yang menyatakan dalam Kitab Ibrani pasal 5 ayat 7 sekaitan penyaliban Nabi Isa ini:

Dalam hidupnya sebagai manusia, ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada-Nya yang sanggup menyelamatkannya dari maut, dan karena kesalehannya, beliau telah didengarkan.

Juga :

Kepada mereka Ia menunjukkan dirinya setelah penderitaannya selesai, dan dengan banyak tanda Ia membuktikan, bahwa Ia hidup. – Kisah Para Rasul pasal 1 ayat 3

[Sumber : Arsip Armansyah]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top