Kamis, 02 Juli 2015

Tahlilan dalam Kitab I'anatu Thalibin

Tidak ada komentar:


Bismillahir Rahmanir Rahiim....

I'anathu Thalibin

Mengusik amalan seseorang Muslim dengan menukil pernyataan Ulama dari kitab Muktabar secara serampangan (mengguting-gunting kalimat) merupakan perbuatan keji dan sangat tidak berakhlak.

Kami sangat sependapat dengan pernyataan tersebut, namun sepertinya pemenggalan kalimat tersebut bukan bertujuan untuk berlaku curang, sebab untuk menukil tulisan tidak mungkin menulisnya 1 kitab penuh atau satu bab penuh, maka diambil garis besarnya saja tapi mewakili keseluruhan perikopnya. Yang penting tidak mengurangi atau merubah maksud kalimat tersebut. Penulis Blog Generasi Salaf (selanjutnya kami sebut BGS) pasti sering melakukannya ketika menulis hadits atau ayat Alqur’an untuk sebuah keperluan.

Kata "mengusik" juga sepertinya kurang pantas diutarakan sebab kewajiban muslim satu dengan yang lainnya adalah saling menasehati dalam kebaikan (Qs. Al-Kautsar : 1-3), mungkin begitu juga kalangan salafi wahabi yang ingin menasehati saudaranya dan mengingatkan bahwa "tradisi Tahlilan" itu tidak di kenal oleh Rasulillah dan sahabatnya, namun di tangkap lain oleh BGS. Kecuali jika BGS menganggap Salafi Wahabi bukan bagian dari Islam (Namun kami yakin, BGS tidak seperti itu sebab itu tuduhan Islam Liberal atau Syiah yang tidak menginginkan Islam kembali murni).

Dan berikut perikop Kitab I’anatuth Thalibin yang di penggal oleh Salafi Wahabi menurut BGS.

“Dan sungguh telah aku perhatikan mengenai pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh Ahlu (keluarga) mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan) jawaban mereka atas perkara tersebut. 

Gambaran (penjelasan mengenai keduanya ; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitu mengenai (bagaimana) pendapat para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di negeri “al-Haram”, (semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia sepanjang masa), tentang kebiasaan (urf) yang khusus di suatu negeri bahwa jika ada yang meninggal, kemudian para pentakziyah hadir dari yang mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka (pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat malu telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka membebani diri dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian keluarga mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan. 


Maka apakah bila seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah) permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari manusia yang Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau (semoga shalawat dan salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan (pelarangan itu)?


“Penjelasan sebagai jawaban terhadap apa yang telah di tanyakan, (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده, Ya .. Allah aku memohon kepada-Mu supaya memberikan petunjuk kebenaran : “Iya.., apa yang dilakukan oleh manusia dari berkumpul ditempat ahlu (keluarga) mayyit dan menghidangkan makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yang diberi pahala bagi yang mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah-kaidah agama dan mendorong Islam serta umat Islam”

Penulis situs tersebut mengatakan bahwa Salafi wahabi tidak jujur dengan menukil dari kalimat yang berwarna merah itu saja sehingga maksudnya menjadi kabur (buram) dan otomatis menipu siapa saja yang membacanya. Padahal menurut kami, baik di tulis dari hurup hijau maupun dari hurup merah itu saja maka hasilnya sama saja (tidak merubah maksud penulis kitab I’anatuth Thalibin) bahwa yang namanya menghidangkan makanan pada pentakziyah hukumnya BID’AH MUNKARAH.

Zoom
Kemudian penulis itu pun membuat teori berikut : 

Tentu saja, Mufti tersebut kemungkinan akan berkata lain jika membahasnya pada sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan), dimana pentakziyah datang untuk menghibur, menyabarkan ahlu (keluarga) mayyit bahkan membawa (memberi) bantuan berupa materi untuk pengurusan mayyit dan untuk menghormati pentakziyah yang datang. 

Tentu saja, Mufti akan mengatakan Sunnah atau minimalnya kebaikan sebab inilah yang dianjurkan Rasulullah, yaitu para pentakziyah menghibur dan membawa makanan untuk ahlu mayyit (bukan sebaliknya).

Pada kegiatan Tahlilan orang tidak akan datang ke rumah ahlul mushibah dengan kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak tuan rumah. Jika tuan rumah merasa berat tentu saja tidak perlu mengadakan tahlilan dan tidak perlu mengundang.

Benar sekali, sebab ini sudah menjadi tradisi. Namun ada hal yang tidak diketahui BGS bahwa tidak semua orang “ringan” melakukan ini, terutama orang-orang yang sangat sulit dalam hal ekonomi. Jangankan memberi makanan pada jamaah tahlilan, membeli kain kafan dan biaya penguburanpun mereka kesulitan. Yang membuat ringan mereka adalah, Tahlilan ini tuntutan yang jika ditinggalkan akan berdampak kurang baik ke depannya. Kok bisa? Kami jelaskan di depan nanti, insya Allah.

Kalimat “Jika tuan rumah merasa berat tentu saja tidak perlu mengadakan tahlilan dan tidak perlu mengundang” merupakan ketidak mengertian BGS, dimana orang yang sudah terpenjara tradisi ini sangat ketakutan sekali akan diboikot masyarakat sekitar yang menganggap bahwa “tidak melakukan tahlilan” adalah golongan sesat yang wajib di asingkan. Walaupun memang Tahlilan ini sah-sah saja ditinggalkan, tapi bagi mereka yang sudah terikat tradisi dan tau konsekuesinya di tengah masyarakat pasti akan memaksakan dengan sekuat tenaga.

Ahlu (keluarga) mayyit mengetahui akan dirinya sendiri bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudaranya yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka di undang dan memenuhi undangan ahlu (keluarga) mayyit. 

Perlu diketahui oleh BGS, bahwa orang yang sangat kikir dan tidak pernah ber-amal sekalipun akan rela melakukan Tahlilan. Dengan kata lain, niat mereka bukan untuk beramal melainkan untuk memenuhi tradisi yang ada di masyarakat.

Sungguh betapa sangat menyakitkan hati ahlu (keluarga) mayyit jika undangannya tidak dipenuhi dan bahkan makanan yang dihidangkan tidak dimakan atau tidak disentuh. Manakah yang lebih utama, melakukan amalan yang “dianggap makruh” dengan menghibur ahlu (keluarga) mayyit, membuat hati ahlu (keluarga) mayyit senang atau menghindari “yang dianggap makruh” dengan menyakiti hati ahlu (keluarga) mayyit?

Benar sekali, sebab sudah kami jelaskan tadi... ini masalah Tradisi yang memiliki dampak kurang bagus jika ditinggalkan (diasingkan dari pergaulan dan dianggap menganut sekte sesat). Tapi jika di undang pengajian, di undang tholab ilmu, diundang shalat oleh Muazin.. maka prasangka “takut menyakiti pengundangnya”, nyaris TIDAK ADA.

Dan satu hal yang tidak diketahui BGS tersebut, bahwa ada di beberapa daerah yang diundang tahlil membawa anak-anaknya ke tempat ahlu mayyit. Usut punya usut ternyata ahlu mayyit adalah orang kaya yang akan memberi nasi daging dan amplop berisi uang ketika selesai tahlilan. JIKA yang meninggalnya sebatang kara tanpa harta, masih maukah yang di undang datang dan sebanyak hadirin di rumah orang kaya? 

Dari pengalaman kami (kebetulan kami hidup di tengah masyarakat tahlilan), Jika yang meninggal itu orang susah maka yang hadir hanya beberapa gelintir saja bahkan ada yang tega mengeluh “Rokok!! Mana Rokok? Emangnya di POM Bensin” (mengeluh/bercanda ke sesama jamaah).

Silakan penulis blog tersebut men-conter pernyataan kami, tapi kejadian itu ada dan benar-benar terjadi di sekitar kita. Namun sebelum men-counter, ada baiknya penulis blog tersebut mengikuti tahlilan di tempat-tempat orang miskin yang jangankan memberi makan berlauh daging, bahkan air pun di masak dengan kayu bakar.

Jika ditanya masalah “utama” maka lebih utama memberi penjelasan yang sebenarnya kepada masyarakat baik asal usul Tahlilan maupun hukumnya bila ditinggalkan sehingga masyarakat tidak menganggap bahwa ini bagian dari agama, melainkan hanya tradisi Indonesia yang bisa ditinggalkan, berstatus hukum Bid'ah Munkarah - Bid'ah Makruhah. Kenyataannya justru malah sebaliknya, para ustadz sangat menggaungkan masalah Tahlilan ini dan mereka tidak pernah menyebt-nyebut hukumya BID'AH MUNKARAH atau BID'AH MAKRUHAH, malah tanpa malu-malu menggantinya dengan berkata : "hukumnya SUNNAH" sehingga kekukuhan masyarakat bahwa ini ajaran Rasul pun semakin menjadi-jadi.

Seandainya, ada ustadz membuka sambutan Tahlilan dengan menjelaskan bahwa Tahlilan ini hukumnya Bid'ah Munkarah atau Bid'ah Makruhah, niscaya besoknya dia akan ditinggalkan masyarakat dan masyarakat akan berpikiran seperti BGS, bahwa ustadz tersebut telah mengusik-ngusik tradisi Islam. TIDAK PERCAYA? silakan lakukan penelitian langsung di lapangan.

Tentu saja akal yang sehat pun akan menilai bahwa menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.

Jika tidak di haramkan mungkin berpahala, namun jika di Bid'ah Munkarah - Bid'ah Makruhah kan? Masih bernilai kebaikan kah?

Disisi yang lain antara ahlu (keluarga) mayyit dan yang diundang, sama-sama mendapatkan kebaikan. Dimana ahlu (keluarga) mayyit telah melakukan amal shaleh dengan mengajak orang banyak mendo’akan anggota keluarga yang meninggal dunia, bersedekah atas nama mayyit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman.

Bersedekah, memberi oranglain makan adalah hal yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tapi kenapa harus menunggu ada yang meninggal dulu? Tidak bisakah ustadz atau ulamanya memberi nasihat bahwa sedekah dan memberi orang makan bisa dilakukan kapan saja selama ia mampu. Dan percaya atau tidak, orang pelit sekalipun jika sudah terikat tradisi ini maka akan dengan suka hati menghamburkan uangnya sebab dia tidak ingin di kucilkan oleh masyarakat yang sudah menganggap tahlilan itu lebih wajib daripada shalat. BGS boleh cek, dimana ada orang tidak pernah shalat dikucilkan oleh masyarakat? Tapi orang yang tidak melakukan tahlilan akan di kucilkan dan dianggap sekte sesat itu sangat banyak.

Kalimat “menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman” adalah kalimat yang bagus sebab Rasul pun mengajarkan demikian, namun berbeda dengan “tamu” tahlilan ini. Sebab mayoritas kita, bakhil jika kedatangan tamu. Jarang-jarang memberi atau mengajak makan, apalagi dengan daging. Bahkan punya banyak kue di lemari pun paling yang di suguhkan hanya sebagian kecil saja. Kalau punya susu di kulkas, paling tamu di beri air putih.

Coba jujur, pernahkah kita mengundang orang-orang makan tanpa ada acara apapun di rumah dengan membeli daging, telur dan sebagainya hingga menghabiskan dana jutaan atau kecilnya ratus ribu?

NYARIS tidak pernah, bukan? Padahal memberi makan orang miskin akan melembutkan hati, menurut sabda Rasulullah. Tapi kenapa ketika Tahlilan, orang rela menjual apapun demi terselenggara acara yang katanya Bid'ah makruhah ini? Apa sebenarnya yang membuat orang-orang ini memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang makruh ini?

Hematnya, jika memang ahli menghormati tamu, jangan hanya ketika acara tahlilan tapi di setiap detik hidup kita kedatangan tamu.

Pada sisi yang di undang pun sama-sama melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo’akan mayyit, berdzikir bersama, menemani dan menghibur ahlu (keluarga) mayyit. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan ?

Saya ragu, apakah BGS itu pernah tahlilan atau tidak. Karena kenyataan dilapangan para jamaah tahlilan kadang ngobrol tidak jelas (togel, batu akik, usaha, politik, dll)  sebelum dan seseudah do’a dibacakan. Memanng tidak semua tempat, tapi ini yang kerap terjadi di acara tahlilan masyarakat. Kasarnya “Apanya yang menghibur ahlu mayit?”

Mendo’akan mayit? Seberapa yakin?

Betul ustadz-nya menyebut do’a kebaikan untuk mayit lalu di amini jamaah, ketika dibacakan do’a bersama. Lihat wajah-wajah mayoritas, tidak nampak mereka sungguh-sungguh mendokan mayit (mungkin hanya sebagian) sebab mereka membacapun kejar-kejaran. Walau kami awam namun bisa melihat mana yang berdo’a sungguh-sungguh dan mana yang hanya sekedar menunaikan ritual. Bahkan ada sebagian tetap asyik makan dan ngobrol saat do’a tahlil dibacakan.

Setelah selesai acara lalu pulang ke rumah dan masing-masing jamaah pulang ke rumah, masihkah teringat kepada si mayit lalu mendo’akannya lagi? Kemungkinannya sangat kecil sekali, bahkan nyaris malah tidak pernah.

Point Kedua (2) : Juga bentuk ketidak jujuran dan mensalah pahami maksud dari kalimat tersebut. Kata yang seharusnya merupakan status hukum namun diterjemahkan sehingga maksud yang terkandung dari pernyataan tersebut menjadi berbeda. 

Ungkapan-ungkapan ulama seperti akrahu” (saya membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci), “bid’ah munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah yang tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah” (bid’ah yang dianggap jelek), semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum haram mutlak. 

Padahal didalam kitab tersebut, berkali-kali dinyatakan hukum “makruh” untuk kegiatan berkumpul di rumah ahlu (keluarga) mayyit dan dihidangkan makanan,terlepas dari hukum-hukum perkara lain seperti takziyah, hukum mendo’akan, bersedekah untuk mayyit, dimana semua itu dihukumi sunnah.

Kami melihat, malah BGS yang tidak jujur. perhatikan kalimat kuning tersebut. Bukankah dalam kitabnya di tulis BID'AH MUNKARAH dan BID'AH MAKRUHAH? Kok cuma di tulis "MAKRUH", apa artinya sama? Kenapa kata BID'AH-nya di buang?

Makruh adalah sesuatu yang ditinggalkan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak apa-apa. Adalah pengertian waktu SD, tapi arti makruh sebenarnya adalah DI BENCI, berasal dari bahasa arab "KARAHA" yang artinya BENCI, siapa yang membenci? Sebab ini permasalahan agama, maka agamalah yang membenci.

Benerakah Makruh atau Karaha artinya BENCI?

Kita perhatikan ayat Alqur'an berikut

Logikanya, jika seseorang membenci sebuah makanan, maka mustahil ia memakannya. Jika seorang pemuda membenci seorang gadis, maka mustahil ia mau menikahinya. Begitu juga ulama, jika ia membenci sesuatu, maka mustahil mengerjakannya. Lalu kenapa ada seseorang yang konon katanya membenci (mengatakan makruh), tapi suka sekali mengerjakannya? Apa ini tidak bertentangan antara ucapan dan perbuatan? Apa penghukuman dibenci ini hanya semata-mata formalitas? Allah 'alam....

Baikah kita gunakan arti Makruh "Bila ditinggalkan mendapat pahala, tapi jika ditinggalkan tidak mengapa"

Tapi mari kita scroll ke atas sebentar, kepada kitab I'anatuth Thalibin dimana penulis kitab tersebut (Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i) menulis : "diberi pahala bagi yang mencegahnya dan menyuruhnya"Artinya, meninggalkan tradisi Tahlilan adalah lebih utama dibanding mengerjakan.

Tunggu....!!! Yang di hukumi "Bid'ah Makruhah" itu adalah berkumpulnya manusia di rumah ahlu mayit sambil menunggu makanan di hidangkan, bukan berdzikirnya.

Itu alasan klasik, coba masuk ke kampung-kampung ahli Tahlilan, lalu tanya antara Tahlil dengan Tahlilan, maka jawabannya pasti beda. Tahlil adalah mengucapkan kata "La illaha Ilallah" sementara Tahlilan adalah berkumpul manusia di rumah si mayit sambil menunggu makanan di hidangkan atau dibagikan.

Dari sini kita bsa melihat, bagaimana pengkaburan makna dilakukan oleh para ustadz pembela Tahlilan. Mereka tau ini tradisi, ini hal baru yang tidak ada di zaman Rasulullah dan sahabatnya. Tapi demi membela tradisi ini, mereka tidak berani terus terang kepada masyarakat bahwa hukum ini menurut jumhur ulama adalah BID'AH MUNKARAH atau BID'AH MAKRUHAH atau jika di bahasa indonesiakan : "Hal yang baru dibuat, dan dibenci oleh agama"

Ulama adalah orang yang berhati lembut, untuk menjawab sebuah pertanyaan beliau tidak pernah menurunkan fatwa yang membuat penanya-nya sakit hati sebab itulah dipilih bahasa-bahasa yang sopan namun memiliki inti "lebih baik jangn di lakukan" untuk hal-hal yang tidak ia sukai atau hal-hal yang samar hukumnya.
Kelembutan ini kemudian di salah artikan sebagai bentuk kebolehan dan kelonggaran untuk mempertahankan tradisinya oleh sebagian orang sehingga ia dengan bebas melakukannya. Dan lebih di sayangkan, ucapan ulama di korupsi dari penghukuman Bid'ah Munkarah - Bid'ah Makruhah menjadi bid'ah syai'ah, bid'ah hasanah, sunnah, dan lain-lain.
Allahu ‘alam

Maaf jika tulisan ini jika di nilai agak tendensius, bukan maksud memojokkan ritual Tahlilan yang memang sudah memasyarakat di negeri ini, tapi bagaimana pun kenyataan harus diceritakan.

Jika memang pelaku tahlilan yang kami certakan bukan termasuk point yang melarang tahlilan, maka ustadz-ustadz perlu meluruskan kembali makna dan tujuan Tahlilan agar kejadian Tahlil di rumah si kaya berlimpah jamaah sementara di rumah si papa hanya ustadz dan eberapa gelintir orang yang nggak enakan saja.

Masalah hukum halal, haram. Mubah dan sebagainya, biarlah Allah yang menghukumi sebab ulama sendiri memiliki hujjah masing-masing untuk menghukuminya. Jika jumhur ulama menghukumi bahwa ini "Bid'ah Makhruhah, maka kami pun sependapat" dengan catatan, tembusan ke ummat pun harus sama. Jangan di korupsi.

Keterangan :

Huruf Biru laut, adalah pernyataan BGS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top